Berdasarkan penjelasan tentang ‘iddah yang terdapat dalam nas al-Qur’an maka para fuqaha dalam kitab-kitab fikih konvensional membagi ‘iddah menjadi tiga yaitu berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan dan dengan melahirkan. Kalau dicermati penentuan ‘iddah itu sendiri sebenarnya disesuaikan dengan sebab putusnnya perkawinan, keadaan isteri dan akad perkawinan.16)
Sebab putusnya perkawinan dapat dibedakan karena kematian suami, talaq bain sughra maupun kubra dan faskh (pembatalan) seperti murtadnya suami atau khiya>r bulu>g perempuan.
Keadaan isteri dapat dibedakan menjadi isteri yang sudah dicampuri atau belum, isteri masih mengalami haid atau belum bahkan sudah menopause, isteri dalam keadaan hamil atau tidak, isteri seorang yang merdeka atau dari hamba sahaya, dan isteri seorang muslim atau kitabiyah.
Sedangkan ditinjau dari jenis akad maka dapat dibagi menjadi akad shahih dan akad fasid.
Secara umum maka ‘iddah dapat dibedakan sebagai berikut :17)
1. ‘Iddah seorang isteri yang masih mengalami haid yaitu dengan tiga kali haid
2. ‘Iddah seorang isteri yang sudah tidak haid (menopause) yaitu tiga bulan
3. ‘Iddah seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari jika ia tidak dalam keadaan hamil
4. ‘Iddah seorang isteri yang hamil yaitu sampai melahirkan
Adapun secara rinci pembagian ‘iddah dapat dijelaskan sebagai berikut :
Apabila terjadi putus perkawinan disebabkan karena talaq baik raj’i maupun bain, baik bain sughra maupun kubra atau karena fasakh seperti murtadnya suami atau khiya>r bulu>g dari perempuan sedangkan isteri masih mengalami haid maka ‘iddahnya dengan tiga kali haid. Akan tetapi hal tersebut berlaku bagi seorang isteri yang memenuhi syarat-syarat diantaranya :
1. Isteri yang merdeka, sedangkan bagi isteri yang hamba sahaya ‘iddahnya selesai dengan dua kali haid.
2. Isteri tersebut dalam keadaan tidak hamil (ha>’il). Sedangkan apabila ia hamil ‘iddahnya selesai sampai ia melahirkan.
3. Isteri tersebut telah dicampuri secara hakiki atau hukmi (khalwat) berdasarkan akad yang shahih dan tidak ada perbedaan baik isteri tersebut seorang muslim atau kitabiyah. Ulama H}anafiyyah, H}ana>bilah, dan Khulafa> ar-Ra>syidu>n berpendapat bahwa khalwat berdasarkan akad yang s}ahih dianggap dukhul yang mewajibkan ‘iddah. Sedangkan ulama Sya>fi’iyyah dalam mazhab yang baru (qaul al-jadi>d) berpendapat bahwa khalwat tidak mewajibkan ‘iddah.18)
Penetapan ‘iddah dengan haid ini juga berlaku bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dalam dua keadaan. Pertama, apabila ia dicampuri secara syubhat dan sebelum putus perkawinannya suaminya meninggal maka ia wajib ber’iddah berdasarkan haid. Kedua, apabila akadnya fasid dan suaminya meninggal maka ia ber’iddah dengan berdasarkan haid tidak dengan empat bulan sepuluh hari yang merupakan ‘iddah atas kematian suami karena hikmah ‘iddah di sini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim dan tidak untuk berduka terhadap suami karena dalam hal mencampuri secara syubhat tidak ada suami dan dalam akad yang fasid tidak ada suami secara syar’i maka tidak wajib berduka atas suami.
b. ‘Iddah berdasarkan bilangan bulan
Apabila perempuan (isteri) merdeka dalam keadaan tidak hamil dan telah dicampuri baik secara hakiki atau hukmi dalam bentuk perkawinan sahih dan dia tidak mengalami haid karena sebab apapun baik karena dia masih belum dewasa atau sudah dewasa tetapi telah menopause yaitu sekitar umur 55 tahun atau telah mencapai umur 15 tahun dan belum haid kemudian putus perkawinan antara dia dengan suaminya karena talak, atau fasakh atau berdasarkan sebab-sebab yang lain maka ‘iddahnya adalah tiga bulan penuh berdasarkan firman Allah dalam Surat at-T}ala>q (65) : 4. Dalam hal ini bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dan masih mengalami haid ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2) : 234.
c. ‘Iddah karena kematian suaminya
Sementara itu jika putusnya perkawinan disebabkan karena kematian suami maka apabila isteri dalam keadaan hamil ‘iddahnya sampai melahirkan. Mayoritas ulama menurut Ibn Rusyd berpendapat bahwa masa ‘iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari empat bulan sepuluh hari. Sementara menurut Ma>lik dan Ibn ‘Abba>s dan Ali> bin Abi> T}a>lib masa ‘iddah perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis ‘iddah tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan.19) Menurut jumhur ulama antara lain H}anafiyyah dan jumhur shahabat telah diriwayatkan bahwa Umar dan Abdullah bin Mas’u>d dan Zaid bin S|a>bit dan Abdullah bin Umar dan Abu> Hurairah mengatakan : “ ‘iddahnya ialah dengan melahirkan kandungan yang ada di dalam perutnya meskipun suaminya ketika itu masih berada di atas kasur tempat membaringkan mayatnya.” Ini berarti bahwa ayat dari Surat at-T}ala>q mentakhsis ayat Surat al-Baqarah yang menjelaskan ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Hal ini karena ayat Surat at-T}a>laq diturunkan setelah ayat Surat al-Baqarah.20)
Dan bagi isteri yang tidak dalam keadaan hamil ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari berdasarkan Surat al-Baqarah (2) : 234. Dalam hal ini tidak ada perbedaan baik isteri masih kecil atau sudah dewasa, muslim atau kitabiyah begitu pula apakah sudah melakukan hubungan atau belum karena ‘iddah dalam kondisi seperti ini adalah untuk menunjukkan kesedihan dan rasa belas kasih atas kematian suami sehingga disyaratkan bahwa akadnya s}ahi>h, jika akadnya fasid maka ‘iddahnya dengan haid karena untuk mengetahui kebersihan rahim. Semua ketentuan ini adalah bagi isteri yang merdeka sementara jika isteri adalah hamba sahaya dan hamil maka ‘iddahnya sama dengan isteri yang merdeka yaitu sampai melahirkan dan jika tidak hamil dan masih mengalami haid ‘iddahnya adalah dua kali haid berdasarkan hadis\ Nabi :
Adapun jika putusnya perkawinan terjadi sebelum dukhul (hubungan seks) apabila disebabkan oleh kematian suami maka wajib bagi isteri untuk ber’iddah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dan jika putusnya perkawinan disebabkan karena talaq atau fasakh maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi isteri. Jika nikahnya berdasarkan akad sahih tidak disyaratkan adanya hubungan seks ( dukhul) hakiki akan tetapi adanya khalwat shahih sudah mewajibkan untuk ber’iddah sebaliknya jika berdasarkan akad fasid maka tidak wajib ber’iddah kecuali telah terjadi dukhu>l hakiki ( hubungan seks). Dan tidak ada kewajiban ‘iddah bagi isteri yang dicerai sebelum dicampuri ( qabla ad-dukhu>l) berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Ahzab (33) : 49.
20) Muhammad Yu>suf Mu>sa, Ahka>m al-Ah}wa>l asy-Syakhs}iyyah fi> Fiqh al-Isla>mi, cetI ( Mesir : Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, 1957M/1376H), hlm.349
21 (Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, “Kita>b At-T}ala>q, Ba>b fi> T}ala>q Al-Ammah wa ‘Iddatiha>, (Semarang : Toha Putra, t.t), I : 672. Hadis\ no. 2080. Hadis Riwayat Muhammad bin Basyar. Dalam riwayat lain ditulis وعدتها حيضتان . Tirmiz\i>, Sunan at-Tirmiz\i>, “Kita>b at-T}ala>q wa Li’a>n”, Ba>b Ma> Ja>’a anna T}ala>q al-Amati T}at}li>qata>ni”, (Makkah : Maktabah at-Tija>riyah, t.t), III : 488. Hadis nomor 1135. Hadis diriwayatkan oleh Fa>t}imah binti Qais.
0 komentar:
Post a Comment