Secara fikih perusahaan tidak merupakan objek
yang wajib membayar zakat maka yang wajib itu bukan perusahaan tapi pemiliknya.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi dalam buku Sofyan Syafri Harahap (2001 : 301) bahwa
“ Pada tahun kedua hijriyah syara’ menentukan jenis harta yang wajib dizakati,
diantaranya yaitu emas dan perak, perniagaan, peternakan, tanaman, dan barang –
barang temuan (rikaz) atau harta karun”.
Dalam konteks zakat badan usaha, maka secara
syariah, zakat ini merupakan peng-qiyas-an dari zakat perniagaan. Zakat
perusahaan kadarnya dihitung berdasarkan neraca perusahaan yang besarnya 2,5%.
Namun dalam kaitan dengan pajak, zakat yang digunakan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak berdasarkan laporan laba/rugi. Dengan demikian, akan
terjadi kesamaan antara pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan usaha
perusahaan seperti itu dan penghasilan para pedagang yang diharuskan
mengeluarkan zakat perdagangannya ketika mereka menjual hasil perdagangannya.
Dari pandangan secara makro maka tujuan
akuntansi syariah dikemukakan oleh Triyuwono (2001 : 27) adalah:
a. merupakan dasar dalam perhitungan zakat,
b.
memberikan dasar dalam pembagian keuntungan, distribusi kesejahteraan dan
pengungkapan terhadap kejadian dan nilai – nilai,
c. untuk
meyakinkan bahwa usaha yang dilakukan perusahaan bersifat Islami dan hasil
(laba) yang diperoleh tidak merugikan masyarakat.
Oleh sebab itu maka Harahap (2001 : 322)
mengemukakan standar akuntansi terhadap zakat yang terpenting adalah sebagai
berikut:
a.
penilaian current exchange value (nilai tukar sekarang) atau harga
pasar. Kebanyakan para ahli fikih mendukung bahwa harta perusahaan pada saat
menghitung zakat harus dinilai berdasarkan harga pasar,
b.
aturan satu tahun. Untuk mengukur nilai aktiva, kalender bulan harus dipakai
kecuali untuk zakat pertanian. Aktiva harus diberlakukan lebih dari satu tahun,
c.
aturan mengenai independensi. Peraturan ini berkaitan dengan standar di atas.
Zakat yang dihitung tergantung pada kekayaan akhir tahun. Piutang pendapatan
yang bukan pendapatan tahun ini dan pendapatan yang dipindahkan ke depan tidak
termasuk,
d.
standar realisasi. Kenaikan jumlah diakui pada tahun yang bersangkutan apakah
transaksi selesai atau belum. Piutang (transaksi kecil) harus dimasukkan dalam
perhitungan zakat,
e. yang
dikenakan zakat, nisab harus dihitung menurut hadits dimana tidak
ditagih zakat dari orang yang tidak cukup kekayaannya senisab,
f. net
total (gross) memerlukan net income. Setelah satu tahun penuh,
biaya, hutang, dan penggunaan keluarga harus dikurang dari income yang
akan dikenakan zakat,
g.
kekayaan aktiva, apakah di Negara Islam atau bukan, jika pemiliknya adalah
Islam, maka harus dimasukkan dalam perhitungan kekayaannya yang akan dikenakan
zakat dan dihitung nisab.
Triyuwono ( 2001 : 81 ) menjelaskan bahwa yang
termasuk dalam aktiva yang dikenai kewajiban zakat (selain aktiva tetap) adalah
kas dan setara kas, piutang, aktiva yang diperoleh untuk diperdagangkan dan
aktiva pembiayaan.
a.
Kas dan Setara Kas
Kas terdiri dari saldo kas (cash on hand)
dan rekening giro, sedangkan setara kas (cash equivalent) adalah
investasi yang sifatnya sangat liquid, berjangka pendek dan yang dengan
cepat dapat dijadikan kas dalam jumlah tertentu tanpa menghadapi resiko
perubahan yang signifikan
b.
Piutang
Piutang adalah klaim tehadap pihak lain atas
penyerahan barang atau jasa dalam rangka kegiatan usaha perusahaan. Piutang di
sini adalah piutang netto setelah dikurangi provisi untuk piutang ragu –
ragu.
c.
Aktiva yang diperoleh untuk diperdagangkan (seperti persediaan, surat berharga,
real estate dan lain - lain).
Aktiva yang diperoleh untuk diperdagangkan
harus diukur pada nilai ekivalen tunainya pada saat zakat sampai haul dan
nisab-nya.
d.
Aktiva Pembiayaan (seperti mudharabah, musyarakah, salam, istishna’
dan lain - lain).
Aktiva Pembiayaan haruslah merupakan aktiva
bersih (netto) dari semua provisi untuk semua nilai atau non-collectibility-nya.
Dana – dana yang digunakan untuk mendapatkan aktiva tetap yang berhubungan
dengan aktiva pembiayaan harus dikurangkan.
Mengenai masalah pengklarifikasian aktiva
tersebut, Gambling dan Karim dalam Buku Muhammad (2005 : 164) menyatakan bahwa
“ Pengklarifikasian aktiva menjadi aktiva lancar (current asset) dan
aktiva tetap (non-current asset) mempunyai arti yang berbeda dalam
pandangan syariah Islam. Dari kacamata syariah tentunya pengklarifikasian
aktiva tersebut digunakan untuk mengidentifikasi aktiva yang terkena zakat (zakatable
assets)”.
Dalam menentukan kapan sebuah perusahaan dapat
dikenakan zakat dari hasil usahanya harus memenuhi syarat – syarat yang telah
diatur dalam fikih. Sementara itu para ahli fikih menyatakan perhitungan
zakat perusahaan masih menemui kesulitan karena adanya perbedaan format
perhitungan serta elemen laporan keuangan yang berbeda dengan format baku saat
ini dengan menurut fikih. Perbedaan itu misalnya dalam menghitung laba,
menghitung biaya, aktiva tetap, dan sebagainya. Oleh sebab itu, maka Muhammad
(2005 : 164) mencoba untuk memberikan penjelasan dalam hal pengukuran zakat ini
yaitu “ Untuk kepentingan zakat, pengukuran yang lebih relevan digunakan adalah
net cost accounting atau net realizable value atau Continuously
Contemporary Accounting (CoCoA) dan tidak menggunakan historical cost
accounting”.
Dalam perbankan syariah, telah diatur suatu
standar untuk pembuatan laporan keuangannya yang berbeda dengan perbankan
konvensional pada umumnya. Dengan dikeluarkannya PSAK No. 59 yang walaupun
diakui belum sepenuhnya murni bersifat syariah karena merupakan penggabungan
dari PSAK yang ada. Prinsip – prinsip akuntansi yang berlaku umum serta standar
lain yang diadopsi dari luar negeri, maka ada beberapa jenis laporan keuangan
harus disajikan oleh sebuah lembaga keuangan syariah yang dikeluarkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia dalam PSAK No. 59 tentang Kerangka Dasar Penyusunan
dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah (2009 : Paragraf 68):
a.
komponen laporan keuangan mencerminkan kegiatan komersial:
(1)
laporan posisi keuangan
(2)
laporan laba rugi
(3)
laporan arus kas
(4)
laporan perubahan ekuitas,
b.
komponen laporan keuangan mencerminkan kegiatan sosial :
(1)
laporan sumber dan penggunaan dana zakat ; dan
(2)
laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan
c.
komponen laporan keuangan lainnya yang mencerminkan kegiatan dan tanggung jawab
khusus entitas syariah tersebut
Lebih jauh lagi Ikatan Akuntan Indonesia dalam
PSAK No. 59 tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan
Bank Syariah (Ibid : Paragraf 41) menyebutkan bahwa:
Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan
disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa
lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau setara kas
diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan
dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan. laporan keuangan yang
disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada pemakai tidak hanya
transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas, tetapi juga
kewajiban pembayaran kas di masa depan serta sumber daya yang merepresentasikan
kas yang diterima di masa depan. Oleh karena itu, laporan keuangan menyediakan
jenis informasi transaksi masa lalu dan peristiwa lainnya yang paling berguna
dalam pengambilan keputusan.
Kemudian Ikatan Akuntan Indonesia masih dalam
buku yang sama PSAK No. 59 tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
Laporan Keuangan Bank Syariah (Ibid : Paragraf 42) menyatakan ”penghitungan
pendapatan untuk tujuan bagi hasil usaha menggunakan dasar kas”.
Walaupun sebenarnya untuk paragraf 42 dalam
PSAK 59 masih dalam proses perdebatan yang panjang, karena sebagian dari
praktisi bank syariah menilai tidak sesuai diterapkan dalam lembaga perbankan
yang berbasis syariah. Hamidi (2003 : 224) berpendapat bahwa “ Bank syariah
akan mengalami kerugian apabila ia dipaksa untuk mengikuti PSAK 59, khususnya
harus mencatat pengakuan pendapatan laporan keuangan dengan dasar accrual,
dikarenakan akan sulit dilakukan pencatatan untuk pembiayaan mudharabah dan
musyarakah mengingat pendapatan yang diperoleh tidak dapat dipastikan
besarnya”.
Konsekuensi dari keadaan ini adalah bank
syariah akan menanggung pajak yang sudah harus dibayarkan, sementara sebenarnya
penerimaan tersebut belum pasti menjadi milik bank. Pengaruh yang paling besar
kepada pembayaran zakat adalah bahwa apabila zakat telah dikeluarkan, tetapi
ternyata di akhir periode pendapatan yang belum nyata itu tidak dapat diperoleh
sehingga berakibat tidak sesuainya pengeluaran zakat dengan laba yang
diperoleh. Walaupun demikian, PSAK No. 59 ini tetap diberlakukan dengan tetap
mempertimbangkan keadaan.
0 komentar:
Post a Comment