Dasar Perundang-undangan Daulah Islamiyah. Prinsip-prinsip yang merupakan tumpuan undang-undang dasar daulah ini ialah firman Allah S.W.T:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا.[1]
Ayat ini menjelaskan tentang enam hal yang bersangkutan dengan konstitusi dasar yaitu:
1. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya didahulukan dari segala ketaatan kepada yang lain.
2. Ulil–Amri haruslah terdiri dari atas orang-orang mukmin.
3. Ketaatan kepada ulil-amri datang setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
4. Rakyat mempunyai hak menggugat para penguasa dan pemerintah.
5. Ketaatan penentu dalam setiap perselisihan adalah undang-undang Allah dan Rasul-Nya.
6. Diperlukan adanya suatu badan yang bebas dan merdeka dari tekanan rakyat maupun pengaruh para penguasa, agar dapat memberi keputusan dalam perselisihann-perselisihan sesuai dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya.
Dasar Perundang-undangan Daulah Islamiyah. Dengan demikian ayat tersebut di atas mengandung beberapa unsur, yaitu;
a. Kekuasaan badan eksekutif haruslah dibatasi dengan batasan-batas Allah, diikat dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya, yaitu undang-undang yang tidak boleh dilampauinnya dengan memilih suatu politik atau mengeluarkan suatu hukum yang dapat digolongkan sebagai maksiat atau pembangkangan terhadap konstitusi ini. Sebab apabila ia keluar dari lingkaran ini, maka ia kehilangan haknya untuk menuntut ketaaatan rakyat kepadanya. Lebih jauh, badan eksekutif ini haruslah dibentuk dengan jalan permusyawaratan, yakni pemilihan, dan itu adalah satu-satunya jalan yang dibenarkan, sebagimana ia harus melaksanakan tindakan-tindakannya berdasarkan permusyawaratan. Al-Qur’an tidak menentukan bentuk atau rupa tertentu berkenaan dengan permusyawaratan dan pemilihan, tetapi ia meletakkan dasar-dasar umum dan kaidah-kaidah yang luas, kemudian membiarkan bentuk-bentuk pelaksanaannya ditetapkan sendiri oleh manusia dalam zaman yang berbeda sesuai dengan zaman dan kondisi lingkungan mereka.[2]
b. Lembaga legislatif haruslah bekerja berdasarkan pada musyawarah, namun kekuasaan-kekuasaannya dalam membuat undang-undang harus dibatasi dengan batasan-batasan tertentu. Perkara-perkara yang oleh Allah dan Rasul-Nya telah ditetapkan hukumnya yang jelas dan atau telah ditetapkan batasan dan prinsip dasarnya, maka badan legislatif ini dibolehkan membuat penafsiran-penafsiran, perincian-perincian atau mengajukan saran-saran untuk membuat kaidah peraturan sampingan dan ikatan khusus dalam melaksanakannya dan menjalankannya. Tatapi badan ini tidak diperbolehkan melakukan suatu penolakan atau pergantian.[3] Adapun perkara-perkara yang oleh pemegang kekuasaan tertinggi yakni Allah belum ditetapkan hukumnya yang pasti atau belum diletakkan dasar atau batasan-batasannya, maka badan legislatif ini diperbolehkan membuat undang-undang yang sesuai dengan ruh Islam serta prinsp-prisipnya yang umum, sebab tidak adanya ketentuan dari zat pembuat syari’at. Yakni Allah mengenai perkara-perkara itu, menunjukkan bahwa Dia telah menyerahkannya kepada kebijaksanaan kaum mukmin yang benar.
c. Lembaga yudikatif haruslah bersifat bebas dan terlepas dari segala campur tangan, tekanan, pengaruh, sehingga dapat membuat keputusan, baik melawan rakyat atu penguasa, sesuai dengan konstitusi, tanpa rasa takut atau penyimpangan.[4] Dalam hal ini ia haruslah mengikuti batasan-batasan yang telah ada. Dan menjadikannya untuk memutuskan perkara-perkara dengan haq dan adil tanpa terpengaruh oleh kecenderungannya sendiri ataupun kecenderungan orang lain.
Artikel Terkait Lainnya:
Ciri-Ciri Daulah Islamiyyah
Bentuk Kekuasaan Khilafah Daulah Islamiyah
[1] An-Nisa' (4): 59.
[2] Mahdi Muzaffary, Kekuasaan Dalam Islam, hlm. 67
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 69
6. Diperlukan adanya suatu badan yang bebas dan merdeka dari tekanan rakyat maupun pengaruh para penguasa, agar dapat memberi keputusan dalam perselisihann-perselisihan sesuai dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya.
Dasar Perundang-undangan Daulah Islamiyah. Dengan demikian ayat tersebut di atas mengandung beberapa unsur, yaitu;
a. Kekuasaan badan eksekutif haruslah dibatasi dengan batasan-batas Allah, diikat dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya, yaitu undang-undang yang tidak boleh dilampauinnya dengan memilih suatu politik atau mengeluarkan suatu hukum yang dapat digolongkan sebagai maksiat atau pembangkangan terhadap konstitusi ini. Sebab apabila ia keluar dari lingkaran ini, maka ia kehilangan haknya untuk menuntut ketaaatan rakyat kepadanya. Lebih jauh, badan eksekutif ini haruslah dibentuk dengan jalan permusyawaratan, yakni pemilihan, dan itu adalah satu-satunya jalan yang dibenarkan, sebagimana ia harus melaksanakan tindakan-tindakannya berdasarkan permusyawaratan. Al-Qur’an tidak menentukan bentuk atau rupa tertentu berkenaan dengan permusyawaratan dan pemilihan, tetapi ia meletakkan dasar-dasar umum dan kaidah-kaidah yang luas, kemudian membiarkan bentuk-bentuk pelaksanaannya ditetapkan sendiri oleh manusia dalam zaman yang berbeda sesuai dengan zaman dan kondisi lingkungan mereka.[2]
b. Lembaga legislatif haruslah bekerja berdasarkan pada musyawarah, namun kekuasaan-kekuasaannya dalam membuat undang-undang harus dibatasi dengan batasan-batasan tertentu. Perkara-perkara yang oleh Allah dan Rasul-Nya telah ditetapkan hukumnya yang jelas dan atau telah ditetapkan batasan dan prinsip dasarnya, maka badan legislatif ini dibolehkan membuat penafsiran-penafsiran, perincian-perincian atau mengajukan saran-saran untuk membuat kaidah peraturan sampingan dan ikatan khusus dalam melaksanakannya dan menjalankannya. Tatapi badan ini tidak diperbolehkan melakukan suatu penolakan atau pergantian.[3] Adapun perkara-perkara yang oleh pemegang kekuasaan tertinggi yakni Allah belum ditetapkan hukumnya yang pasti atau belum diletakkan dasar atau batasan-batasannya, maka badan legislatif ini diperbolehkan membuat undang-undang yang sesuai dengan ruh Islam serta prinsp-prisipnya yang umum, sebab tidak adanya ketentuan dari zat pembuat syari’at. Yakni Allah mengenai perkara-perkara itu, menunjukkan bahwa Dia telah menyerahkannya kepada kebijaksanaan kaum mukmin yang benar.
c. Lembaga yudikatif haruslah bersifat bebas dan terlepas dari segala campur tangan, tekanan, pengaruh, sehingga dapat membuat keputusan, baik melawan rakyat atu penguasa, sesuai dengan konstitusi, tanpa rasa takut atau penyimpangan.[4] Dalam hal ini ia haruslah mengikuti batasan-batasan yang telah ada. Dan menjadikannya untuk memutuskan perkara-perkara dengan haq dan adil tanpa terpengaruh oleh kecenderungannya sendiri ataupun kecenderungan orang lain.
Artikel Terkait Lainnya:
Ciri-Ciri Daulah Islamiyyah
Bentuk Kekuasaan Khilafah Daulah Islamiyah
[1] An-Nisa' (4): 59.
[2] Mahdi Muzaffary, Kekuasaan Dalam Islam, hlm. 67
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 69
0 komentar:
Post a Comment