Bentuk Kekuasaan Khilafah Daulah Islamiyah[1]
Salah satu fenomena yang menarik pada dekade-dekde terakhir ini, khususnya yang terjadi di Indonesia tiga tahun terakhir ini, adalah semakin kompleksnya pertautan antara kekuasaan dengan kekerasan sebagai akibat dari semakin maju dan meningkatnya kompleksitas teknologi, manajeman, dan kehidupan dan kehidupan sosial politik. Kekuasaan dan kekerasaan yang ada dibaliknya kini dilengkapi dengan teknologi yang tinggi (high technology). Artinya, cara, trik, taktik, dan strategi yang digunakan dalam melanggengkan kekuasaan begitu canggih, sehingga kekerasan—yang sebenarnya merupakan bagian yang menyatu dalam proses mempertahankan kekuasaan—diciptakan sedemikian rupa, sehingga seakan-akan kekerasan itu tidak pernah ada. Kekerasan ditutup dengan berbagai topeng dan tirai- tirai, seolah-olah ia dilakukan oleh kelompok tertentu yang anti pemerintahan (maker, subversi). Seolah- olah kekerasan itu murni terjadi antara kelompok- kelompok masyarakat yang sedang bermusuhan. Padahal, dibalik semua kekerasan itu ada skenario yang diciptakan, yang semuanya pada akhirnya bermuara pada upaya pelanggengan kekuasaan.
Bentuk Kekuasaan Khilafah Daulah Islamiyah. Sama halnya dengan apa yang terjadi pada bangsa Arab terdahulu, ditemukan suatu uraian tentang konsep negara Islam secara relatif adalah suatu hal yang baru saja dimulai. Walaupun sebenarnya, persaingan untuk merebut kekuasaan itu sejak lama sudah ada, bahkan pada zaman kehidupan Rasululllah itu sendiri.
Berbagai konflik, bahkan dalam persenjataan, yang mempertentangkan antara seorang muslim dengan seorang muslim yang lainnya. Menunjukkan keingingan-keinginan yang dapat menimbulkan perdebatan, yang akhirnya akan menjurus pada perpecahan. Mulai dari perpecahan umat Islam di Madinah (pada zaman Rasulullah sendiri, antara berbagai kelompok). Dan yang paling menonjol adalah antara pihak Muhajirin dan Anshar. Dalam peperangan Siffin, antara Ali dan Muawiyah, kemudian perlawanan Husein, anak Ali terhadap Yazid anak Muawiyah, dan akhirnya jatuhnya kedaulatan Bani Umayyah, yang digantikan dengan Bani Abbasiyah.
Dalam kenyataan, justru perpecahan dan perjuangan politik inilah yang akhirnya mengakibatkan munculnya perpecahan teoritis (tentang kekuasaan Islam). Sehingga timbullah aliran-aliran, mazhab-mazhab, dan doktrin-doktrin yang berbeda pendirian sekte-sekte (seperti Sunni, Syiah, dan Khawarij), yang pada intinya itu semua terjadi karena didasari dengan adanya cinta kekuasaan. Hal inilah yang merupakan menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat, khususnya dalam mazhab-mazhab politik. Pandangan orang-orang yang cinta politik kekuasaan akan selalu berhenti pada hal yang berhubugan dengan kekuatan kekuasaan. Pandangan ini muncul dari keinginan khusus mereka dan berusaha menguatkan dengan mengaku ikhlas dalam menyerukan seruannya dan menekankan bahwa apa yang mereka katakan itulah yang paling benar.[2] Fanatisme rasional atau etnis kadang-kadang menjadi penyebab perbedaan pendapat pula. Penyebab inilah yang akhirnya dapat dikategorikan menjadi atau ke dalam cinta kekuasaan.
Bentuk Kekuasaan Khilafah Daulah Islamiyah. Sekarang marilah melihat secara singkat berbagai masalah teoritis tentang kekuasaan khalifah dalam Islam. Masalah-masalah tersebut lebih lanjut diuraiakan dan paparan dalam paparan yang selanjutnya.
1. Perlunya seorang khalifah
Prinsip politik sekitar jabatan khalifah, cukup sederhana bahwa kepemimpinan umat setelah wafatnya Rasulullah SAW, janganlah dibiarkan kosong begitu saja. Untuk itu diperlukan adanya seorang khalifah, dan seorang khalifah tersebut haruslah dipilih untuk menduduki jabatan tertinggi itu, guna manjalankan tugas utama yang timbul adalah tentang kewajiban dan sifat pokok (calon untuk jabatan khalifah tersebut).
Mayoritas kalangan Sunni sekarang telah sepakat tentang kepastian adanya seorang pemimpin (Imam).[3] Yang bertujuan untuk menegakkan persatuan dan mengatur masyarakat, mengusahakan tetap berlakunya hudud (hukuman atas kejahatan-kejahatan yang tertentu ), mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya dan mendistribusikan kepada orang-orang miskin, mempertahankan batasan-batasan wilayah kekuasaan, menyelesaikan masalah-masalah dengan mengangkat para hakim, menyatukan pendapat,melaksanakan hukum syara’ dan menciptakan. Negara yang penuh dengan keberkatan sebagaimana yang diajarkan (dianjurkan) oleh Islam. Hal inilah yang merupakan jadi dasar kesepakatan kaum muslimin, khususnya kaum Sunni. Berbeda dengan sejumlah kecil golongan Khawarij yang menolak untuk mengakui keharusan adanya seorang khalifah.[4] Sementara itu Ibn Khaldun, ia mengatakan; “ kemudian dari pada itu, jabatan imam wajib hukumnya dalam syara’ ditetapkan melalui ijma’ para sahabat dan tabi’in, sebab seiring dengan wafatnya Rasullah para sahabat juga bersegera membai’at Abu Bakar ash-Shidiq lalu menyerahkan persoalan mereka kepadanya. Demikian pula yang terjadi pada masa sesudahnya; tidak pernah barang sedetik pun umat dibiarkan kacau tanpa adanya pemimpin ketetapan yang diambil melalui ijma’ ini membuktikan wajibnya seorang imam”.[5] Mayoritas para teolog yang menerima akan perlunya sistem khalifah, dengan mengacu pada dua sistem yaitu:
a. Meletakkan dasar-dasar kewajibannya pada bukti-bukti nas (syari’).
b. Tentang pemilihan seorang khalifah, harus mepunyai dua aspek yaitu, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang calon khalifah dan cara pemilihannya.
2. Persyaratan yang wajib dipenuhi bagi calon khalifah.
Untuk terciptanya kekhalifahan yang bersifat kenabian dan tidak beruba menjadi kerajaan turun menurun, maka para ulama telah menyusun berbagai syarat (untuk dipenuhi oleh seorang calon khalifah), yang garis besarnya ada persamaan. Seorang calon khalifah harus memenuhi syarat-syarat kedewasaan (baligh), berakal sehat, laki-laki dan seorang yang bebas (orang-orang budak dikecualikan). Dalam hal ini jumhur ulama (Sunni), telah sepakat untuk menetapkan empat syarat bagi seorang yang diangkat menjadi imam, yaitu suku Quraisy, adanya bai’at, hasil musyawarah, dan bersifat adil.[6] lebih lanjut kaum Sunni tidak menentukan syarat utama seorang calon yang akan menjadi khalifah,mereka lebih mementingkan dari silsilah keturunan suku Quraisy. Hal ini terbukti, dimulai sejak keempat khalifah Arab, yaitu dari al-Khulafa ar-Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali), Khalifah Bani Umayyah, Khalifah Bani Abbasiyah dan Khalifah Fathimiyah, yang kesemuanya itu berasal dari suku Quraisy, yaitu suku Rasulullah SAW sendiri berasal.[7] Sementara menurut Ibn Taimiyah, hendaknya dipilih orang yang paling sesuai untuk menempati setiap jabatan yang ada. Sesungguhnya untuk menempati sebuah posisi (kedudukan) tertentu. Maka untuk menjadi seorang khalifah hendaknya memenuhi dua kriteria sebagi berikut ini, yaitu harus adanya Quwwah (otoritas) dan amanah (jujur dan dapat dipercaya).[8] Tampaknya dalam hal ini (amanah), Ibn Taimiyah mengartikannya menjadi dua arti.
a. Yang dimaksudkan dengan amanah adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala negara untuk mengelolanya. Dan pengelolaannya akan baik sempurna jikalau dalam pengangkatan para pembantunya, seorang pemimpin harus memilih orang-orang yang betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan.
b. Perkataan amanah yang dimaksudkan juga mengandung arti pula kewenangan memerintah yang dimiliki oleh kepala negara, dan kalau untuk melaksanakannya dia memerlukan wakil-wakil dan pembantu-pembantu, hendaknya mereka terdiri dari orang-orang yang betul-betul memiliki persyaratan kecakapan dan kemampuan. Dan kalau memang dia melimpahkan wewenang memerintah pada wakil, pembantu dan pejabat yang kurang cakap sedangkan terdapat orang-orang yang memenuhi syarat, ini akan dapat terlihat dan merupakan pengkhianatan terhadap Allah, Rasul, dan umat Islam.[9] Adapun golongan Ahlu as-Sunnah berpendapat, bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemimpin adalah: calon tersebut harus memiliki keutamaan (wibawa), adil, dan ikhlas. Sebab jika syarat seperti itu sudah tidak ada, dan juga sudah terbentuknya atau terpilihnya seorang imam, maka jalan terbaik yang harus dilakukan adalah mematuhinya dengan sabar. Karena itu dipandang lebih baik daripada menentangnya. Hal ini mengingat akibat yang timbul dari tindakan menentang itu, antara lain adalah keamanan akan berubah menjadi sebuah ketakutan, darah akan mengalir di mana-mana, dan kerusakan pasti akan terjadi (timbul).[10]
3. Cara Untuk Memilih Khalifah.
Dengan wafatnya Rasulullah SAW, maka berakhir pula situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi), yang berdasarkan pada kenabian dan bersumberkan pada wahyu Ilahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang lagi, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad SAW, adalah Nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu Rasulullah tidak meninggalkan wasiat dan pesan tentang siapa di antara sahabat yang harus menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin umat. Sebab agama Islam, dalam bentuk asalnya tidak menetapkan suatu cara atau prosedur tertentu dalam memilih seorang khalifah (pengganti Rasulullah). Kenyataan ini, dalam berbagai hal, adalah suatu opini yang dipegang oleh sejumlah besar (jumhur ulama ) umat Islam, dalam hal ini adalah mazhab Sunni.
Tidak ada sebuah nas yang memberikan instruksi tentang tata cara pemilihan seorang pemimpin ini, hal inilah yang menimbulkan berbagai cara dan prosedur. Empat al-Khulafa ar-Rasyidun, yang silih berganti memimpin masyarakat Islam, yakni selama selama 29 tahun (632-661 M) jelas-jelas nampak, bahwa setiap khalifah terpilih dengan cara-cara yang berbeda (empat cara). Apabila menambahkan aspek keturunan, selain keempat cara tersebut, maka akan menemukan lima cara dalam memilih seorang khalifah sebagi berikut:[11]
a. Pertimbangan dari sebuah majlis (Saqifa)
b. Pilihan dari seorang yang berkuasa ( ‘Ahd )
c. Pilihan melalui musyawarah sahabat tertentu ( Syurah )
d. Khalifah yang diangkat setelah terjadinya pemberontakan (Fitnah)
e. Pemilihan berdasarkan keturunan (Irth)
[1] Istilah khilafat telah disepakati dalam Islam sudah dimulai sejak terjadinya pemilihan Abu Bakar untuk menempati jabatan kepemimpinan umat, yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah, yang pada akhirnya istilah tersebut telah dipakai untuk menyebutkan seseorang yang memegang kekuasaan tertinggi (menjadi Imam). Kata Imam atau Imamah ini sedang digunakan oleh bani Abassiyah, di mana pada saat itu golongan Abassiyah mendorong para ulama Sunni untuk menggunakan istilah tersebut bagi teori politik Sunni. Baca Qmaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, terjemahan Taufik Adnan Kamal, cet. I (Bandung: Pustaka, 1987) hlm. 26
[2] Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa adakala seorang pemimpin-pemimpin itu mempunyai seorang pedukung yang mengeluh-ngeluhkannya. Mereka memberikan dukungan dan menyebarluaskan berbagi pandangan dalam rangka dukungan itu, padahal sesungguhnya mereka telah menipu dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa pendapat mereka yang paling benar. Padahal kelompok yang semacam ia adalah merupakan kelompok yang paling berbahaya bagi kelompok manusia yang lainnya. Baca Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran-aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, terjemahan Abdur Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, cet. I ( Jakarta: Logos, 1996 ), hlm. 4
[3] Muhammad Abu Zahrah, Aliran-aliran Politik, hlm. 87
[4] Seperti Abu Bakar al-Asam dan Hisyam al-Fuwati. Bagi al-Asam, “Komunitas yang ideal adalah yang terdiri dari manusia-manusia jujur; dengan demikian, tidak memerlukan adanya pemimpin- pemimpin politik. Hanya ketika ketidakadilan manusia yang mengharuskan memberikan atau menerima seorang pemimpin. Orang sudah menahan diri untuk tidak saling bermusuhan tidak perlu untuk mempunyai seorang khalifah “Sementara al-Fuwati dipihaknya melihat bahwa “Ketika komunitas Islam sudah terpecah-pecah belah dan tenggelam dalam anarsi pertentangan, maka selurh kepemimpinan (dalam pengertian yang luas, termasuk pula khalifah), adalah kepemimpinan menurut kenyataan de facto, dan bukan berdasrkan pada de jure. Hanya jika suatu komunitas sudah bersatu, akan mampu bersepakat untuk memilih seorang imam, dan imam itu menjadi sah. Baca Mehdi Muzaffari, Kekuasaan Dalam Islam, terjemahan Abdul Rahman Ahmed, cet. I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 32
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:
Ciri-Ciri Daulah Islamiyah
Dasar Perundang-Undangan Daulah Islamiyah
[5] Diya’ ad-Din ar-Rais, Islam Dan Khalifah: Kritik Terhadap Buku Khilafah Dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali ‘Abdur Raziq, terjemahan Afif Muhammad, cet. 1 (Bandung: Pustaka, 1985), hlm.172
[6] Baca Muhammad Abu Zahrah, Aliran-aliran Politik, hlm. 88-104
[7] Mahdi Muzaffary, Kekuasaan dalam Islam, hlm. 34
[8] Ibn Taimiyah, Siyasah Syari’iyah: Etika Politik Islam, terjemahan: Rafiq Munawar, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 11-12.
[9] Munawwir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet. I (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 85-86
[10] Muhammad Abu Zarrah, Aliran-aliran Politik, hlm.106
[11] Baca Mehdi Muzaffary, Kekuasaan Dalam Islam, hlm. 36-38. Sementara Dhiya ad-Din ar-Rais berpendapat, bahwa prinsip kekhalifahan dikalangan kaum Muslimin hendaknya bersumber pada pemilihan ahl al-hal wa al-‘Aqd….. hanya saja bila kita merujuk pada kenyataan yang ada, maka kita akan menemukan kenyataan bahwa khalifah Islam selama ini tidak berbijak pada asas apapun selain kekuatan dan paksaan yang sewenang- enang. Kecuali dalam jumlah yang amat kecil, kekuatan itu pada umumnya merupakan kekuatan bersenjata…” Lihat Diya ad-Din ar-Rais, Islam Dan Khilafah, hlm. 233- 234.
Salah satu fenomena yang menarik pada dekade-dekde terakhir ini, khususnya yang terjadi di Indonesia tiga tahun terakhir ini, adalah semakin kompleksnya pertautan antara kekuasaan dengan kekerasan sebagai akibat dari semakin maju dan meningkatnya kompleksitas teknologi, manajeman, dan kehidupan dan kehidupan sosial politik. Kekuasaan dan kekerasaan yang ada dibaliknya kini dilengkapi dengan teknologi yang tinggi (high technology). Artinya, cara, trik, taktik, dan strategi yang digunakan dalam melanggengkan kekuasaan begitu canggih, sehingga kekerasan—yang sebenarnya merupakan bagian yang menyatu dalam proses mempertahankan kekuasaan—diciptakan sedemikian rupa, sehingga seakan-akan kekerasan itu tidak pernah ada. Kekerasan ditutup dengan berbagai topeng dan tirai- tirai, seolah-olah ia dilakukan oleh kelompok tertentu yang anti pemerintahan (maker, subversi). Seolah- olah kekerasan itu murni terjadi antara kelompok- kelompok masyarakat yang sedang bermusuhan. Padahal, dibalik semua kekerasan itu ada skenario yang diciptakan, yang semuanya pada akhirnya bermuara pada upaya pelanggengan kekuasaan.
Bentuk Kekuasaan Khilafah Daulah Islamiyah. Sama halnya dengan apa yang terjadi pada bangsa Arab terdahulu, ditemukan suatu uraian tentang konsep negara Islam secara relatif adalah suatu hal yang baru saja dimulai. Walaupun sebenarnya, persaingan untuk merebut kekuasaan itu sejak lama sudah ada, bahkan pada zaman kehidupan Rasululllah itu sendiri.
Berbagai konflik, bahkan dalam persenjataan, yang mempertentangkan antara seorang muslim dengan seorang muslim yang lainnya. Menunjukkan keingingan-keinginan yang dapat menimbulkan perdebatan, yang akhirnya akan menjurus pada perpecahan. Mulai dari perpecahan umat Islam di Madinah (pada zaman Rasulullah sendiri, antara berbagai kelompok). Dan yang paling menonjol adalah antara pihak Muhajirin dan Anshar. Dalam peperangan Siffin, antara Ali dan Muawiyah, kemudian perlawanan Husein, anak Ali terhadap Yazid anak Muawiyah, dan akhirnya jatuhnya kedaulatan Bani Umayyah, yang digantikan dengan Bani Abbasiyah.
Dalam kenyataan, justru perpecahan dan perjuangan politik inilah yang akhirnya mengakibatkan munculnya perpecahan teoritis (tentang kekuasaan Islam). Sehingga timbullah aliran-aliran, mazhab-mazhab, dan doktrin-doktrin yang berbeda pendirian sekte-sekte (seperti Sunni, Syiah, dan Khawarij), yang pada intinya itu semua terjadi karena didasari dengan adanya cinta kekuasaan. Hal inilah yang merupakan menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat, khususnya dalam mazhab-mazhab politik. Pandangan orang-orang yang cinta politik kekuasaan akan selalu berhenti pada hal yang berhubugan dengan kekuatan kekuasaan. Pandangan ini muncul dari keinginan khusus mereka dan berusaha menguatkan dengan mengaku ikhlas dalam menyerukan seruannya dan menekankan bahwa apa yang mereka katakan itulah yang paling benar.[2] Fanatisme rasional atau etnis kadang-kadang menjadi penyebab perbedaan pendapat pula. Penyebab inilah yang akhirnya dapat dikategorikan menjadi atau ke dalam cinta kekuasaan.
Bentuk Kekuasaan Khilafah Daulah Islamiyah. Sekarang marilah melihat secara singkat berbagai masalah teoritis tentang kekuasaan khalifah dalam Islam. Masalah-masalah tersebut lebih lanjut diuraiakan dan paparan dalam paparan yang selanjutnya.
1. Perlunya seorang khalifah
Prinsip politik sekitar jabatan khalifah, cukup sederhana bahwa kepemimpinan umat setelah wafatnya Rasulullah SAW, janganlah dibiarkan kosong begitu saja. Untuk itu diperlukan adanya seorang khalifah, dan seorang khalifah tersebut haruslah dipilih untuk menduduki jabatan tertinggi itu, guna manjalankan tugas utama yang timbul adalah tentang kewajiban dan sifat pokok (calon untuk jabatan khalifah tersebut).
Mayoritas kalangan Sunni sekarang telah sepakat tentang kepastian adanya seorang pemimpin (Imam).[3] Yang bertujuan untuk menegakkan persatuan dan mengatur masyarakat, mengusahakan tetap berlakunya hudud (hukuman atas kejahatan-kejahatan yang tertentu ), mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya dan mendistribusikan kepada orang-orang miskin, mempertahankan batasan-batasan wilayah kekuasaan, menyelesaikan masalah-masalah dengan mengangkat para hakim, menyatukan pendapat,melaksanakan hukum syara’ dan menciptakan. Negara yang penuh dengan keberkatan sebagaimana yang diajarkan (dianjurkan) oleh Islam. Hal inilah yang merupakan jadi dasar kesepakatan kaum muslimin, khususnya kaum Sunni. Berbeda dengan sejumlah kecil golongan Khawarij yang menolak untuk mengakui keharusan adanya seorang khalifah.[4] Sementara itu Ibn Khaldun, ia mengatakan; “ kemudian dari pada itu, jabatan imam wajib hukumnya dalam syara’ ditetapkan melalui ijma’ para sahabat dan tabi’in, sebab seiring dengan wafatnya Rasullah para sahabat juga bersegera membai’at Abu Bakar ash-Shidiq lalu menyerahkan persoalan mereka kepadanya. Demikian pula yang terjadi pada masa sesudahnya; tidak pernah barang sedetik pun umat dibiarkan kacau tanpa adanya pemimpin ketetapan yang diambil melalui ijma’ ini membuktikan wajibnya seorang imam”.[5] Mayoritas para teolog yang menerima akan perlunya sistem khalifah, dengan mengacu pada dua sistem yaitu:
a. Meletakkan dasar-dasar kewajibannya pada bukti-bukti nas (syari’).
b. Tentang pemilihan seorang khalifah, harus mepunyai dua aspek yaitu, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang calon khalifah dan cara pemilihannya.
2. Persyaratan yang wajib dipenuhi bagi calon khalifah.
Untuk terciptanya kekhalifahan yang bersifat kenabian dan tidak beruba menjadi kerajaan turun menurun, maka para ulama telah menyusun berbagai syarat (untuk dipenuhi oleh seorang calon khalifah), yang garis besarnya ada persamaan. Seorang calon khalifah harus memenuhi syarat-syarat kedewasaan (baligh), berakal sehat, laki-laki dan seorang yang bebas (orang-orang budak dikecualikan). Dalam hal ini jumhur ulama (Sunni), telah sepakat untuk menetapkan empat syarat bagi seorang yang diangkat menjadi imam, yaitu suku Quraisy, adanya bai’at, hasil musyawarah, dan bersifat adil.[6] lebih lanjut kaum Sunni tidak menentukan syarat utama seorang calon yang akan menjadi khalifah,mereka lebih mementingkan dari silsilah keturunan suku Quraisy. Hal ini terbukti, dimulai sejak keempat khalifah Arab, yaitu dari al-Khulafa ar-Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali), Khalifah Bani Umayyah, Khalifah Bani Abbasiyah dan Khalifah Fathimiyah, yang kesemuanya itu berasal dari suku Quraisy, yaitu suku Rasulullah SAW sendiri berasal.[7] Sementara menurut Ibn Taimiyah, hendaknya dipilih orang yang paling sesuai untuk menempati setiap jabatan yang ada. Sesungguhnya untuk menempati sebuah posisi (kedudukan) tertentu. Maka untuk menjadi seorang khalifah hendaknya memenuhi dua kriteria sebagi berikut ini, yaitu harus adanya Quwwah (otoritas) dan amanah (jujur dan dapat dipercaya).[8] Tampaknya dalam hal ini (amanah), Ibn Taimiyah mengartikannya menjadi dua arti.
a. Yang dimaksudkan dengan amanah adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala negara untuk mengelolanya. Dan pengelolaannya akan baik sempurna jikalau dalam pengangkatan para pembantunya, seorang pemimpin harus memilih orang-orang yang betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan.
b. Perkataan amanah yang dimaksudkan juga mengandung arti pula kewenangan memerintah yang dimiliki oleh kepala negara, dan kalau untuk melaksanakannya dia memerlukan wakil-wakil dan pembantu-pembantu, hendaknya mereka terdiri dari orang-orang yang betul-betul memiliki persyaratan kecakapan dan kemampuan. Dan kalau memang dia melimpahkan wewenang memerintah pada wakil, pembantu dan pejabat yang kurang cakap sedangkan terdapat orang-orang yang memenuhi syarat, ini akan dapat terlihat dan merupakan pengkhianatan terhadap Allah, Rasul, dan umat Islam.[9] Adapun golongan Ahlu as-Sunnah berpendapat, bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemimpin adalah: calon tersebut harus memiliki keutamaan (wibawa), adil, dan ikhlas. Sebab jika syarat seperti itu sudah tidak ada, dan juga sudah terbentuknya atau terpilihnya seorang imam, maka jalan terbaik yang harus dilakukan adalah mematuhinya dengan sabar. Karena itu dipandang lebih baik daripada menentangnya. Hal ini mengingat akibat yang timbul dari tindakan menentang itu, antara lain adalah keamanan akan berubah menjadi sebuah ketakutan, darah akan mengalir di mana-mana, dan kerusakan pasti akan terjadi (timbul).[10]
3. Cara Untuk Memilih Khalifah.
Dengan wafatnya Rasulullah SAW, maka berakhir pula situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi), yang berdasarkan pada kenabian dan bersumberkan pada wahyu Ilahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang lagi, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad SAW, adalah Nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu Rasulullah tidak meninggalkan wasiat dan pesan tentang siapa di antara sahabat yang harus menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin umat. Sebab agama Islam, dalam bentuk asalnya tidak menetapkan suatu cara atau prosedur tertentu dalam memilih seorang khalifah (pengganti Rasulullah). Kenyataan ini, dalam berbagai hal, adalah suatu opini yang dipegang oleh sejumlah besar (jumhur ulama ) umat Islam, dalam hal ini adalah mazhab Sunni.
Tidak ada sebuah nas yang memberikan instruksi tentang tata cara pemilihan seorang pemimpin ini, hal inilah yang menimbulkan berbagai cara dan prosedur. Empat al-Khulafa ar-Rasyidun, yang silih berganti memimpin masyarakat Islam, yakni selama selama 29 tahun (632-661 M) jelas-jelas nampak, bahwa setiap khalifah terpilih dengan cara-cara yang berbeda (empat cara). Apabila menambahkan aspek keturunan, selain keempat cara tersebut, maka akan menemukan lima cara dalam memilih seorang khalifah sebagi berikut:[11]
a. Pertimbangan dari sebuah majlis (Saqifa)
b. Pilihan dari seorang yang berkuasa ( ‘Ahd )
c. Pilihan melalui musyawarah sahabat tertentu ( Syurah )
d. Khalifah yang diangkat setelah terjadinya pemberontakan (Fitnah)
e. Pemilihan berdasarkan keturunan (Irth)
[1] Istilah khilafat telah disepakati dalam Islam sudah dimulai sejak terjadinya pemilihan Abu Bakar untuk menempati jabatan kepemimpinan umat, yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah, yang pada akhirnya istilah tersebut telah dipakai untuk menyebutkan seseorang yang memegang kekuasaan tertinggi (menjadi Imam). Kata Imam atau Imamah ini sedang digunakan oleh bani Abassiyah, di mana pada saat itu golongan Abassiyah mendorong para ulama Sunni untuk menggunakan istilah tersebut bagi teori politik Sunni. Baca Qmaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, terjemahan Taufik Adnan Kamal, cet. I (Bandung: Pustaka, 1987) hlm. 26
[2] Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa adakala seorang pemimpin-pemimpin itu mempunyai seorang pedukung yang mengeluh-ngeluhkannya. Mereka memberikan dukungan dan menyebarluaskan berbagi pandangan dalam rangka dukungan itu, padahal sesungguhnya mereka telah menipu dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa pendapat mereka yang paling benar. Padahal kelompok yang semacam ia adalah merupakan kelompok yang paling berbahaya bagi kelompok manusia yang lainnya. Baca Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran-aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, terjemahan Abdur Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, cet. I ( Jakarta: Logos, 1996 ), hlm. 4
[3] Muhammad Abu Zahrah, Aliran-aliran Politik, hlm. 87
[4] Seperti Abu Bakar al-Asam dan Hisyam al-Fuwati. Bagi al-Asam, “Komunitas yang ideal adalah yang terdiri dari manusia-manusia jujur; dengan demikian, tidak memerlukan adanya pemimpin- pemimpin politik. Hanya ketika ketidakadilan manusia yang mengharuskan memberikan atau menerima seorang pemimpin. Orang sudah menahan diri untuk tidak saling bermusuhan tidak perlu untuk mempunyai seorang khalifah “Sementara al-Fuwati dipihaknya melihat bahwa “Ketika komunitas Islam sudah terpecah-pecah belah dan tenggelam dalam anarsi pertentangan, maka selurh kepemimpinan (dalam pengertian yang luas, termasuk pula khalifah), adalah kepemimpinan menurut kenyataan de facto, dan bukan berdasrkan pada de jure. Hanya jika suatu komunitas sudah bersatu, akan mampu bersepakat untuk memilih seorang imam, dan imam itu menjadi sah. Baca Mehdi Muzaffari, Kekuasaan Dalam Islam, terjemahan Abdul Rahman Ahmed, cet. I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 32
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:
Ciri-Ciri Daulah Islamiyah
Dasar Perundang-Undangan Daulah Islamiyah
[5] Diya’ ad-Din ar-Rais, Islam Dan Khalifah: Kritik Terhadap Buku Khilafah Dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali ‘Abdur Raziq, terjemahan Afif Muhammad, cet. 1 (Bandung: Pustaka, 1985), hlm.172
[6] Baca Muhammad Abu Zahrah, Aliran-aliran Politik, hlm. 88-104
[7] Mahdi Muzaffary, Kekuasaan dalam Islam, hlm. 34
[8] Ibn Taimiyah, Siyasah Syari’iyah: Etika Politik Islam, terjemahan: Rafiq Munawar, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 11-12.
[9] Munawwir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet. I (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 85-86
[10] Muhammad Abu Zarrah, Aliran-aliran Politik, hlm.106
[11] Baca Mehdi Muzaffary, Kekuasaan Dalam Islam, hlm. 36-38. Sementara Dhiya ad-Din ar-Rais berpendapat, bahwa prinsip kekhalifahan dikalangan kaum Muslimin hendaknya bersumber pada pemilihan ahl al-hal wa al-‘Aqd….. hanya saja bila kita merujuk pada kenyataan yang ada, maka kita akan menemukan kenyataan bahwa khalifah Islam selama ini tidak berbijak pada asas apapun selain kekuatan dan paksaan yang sewenang- enang. Kecuali dalam jumlah yang amat kecil, kekuatan itu pada umumnya merupakan kekuatan bersenjata…” Lihat Diya ad-Din ar-Rais, Islam Dan Khilafah, hlm. 233- 234.
0 komentar:
Post a Comment