Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Islam dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.[1]
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini.[2] Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara.
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang.[3] Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia secara global.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan,[4] dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam "waktu dekat".[5]
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an.[6] Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.[7]
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.[8]
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei - 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.[9] Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan dibentuk.[10] Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.[11]
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok nasionalis-sekuler.[12] Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. [13]
Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).[14]
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,[15] kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut.[16] Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.[17]
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.[18] Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.[19] Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.[20]
Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam.[21] Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.[22] Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.[23]
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang. [24]
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.[25]
Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori.[26] Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi[27] (1903-1979) dari Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb[28] (1906-1966) dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin[29] dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak bisa dipisahkan.[30] Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an[31]:
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini.[2] Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara.
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang.[3] Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia secara global.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan,[4] dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam "waktu dekat".[5]
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an.[6] Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.[7]
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.[8]
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei - 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.[9] Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan dibentuk.[10] Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.[11]
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok nasionalis-sekuler.[12] Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. [13]
Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).[14]
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,[15] kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut.[16] Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.[17]
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.[18] Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.[19] Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.[20]
Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam.[21] Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.[22] Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.[23]
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang. [24]
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.[25]
Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori.[26] Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi[27] (1903-1979) dari Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb[28] (1906-1966) dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin[29] dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak bisa dipisahkan.[30] Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an[31]:
ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين.! (البقرة :٢٠٨)
Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti konstitusi negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus menjadi ruh kehidupan masyarakat bernegara, [32]
Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia dalam menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959) para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara.[33] Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik nasionalis-muslim Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan semata.
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya, pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari persoalan agama.[34]
Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang diharapkan bersama.[35]
Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat Islam Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan Islam secara legal formal di negara ini.[36] Dengan mengingat kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945, Soekarno mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak ikut menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.[37]
Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah “negara” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.[38]
Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia.
a. Daulah.
Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically).[39] menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan didukung oleh keluarganya atau clanya.[40] Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam wilayahnya.[41]
Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad delapan.[42] Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah Abbasiyyah).[43]
b. Khilafah.
Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).[44] Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.[45]
Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya.[46] Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di Arabia.[47]
c. Imamah.
Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering digunakan sebagai teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi, imam bisa dimaknai khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dengan demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi memberikan ruang bagi agama suatu jabatan politik yaitu kepala negara.[48] Sementara menurut Taqiyuddin an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama maknanya, karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at dan mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.[49]
Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah daripada aliran sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).[50]
d. Kesultanan.
Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab al-Qur’an, menurut Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan istilah sultan untuk pemerintah.[51]
Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki beberapa sinonim di antaranya Daulah, Khila>fah, Ima>mah dan S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan hal yang lazim kalau wacana Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena secara de facto ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan konsep negara, sedangkan secara konseptual atau de jure Islam memang tidak mengenal konsep negara yang detail. Namun demikian patut diteliti apakah teori-teori tersebut untuk konteks modern saat ini bisa dikategorikan sebuah konsep negara.
Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan panjang dalam sejarah didirikannya negara ini, sejak pra-kemerdekaan sampai sekarang. Patut dicari apa sebenarnya yang membuat tokoh muslim berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar negara Indonesia? Salah satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka bertujuan menerapkan Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M. Natsir salah satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita Islam oleh sebab itu pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian integral dari perjuangan Islam untuk menerapkan Syari‘at.[52]
Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran yang sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk mendukung opini ini bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah tanah air ini, seperti Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Diponegoro 1825-1830, Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937), Teuku Umar, Tjut Nya’Dien dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun 1872-1912).[53] Di samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh Hayim Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam Jakarta” bisa juga dipahami melalui berbagai organisasi kultural dan ekonomis Islam yang telah didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, apalagi organisasi tersebut banyak memberi konstribusi dalam kemerdekaan ini, misalnya Sarekat Islam (didirikan tahun 1912), gerakan Modernis Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi Tradisionalis NU (didirikan 1926).[54] Menurut hemat penyusun organisasi ini merupakan alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.
Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa ini dan organisasi Islam memainkan peran penting pada masa kemerdekaan, menurut Fred von den Mehden "Indonesia sebagai satu bangsa Islam tidak seluruhnya sepakat dengan apa yang harus dilakukan sebagai pemeluk Islam”.[55] Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran dan praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford Geertz bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau trikotomi, yaitu Priyayi, Santri dan Abangan.[56]
Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim tampak jelas dalam wacana pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan demikian suatu dinamika “Islam versus Pancasila” telah mempengaruhi sebagian besar perdebatan dan wacana pemikiran politik Indonesia sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an.[57] Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab-bab berikut, dinamika ini memiliki implikasi-implikasi penting bagi perpolitikan nasional.
Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara sangat tampak dalam pemberontakkan Darul Islam melawan Pemerintahan Pusat antara tahun 1948-1962.[58] Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk konkret ancaman “ekstrem kanan” (istilah yang secara resmi dipakai untuk menunjuk fundamentalisme Islam di era Orde Baru) semakin jelas. Djohan Effendi menambahkan bahwa Darul Islam mempertinggi kecurigaan militer bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara partai-partai Islam dengan pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan, menurut pihak militer adalah bahwa yang pertama memperjuangkan negara Islam dengan jalan legal, sedangkan yang kedua dengan kekuatan illegal.[59]
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya cita-cita partai Islam ini dilakukan secara demokratis. Jadi tentu berbeda dengan gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo, gerakan ini menggunakan kekerasan dan mementingkan simbol-simbol, seperti nama Darul Islam, istilah Imam untuk Kepala negara dan lain sebagainya, Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam kasus ini gerakan Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan pemikiran substansi tujuannya karena terburu menggunakan kekerasan.[60] Peristiwa ini sedikit banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian kalangan bangsa kita dalam merespon hubungan Islam dan negara, yang kemudian berdampak negatif pula terhadap cita-cita dan perjuangan partai-partai Islam selama ini.
Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan partai Masyumi[61] dan umat Islam secara umum. Padahal dalam kasus DI ini secara perlahan-lahan juga ditunggangi oleh golongan yang tidak bersimpati terhadap RI, di antaranya orang-orang Belanda seperti Jungschlager, Schmidt, dan Van Kleef. Selain itu masalah pemberontakan PRRI/Permesta (1958-1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita Islam sehingga membuat partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak orang Kristen yang terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang Parkindo dan komandan daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong pemberontakan ini.[62]
Posisi Islam semakin mengkhawatirkan ketika Soekarno membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam usaha menyeimbangkan kekuatan-kekuatan ideologis antara Islam, nasionalisme, dan komunisme Soekarno tidak hanya menganjurkan konsep Pancasila, melainkan juga sebuah konsep NASAKOM,[63] yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan ideologis yang labil pada awal tahun 1960-an karena masing-masing kepentingan politisnya jelas saling berlawanan.[64]
Demikian pembahasan asal-usul perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Semoga prawacana ini akan lebih memudahkan kita dalam memahami bab-bab berikutnya.
[1] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, cet. ke-1 (Bandung: Teraju, 2002), hlm. xi
[2] Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 16.
[3] Tahap keempat ini masih dibagi lagi menjadi empat era: 1965-1972 sebagai era mencari bentuk, 1973-1985 sebagai era partai tunggal, 1985 1989 sebagai era transisi rekonsiliasi, dan 1990 sampai sekarang sebagai era akomodasi, baca M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 21.
[4]Badan Penyelidik Usaha-Usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di bentuk pada tanggal 7 Desember 1945 yang terdiri dari tokoh-tokoh kelompok sosial, etnis, regional dan politisi di Hindia Belanda yang diduduki Jepang. Lihat, Douglas E Ramage, ibid, hlm. 18.
[5]Deliar Noer, Partai Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hlm. 30. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, vol. VI (Jakarta: Departemen P&K, 1984), hlm. 66.
[6] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. Viii.
[7] Ibid.
[8] Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 19.
[9] Departemen Penerangan, Lahirnya Pancasila, (Jakarta:). kalau memang tulisan Yamin tentang perdebatan sidang BPUPKI dapat dipercaya maka lahirnya pancasila itu belum tentu gagasan Soekarno murni karena sebelum Soekarno melahirkan konsep Pancasila , Yamin telah mengemukakan kelima sila tesebut dalam pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik, yaitu: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhanan, peri kerakyatan , peri kesejahteraan rakyat yang juga meliputi keadilan sosial. lihat, Muhamad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 87-21.
[10] Mengenai sidang BPUPKI terdapat perbedaan dalam tenggang waktunya, dalam bukunya Deliar Noer sidang pertama berlangsung dari 29-Mei-2 Juni 1945 dan sidang kedua dari 10-14 Juni 1945, sedangkan menurut Yamin sidang pertama berlangsung dari 29 Mei-1 Juni dan sidang keduanya berlangsung dari 10-16 Juli 1945, dikutip dari karyanya Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 17.
[11]Deliar Noer, Parta-Partai Islam, hlm. 34-35.
[12] Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, (Jakarta: Hudaya, 1970), hlm. 60-61.
[13] Muhamad Yamin, Naskah Persiapan, hlm. 60-61.
[14] Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 35.
[15] M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 170.
[16] Ibid., hlm. 23.
[17] Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, (Jakarta: yayasan perkhidmatan, 1983), hlm.108.
[18] Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1978), hlm. 452- 458.
[19] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 29.
[20] Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis, hlm 21-22. Hatta, Memoir, hlm 457-458.
[21] Akan tetapi apabila diteliti lebih jauh pertarungan ideologi yang menjadi pertimbangan dalam peletakkan dasar negara saat itu bukan hanya ideologi nasionalis dan Islam, tetapi lebih besar dari itu yaitu pertarungan dua ideologi besar dunia antara kapitalis dan komunis. Baca Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.17-24.
[22] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 4.
[23] Ibid., lihat juga, Endang Saefuddin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, (Bandung: Pustaka Salman, 1981), hlm. 8.
[24] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm 4 dan 54-55. Yang dimaksud nasionalis sekuler adalah kelompok pemimpin politik Indonesia yang menolak secara tegas agama sebagai dasar negara, kelompok ini terdiri dari muslim, katolik, protestan, Hindu dll. Meskipun secara personal mereka bukan kaum sukularis dan kelompok yang tidak lepas dari sentimen, tendensi dan afiliasi keagamaan. Mereka tetap memilih untuk tidak menggunakan agama sebagai ideologi politik. Sebaliknya apa yang dimaksud nasionalis muslim adalah kelompok pemimpin muslim yang menginginkan Islam harus dijadikan dasar negara, karena bagi mereka agama dan politik tidak bisa dipisahkan, jelasnya bahwa tidak ada pemisahan antara persoalan duniawi dan ukhrawi dalam ajaran Islam. Baca, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 5.
[25] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 5, Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta:Panitia di bawah bendera revolusi, 1994), hlm. 369- 402.
[26] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2. M. Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 14. lihat juga Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, hlm. 57.
[27] Maududi , Islamic Law and Constitution, alih bahasa Khursihid Ahmad, edisi ke-10 (Lahore: Islamic Publication, 1990), hlm. 203. Maududi adalah seorang politikus dan pengarang yang terkenal dalam Islam, dia pernah akan dijatuhi hukuman mati oleh penguasa karena aktivitas politiknya pada tahun 1953, namun hukuman tersebut dibatalkan atas desakan pemimpin dunia muslim pada Pemerintahan Pakistan.
[28] Pada tahun 1966, Sayyid Qutb dan beberapa pemimpin Ikhwan al-Muslimun lainya ditangkap dan diadili, setelah Nasser mengetahui rencana makar mereka dalam menjatuhkan rezim, salah satu karyanya yaitu, Khas}ais} at-Tas}awwuri al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu (Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962); Hadha al-Din, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962).
[29] Tentang Ikwan al-Muslimun, bisa dibaca dalam karyanya, Richard P. Mitcell, The Society of Muslim Brothers, (Oxford: Oxford University Press, 1969).
[30] Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 37.
[31] al-Baqarah (2): 208.
[32] Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 38.
[33] Faisal Ismail, Ibid.
[34] Lihat Muhammad Hatta, Memoir, hlm. 456-458, M. Yamin, Naskah Persiapan, Vol. I, hlm. 115.
[35] Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 40.
[36] Dikutip dari, Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 29.
[37] Ibid.
[38] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 685.
[39] Sebenarnya yang dimaksud bergilir, beredar dan berputar adalah perputaran (legitimasi) kekuasaan dari yang lama (demisioner) kepada yang baru diamanati oleh kekuasaan lama tersebut. Lihat Olaf Schumann, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, No, 2, Vol I (Jakarta : Paramadina, 1999), hlm. 57.
[40] Olaf Schumann, Ibid., hlm. 59.
[41] Ibid.
[42] Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa Ihsan Ali Fausi, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 50.
[43] M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 78.
[44] Hamid Enayat, alih bahasa Asep Hikmat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 8.
[45] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. ke-5 (Jakarta: UI Press, 1985), I: 95.
[46] M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 80.
[47] Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, hlm. 61.
[48] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 63.
[49] Dikutip dari Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 32. baca juga karya asli, Taqiyuddin an-Nabhani, alih bahasa Moh. Magfur Wachid, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, (Bangil: Al-Izzah,1996), hlm. 39.
[50] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni, hlm. 9. M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 79.
[51] Bernard Lewis, Bahasa Politik, hlm. 49.
[52] Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 41.
[53] Ibid.
[54] Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942 (Singapura: Oxford University Press, 1973). Lihat juga Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 26.
[55] Fred von den Mehden, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse: Syracause University Press, 1986), hlm. 184. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 27.
[56] Aliran santri menunjuk pada pemeluk Islam yang taat dan setiap harinya dekat dengan prilaku spritual atau sosial yang didasarkan pada al-Qur’an. Sementara Abangan adalah pemeluk Islam nominal, yang bagi mereka Islam adalah lapisan terakhir yang menyelubungi kepercayaan-kepercaaan relegius Hindu, Budha, dan kejawen. Baca, Douglas E. Ramage. Ibid, hlm. 27.
[57] Douglas E. Ramage. Ibid, hlm. 28.
[58] Mengenai pemberontakan Darul Islam bisa dilihat B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982), hlm. 54-74.
[59] Dikutip dari Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 31. Djohan Effendi, The contribution of the Islamic Parties to the Decline of Democracy in the 1950s, makalah Confrence on Indonesia Democracy, Monash University, 18 Desember 1992.
[60] Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 430.
[61] NU saat itu masih bergabung dalam partai tersebut.
[62] Ibid.
[63] NASAKOM, berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Konsep ini dimunculkan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin.
[64] Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 34.
0 komentar:
Post a Comment