Kondisi Sosial Budaya pada Saat Penulisan Suluk Sujinah. Karya sastra merupakan sumber informasi mengenai nilai-nilai, cita-cita, dan perilaku yang berkembang dalam setiap lapisan masyarakat. Sebuah karya sastra diciptakan sebagai upaya kreatif para pengarangnya dalam memahami, memperhatikan, dan merespon perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya.[1] Demikian halnya dengan Suluk Sujinah yang disalin sekitar tahun 1906 M, merupakan periode yang saat itu kondisi masyarakat Jawa mengalami perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial budaya sebagai akibat dari kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Dalam hal ini telah terjadi perubahan dan pergeseran terhadap struktur sosial, tatanan nilai dan norma yang telah lama dipegang oleh masyarakat.
Pada kenyataannya struktur sosial di dalam masyarakat Jawa, dibedakan menjadi kelas sosial yang terdiri dari, kaum bangsawan merupakan keluarga kraton, kaum priyayi adalah abdi dalem atau pegawai pemerintahan yang melaksanakan semua perintah sultan atau ngemban dawuh dalem menjalankan perintah sultan. Selanjutnya yang dikelompokkan sebagai kaum biasa yang terdiri dari kaum tani, pedagang dan karyawan perusahaan swasta.[2] Selain itu, dalam struktur masyarakat Jawa dikenal juga tingkatan-tingkatan berdasarkan gengsi, yaitu kaum bangsawan dan kaum priyayi sebagai lapisan atas, sedangkan wong cilik berada pada lapisan bawah masyarakat.[3]
Pada kenyataannya struktur sosial di dalam masyarakat Jawa, dibedakan menjadi kelas sosial yang terdiri dari, kaum bangsawan merupakan keluarga kraton, kaum priyayi adalah abdi dalem atau pegawai pemerintahan yang melaksanakan semua perintah sultan atau ngemban dawuh dalem menjalankan perintah sultan. Selanjutnya yang dikelompokkan sebagai kaum biasa yang terdiri dari kaum tani, pedagang dan karyawan perusahaan swasta.[2] Selain itu, dalam struktur masyarakat Jawa dikenal juga tingkatan-tingkatan berdasarkan gengsi, yaitu kaum bangsawan dan kaum priyayi sebagai lapisan atas, sedangkan wong cilik berada pada lapisan bawah masyarakat.[3]
Kondisi Sosial Budaya pada Saat Penulisan Suluk Sujinah. Demikian pula, dalam masyarakat Jawa, kaum muslim dibedakan menjadi, Islam-santri dan Islam-kejawen. Islam-santri merupakan golongan yang taat dalam menjalankan ajaran agama. Sedangkan, Islam-kejawen, adalah golongan yang percaya kepada ajaran Islam, tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun agama Islam misalnya tidak shalat, tidak puasa, dan mereka masih menjalankan tradisi pra-Islam.[4] Islam kejawen bersifat sinkretis, yaitu menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam.
Berkaitan dengan adanya kebijakan politik etis oleh pemerintah kolonial, ternyata hal itu telah mempengaruhi munculnya golongan baru dalam struktur masyarakat yang didasarkan pada pola kepemilikan tanah[5] dan golongan priyayi baru. Golongan priyayi ini terdiri dari orang-orang Belanda sebagai wakil dari pemerintahannya dan golongan terdidik yang bekerja pada pemerintah kolonial..
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat berkaitan dengan adanya pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial, yaitu penguasa tradisional merosot kedudukannya menjadi alat birokratis yang sepenuhnya ditempatkan di bawah pengawasan kekuasaan kolonial.[6] Dengan demikian, penguasa tradisional telah kehilangan kedaulatan dan wibawanya, serta para penguasa tradisional tidak lagi memiliki kekuasaan politik dalam wilayahnya karena intervensi dari pemerintah kolonial.
Kondisi Sosial Budaya pada Saat Penulisan Suluk Sujinah. Seiring dengan hal tersebut, maka adat-istiadat dan norma-norma tradisional yang menjadi pedoman hidup masyarakat ikut melemah. Sebagai contoh, dengan diberlakukannya ekonomi uang telah mengubah hubungan yang semula didasarkan pada tolong-menolong menjadi hubungan yang didasarkan kontrak yang bersifat komersial. Selain itu, struktur masyarakat, tatanan nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Jawa, seperti gotong-royong, tolong-menolong, dan musyawarah telah mengalami pergeseran, dengan adanya campur tangan dari pemerintah kolonial
Proses perubahan sosial tersebut, telah mengganggu keseimbangan tata nilai dan norma yang telah lama dipegang. Dalam menghadapi kegoncanggan tersebut, agama memberikan peranan penting, yaitu sebagai pegangan untuk merespon terhadap setiap gejolak yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Respon keagamaan terhadap perubahan semacam ini, adalah sejalan dengan sifat kebudayaan keagamaan Jawa yang bersifat mistis, yang telah lama pula ditunjukkan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan lingkungan sosio-kultural suatu masyarakat.
Situasi masyarakat yang demikian merupakan bagian dari sebuah proses perubahan sosial, maka dengan meningkatnya kegiatan keagamaan merupakan suatu bentuk counter cultur terhadap unsur-unsur budaya baru yang datang dari luar.[7] Hal inilah kemudian ditunjukkan oleh Islam yang telah berhasil memberikan warna baru bagi kebudayaan Jawa. Islam sangat kental dengan budaya Jawa, karena adanya interaksi yang berjalan dinamis,tanpa hambatan berarti, Islam dengan mudah telah mempengaruhi alam pikiran masyarakat Jawa. Salah satunya terlihat pada aktivitas sastra, yaitu sebagaimana tercermin dalam Suluk Sujinah, yang di dalamnya memuat ajaran aqidah, ibadah dan akhlak.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Suluk Sujinah yang merupakan naskah keagamaan, terutama aspek akhlaknya telah memberi gambaran tentang bagaimana seseorang bersikap dan bertindak sebagai upaya untuk merespon pengaruh dari luar, berkait dengan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini tentunya telah menganggu keseimbangan tata nilai, dan norma yang berlaku. Demikian juga dengan struktur masyarakat Jawa pada saat itu, telah mengalami perubahan dan pergeseran. Kemudian, Ajaran yang terkandung di dalam Suluk Sujinah yang merupakan perpaduan antara ajaran Islam dengan ajaran Kejawen, adalah cerminan dari situasi dan kondisi yang mempengaruhi alam pikiran dan pandangan hidup masyarakat pada waktu itu.
Kondisi Sosial Budaya pada Saat Penulisan Suluk Sujinah. Suluk Sujinah yang merupakan warisan karya sastra yang diperkuat dengan unsur-unsur Islam telah mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa. Suluk tersebut berisi berbagai petunjuk dan nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam, mereka menyampaikan petunjuk atau nasehat yang dilengkapi dengan kekurangannya mengenai pengetahuan keislaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[8]
[1] J. J. Ras, Sastra Jawa Mutakhir (Jakarta : PT.Grafiti Press, 1985), hlm 1.
[2] Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), hlm. 26-27.
[3]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1979), hlm. 337.
[4] Tradisi pra-Islam yang berkembang dalam masyarakat Jawa, adalah tradisi animisme-dinamisme, dan tradisi Hindu-Budha. Tradisi animisme-dinamisme mempercayai adanya kekuatan gaib dan ruh-ruh halus yang menghuni alam semesta ini. tradisi ini dilanjutkan oleh agama Hindu-Budha yang memperkenalkan paham reinkarnasi (ruh manusia yang telah mati akan hidup terus dan menjelma pada binatang bila banyak dosa dan menjelma pada manusia bila baik amalnya). Dalam ajarannya juga memperkenalkan adanya banyak dewa dan memperkenalkan ajaran tentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan: Simuh, Islam, hlm.162.
[5] Pola kepemilikan tanah terdiri dari empat lapisan dalam masyarakat desa yaitu golongan petani kaya, mempunyai modal dan tanah luas lebih dari 2 hektar, golongan petani kecil yang memiliki tanah 1 hektar, hidupnya pas-pasan dari hasil pertanian, golongan petani gurem,yang memiliki tanah tidak seluas petani kecil, mengolah tanah dengan bagi hasil dengan petani kaya. keempat,lapisan buruh tani, yaitu mereka yang tidak memiliki tanah, dalam memperoleh upah dilakukan dengan bekerja dengan petani lainnya: Djoko Surjo, R.M. Soedarsono, dkk., Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Budaya (Yogyakarta: Dirjen. Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Depdikbud,1985), hlm. 22.
[6] Sartono Kartodirdjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta: Balai Pustaka,
1977), hlm. 248.
[7] Soedarsono, dkk., Gaya Hidup, hlm. 38-39.
[8]Asmoro Achmadi, “Korelasi Islam dan Jawa dalam Bidang Sastra” dalam Darori Amin (ed.),Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2002), hlm.146-147.
Berkaitan dengan adanya kebijakan politik etis oleh pemerintah kolonial, ternyata hal itu telah mempengaruhi munculnya golongan baru dalam struktur masyarakat yang didasarkan pada pola kepemilikan tanah[5] dan golongan priyayi baru. Golongan priyayi ini terdiri dari orang-orang Belanda sebagai wakil dari pemerintahannya dan golongan terdidik yang bekerja pada pemerintah kolonial..
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat berkaitan dengan adanya pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial, yaitu penguasa tradisional merosot kedudukannya menjadi alat birokratis yang sepenuhnya ditempatkan di bawah pengawasan kekuasaan kolonial.[6] Dengan demikian, penguasa tradisional telah kehilangan kedaulatan dan wibawanya, serta para penguasa tradisional tidak lagi memiliki kekuasaan politik dalam wilayahnya karena intervensi dari pemerintah kolonial.
Kondisi Sosial Budaya pada Saat Penulisan Suluk Sujinah. Seiring dengan hal tersebut, maka adat-istiadat dan norma-norma tradisional yang menjadi pedoman hidup masyarakat ikut melemah. Sebagai contoh, dengan diberlakukannya ekonomi uang telah mengubah hubungan yang semula didasarkan pada tolong-menolong menjadi hubungan yang didasarkan kontrak yang bersifat komersial. Selain itu, struktur masyarakat, tatanan nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Jawa, seperti gotong-royong, tolong-menolong, dan musyawarah telah mengalami pergeseran, dengan adanya campur tangan dari pemerintah kolonial
Proses perubahan sosial tersebut, telah mengganggu keseimbangan tata nilai dan norma yang telah lama dipegang. Dalam menghadapi kegoncanggan tersebut, agama memberikan peranan penting, yaitu sebagai pegangan untuk merespon terhadap setiap gejolak yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Respon keagamaan terhadap perubahan semacam ini, adalah sejalan dengan sifat kebudayaan keagamaan Jawa yang bersifat mistis, yang telah lama pula ditunjukkan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan lingkungan sosio-kultural suatu masyarakat.
Situasi masyarakat yang demikian merupakan bagian dari sebuah proses perubahan sosial, maka dengan meningkatnya kegiatan keagamaan merupakan suatu bentuk counter cultur terhadap unsur-unsur budaya baru yang datang dari luar.[7] Hal inilah kemudian ditunjukkan oleh Islam yang telah berhasil memberikan warna baru bagi kebudayaan Jawa. Islam sangat kental dengan budaya Jawa, karena adanya interaksi yang berjalan dinamis,tanpa hambatan berarti, Islam dengan mudah telah mempengaruhi alam pikiran masyarakat Jawa. Salah satunya terlihat pada aktivitas sastra, yaitu sebagaimana tercermin dalam Suluk Sujinah, yang di dalamnya memuat ajaran aqidah, ibadah dan akhlak.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Suluk Sujinah yang merupakan naskah keagamaan, terutama aspek akhlaknya telah memberi gambaran tentang bagaimana seseorang bersikap dan bertindak sebagai upaya untuk merespon pengaruh dari luar, berkait dengan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini tentunya telah menganggu keseimbangan tata nilai, dan norma yang berlaku. Demikian juga dengan struktur masyarakat Jawa pada saat itu, telah mengalami perubahan dan pergeseran. Kemudian, Ajaran yang terkandung di dalam Suluk Sujinah yang merupakan perpaduan antara ajaran Islam dengan ajaran Kejawen, adalah cerminan dari situasi dan kondisi yang mempengaruhi alam pikiran dan pandangan hidup masyarakat pada waktu itu.
Kondisi Sosial Budaya pada Saat Penulisan Suluk Sujinah. Suluk Sujinah yang merupakan warisan karya sastra yang diperkuat dengan unsur-unsur Islam telah mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa. Suluk tersebut berisi berbagai petunjuk dan nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam, mereka menyampaikan petunjuk atau nasehat yang dilengkapi dengan kekurangannya mengenai pengetahuan keislaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[8]
[1] J. J. Ras, Sastra Jawa Mutakhir (Jakarta : PT.Grafiti Press, 1985), hlm 1.
[2] Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), hlm. 26-27.
[3]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1979), hlm. 337.
[4] Tradisi pra-Islam yang berkembang dalam masyarakat Jawa, adalah tradisi animisme-dinamisme, dan tradisi Hindu-Budha. Tradisi animisme-dinamisme mempercayai adanya kekuatan gaib dan ruh-ruh halus yang menghuni alam semesta ini. tradisi ini dilanjutkan oleh agama Hindu-Budha yang memperkenalkan paham reinkarnasi (ruh manusia yang telah mati akan hidup terus dan menjelma pada binatang bila banyak dosa dan menjelma pada manusia bila baik amalnya). Dalam ajarannya juga memperkenalkan adanya banyak dewa dan memperkenalkan ajaran tentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan: Simuh, Islam, hlm.162.
[5] Pola kepemilikan tanah terdiri dari empat lapisan dalam masyarakat desa yaitu golongan petani kaya, mempunyai modal dan tanah luas lebih dari 2 hektar, golongan petani kecil yang memiliki tanah 1 hektar, hidupnya pas-pasan dari hasil pertanian, golongan petani gurem,yang memiliki tanah tidak seluas petani kecil, mengolah tanah dengan bagi hasil dengan petani kaya. keempat,lapisan buruh tani, yaitu mereka yang tidak memiliki tanah, dalam memperoleh upah dilakukan dengan bekerja dengan petani lainnya: Djoko Surjo, R.M. Soedarsono, dkk., Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Budaya (Yogyakarta: Dirjen. Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Depdikbud,1985), hlm. 22.
[6] Sartono Kartodirdjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta: Balai Pustaka,
1977), hlm. 248.
[7] Soedarsono, dkk., Gaya Hidup, hlm. 38-39.
[8]Asmoro Achmadi, “Korelasi Islam dan Jawa dalam Bidang Sastra” dalam Darori Amin (ed.),Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2002), hlm.146-147.
0 komentar:
Post a Comment