HUBUNGAN FILSAFAT DAN HUKUM ISLAM
I. Pendahuluan
masuknya filsafat berkembang di pesisir samudra Mediterania bagian timur pada abad 6 M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia dan tuhan. Dari mediterania bergerak menuju Athena, yang menjadi tanah air filsafat. Ketika iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung, filsafat mulai merambah dunia timur, dan berpuncak pada 529 M.
ketika filsafat bersentuhan dengan islam, maka yang terjadi bahwa filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok yang bermuara pada sumber-sumber hukum Islam. Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh filosofnya adalah muslim. Para filosofnya hidup dan bernafas dalam realita Al-Quran dan As-Sunah.
Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meskipun semua filosof muslim menggali kembali karya-karya filsafat Yunani, namun kemudian mereka menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih “mencari Tuhan”, dalam filsafat Islam justru Tuhan “sudah ditemukan”.
II. Rumusan masalah
Dalam makalah ini, pemakalah membahas hubungan filsafat dan hukum islam. Dengan rumusan masalah:
A. Pengertian filsafat
B. Pengertian hukum islam
C. Hubungan filsafat dan hukum islam
III. Pembahasan
A. Pengertian filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philoshopia yang berarti cinta kebijaksanaan. Kata Philoshopia ini diserap kedalam bahasa arab menjadi falsafah yang berarti hubbu al-hikmah yakni cinta kebijaksanaan. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia seringkali digunakan kata falsafah. Kata ini jelas diserap dari bahasa arab. Sementara kata fangilsafat kiranya merupakan penyerapan dari bahasa arab dan bahasa Inggris. Dengan demikian dalam kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta yang diterbitkan Balai Pustaka digunakan dua bahasa ini: falsafat atau falsafah dan filsafat. Kebijaksanaan dalam bahasa arab disebut hikmah, orang yang bijaksana disebut hakim. Akan tetapi filosof dalam arti orang yang mencintai kebijaksanaan tidak disebut hakim melainkan muhibb al-hikmah (pecinta kebijaksanaan). Dalam literatur filsafat yang ditulis dalam bahasa arab, sering kali dijumpai kata hakim itu dipakai sinonim filosof. Sebagaimana diketahui bahwa term filsafat itu pertama kali digunakan oleh seorang filosof Yunani, Pitagoras. Ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang yang bijaksana (hakim), melainkan pecinta kebijaksanaan (muhibb al-hikmah).
Hikmah dalam bahasa arab berarti besi kekang, yakni besi pengekang binatang (kadali: bahasa sunda)dengan hikmah dalam arti kadali ini si penunggang bunatang atau gembalanya agar tidak liar. Binatang tersebut dapat dikendalikan sesuai dengan kehendak dan tujuan si penunggangnya atau si penggembalanya. Besi pengekang tersebut dinamakan hikmah karena ia mampu mengekang dan mengendalikan serta menundukkan binatang liar. Kata hikmah dalam pengertian bahasa ini kemudian dipakai dalam pengertian kendali yang dapat mengekang dan mengendalikan manusia yang memilikinya untuk tidak berkehendak, berbuat, bertindak, dan berbudi pekerti yang rendah dan tercela, melainkan mengendalikannya untuk berbuat dan bertindak sertaberperilaku yang benar dan terpuji.[Ibrahim Basyuni Madku’r, Duru’s Fi’ al-Tarikh Wa al-Falsafah, kairo, al-Amirah, 1942, h.mim]. oleh karena itu, demikian Musthafa ‘Abd al-Raziq, hikmah seperti disebut Al-Quran menjadikan orang yang memilikinya sebagai orang yang mulia dan berwibawa. Al-Quran memuji orang yang memiliki hikmah; Al-Quran pun kmahmendorong orang untuk menghidupkan dan mengembangkan hikmah itu.
Hikmah adalah pengetahuan mengenai hakikat tentang sesuatu dan mengenai hakikat apa yang terdapat dalam sesuatu tersebut; mengenai faedah dan manfaatnya.
Intisari filsafat ialah berfikir ecara mendalam tentang sesuatu; pengetahuan apa (mahiyah), ‘bagaimana’, dan nilai-nilai dari sesuatu itu.
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.
B. Pengertian hukum islam
Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah.
Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.
Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.
Hukum Islam (syariah) dalam bahasa arab berarti “tempat air minum yang selalu menjadi tempat tujuan, baik tujuan manusia maupun binatang”. Syariah dalam pengertian ini kemudian berubah menjadi sumber air dalam arti sumber kehidupan yang dapat menjamin kehidupan manusia baik didunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, syariah dalam istilah hukum islam berarti hukum-hukum dan tata aturan yang disampaikan Allah kepada hamba-hamba-Nya.dengan demikian syariah dalam pengertian ini adalah wahyu, baik dalam pengertian al-Wahyual-Matluww (AlQuran), maupun dalam pengertian alWahy Gair alMatluww (sunah). Syariah dalam pengertian ini berarti sumber hukum islam yang tidak berubah sepanjang masa. Akan tetapi, syariah kadang-kadang terkonotasi sumber hukum islam yang tidak tetap dan tidak berubah sepanjang masa dan sumber hukum islam dapat berubah dan berkembang.
C. Hubungan filsafat dan hukum islam
Filsafat hukum islam atau falsafat al-tasyri’ al-islamiyy; hikmatal tasyri’, atau asrar al-syariah, seperti halnya filsafat hukum dalam pengertian yang dikenal di lingkungan Fakultas hukum di Indonesia.
Filsafat hukum islam sebagaimana filsafat pada umumnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Demikian juga tugas filsafat hukum Islam seperti tugas filsafat pada umumnya yang mempunyai dua tugas: pertama, tugas kritis dan yang kedua tugas konstruktif. Tugas kritis filsafat hukum islam ialah mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah mapan di dalam hukum islam. Sementara tugas konstruktif filsafat hukum islam ialah mempersatukan cabang-cabang hukum islam dalam kesatuan sistem hukum islam sehingga nampak bahwa antara satu cabang hukum islam sengan lainnya tidak terpisahkan. Dengan demikian filsafat hukum islam mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat hukum islam; hakikat keadilan; hakikat pembuat hukum; tujuan hukum; sebab orang harus taat kepada hukum islam; dan sebagainya.
Menurut Syah Waliyullah al-Dahlawi, ilmu-ilmu agama ini berlapis-lapis kira-kiralapisan itu bagaikan buah kelapa. Induk ilmu agama adalah ilmu-ilmu hadis (‘umul al-hadits) dan ilmu tafsir (‘ulum alQuran). Ilmu yang paling nampak sebagai “kulit” kelapa adalah ilmu hadits; yakni tentang shahih dan dlaifnya hadits serta kritik-kritik yang dilakukan pakar hadits. Peringkat selanjutnya adalah ilmu tentang makna-maknanya yang asing serta penyelesaian berbagai promlemnya. Peringkat berikutnya adalah tentang makna-makna hukum serta bagaimana proses penggalian hukum dari Al-Quran dan sunah dengan Qiyas, atau argumentasi lainnya sehingga diketahuilah mana nash dari Al-Quran dan Sunnah itu yang termasuk ke dalam kategori mansukh, nasikh, dan marjuh. Ilmu tentang penggalian hukum islam atau istinbath al-ahkam yang dapat pula disebut sebagai metodologi hukum islam ibaratkan daging kelapa atau biji buah dari suatu ilmu. Metodogi hukum islam ini dianggap kebanyakan ulama sebagai isi ilmu agama. Sementara bagi al-Dahlawi isi dari ilmu-ilmu agama itu adalah asrar al-din (rahasia-rahasia agama) yang tiada lain adalah filsafat hukum islam. Ilmu ini membahas tentang rahasia-rahasia perbuatan muslim mukalaf serta tokoh-tokoh yang dapat memberikan kelapangan jiwa.
IV. Kesimpulan
Intisari filsafat ialah berfikir secara mendalam tentang sesuatu; pengetahuan apa (mahiyah), ‘bagaimana’, dan nilai-nilai dari sesuatu itu. Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim.
Hubungan filsafat dengan hukum Islam sendiri adalah dalam pengelolaan hukum Islam salah satunya dengan menggunakan ilmu filsafat dimana harus mendalami tentang suatu hukum, pengetahuan apa, bagaimana, dan nilai-nilai dari sesuatu hukum itu.
V. Penutup
Alhamdulillah wa syukurillah... makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. kami menyadari sepenuhnya, bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan baik dalam referensi maupun penulisannya. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaan pembuatan makalah berikutnya.
Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat untuk pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amiiin.......
DAFTAR PUSTAKA
Praja, Juhaya. 1995. Filsafat Hukum Islam. Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung.
Khalaf, Abdul Wahhab. 1994. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. PT Raja Grafindo Persada.
Al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. 1998. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
I. Pendahuluan
masuknya filsafat berkembang di pesisir samudra Mediterania bagian timur pada abad 6 M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia dan tuhan. Dari mediterania bergerak menuju Athena, yang menjadi tanah air filsafat. Ketika iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung, filsafat mulai merambah dunia timur, dan berpuncak pada 529 M.
ketika filsafat bersentuhan dengan islam, maka yang terjadi bahwa filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok yang bermuara pada sumber-sumber hukum Islam. Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh filosofnya adalah muslim. Para filosofnya hidup dan bernafas dalam realita Al-Quran dan As-Sunah.
Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meskipun semua filosof muslim menggali kembali karya-karya filsafat Yunani, namun kemudian mereka menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih “mencari Tuhan”, dalam filsafat Islam justru Tuhan “sudah ditemukan”.
II. Rumusan masalah
Dalam makalah ini, pemakalah membahas hubungan filsafat dan hukum islam. Dengan rumusan masalah:
A. Pengertian filsafat
B. Pengertian hukum islam
C. Hubungan filsafat dan hukum islam
III. Pembahasan
A. Pengertian filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philoshopia yang berarti cinta kebijaksanaan. Kata Philoshopia ini diserap kedalam bahasa arab menjadi falsafah yang berarti hubbu al-hikmah yakni cinta kebijaksanaan. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia seringkali digunakan kata falsafah. Kata ini jelas diserap dari bahasa arab. Sementara kata fangilsafat kiranya merupakan penyerapan dari bahasa arab dan bahasa Inggris. Dengan demikian dalam kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta yang diterbitkan Balai Pustaka digunakan dua bahasa ini: falsafat atau falsafah dan filsafat. Kebijaksanaan dalam bahasa arab disebut hikmah, orang yang bijaksana disebut hakim. Akan tetapi filosof dalam arti orang yang mencintai kebijaksanaan tidak disebut hakim melainkan muhibb al-hikmah (pecinta kebijaksanaan). Dalam literatur filsafat yang ditulis dalam bahasa arab, sering kali dijumpai kata hakim itu dipakai sinonim filosof. Sebagaimana diketahui bahwa term filsafat itu pertama kali digunakan oleh seorang filosof Yunani, Pitagoras. Ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang yang bijaksana (hakim), melainkan pecinta kebijaksanaan (muhibb al-hikmah).
Hikmah dalam bahasa arab berarti besi kekang, yakni besi pengekang binatang (kadali: bahasa sunda)dengan hikmah dalam arti kadali ini si penunggang bunatang atau gembalanya agar tidak liar. Binatang tersebut dapat dikendalikan sesuai dengan kehendak dan tujuan si penunggangnya atau si penggembalanya. Besi pengekang tersebut dinamakan hikmah karena ia mampu mengekang dan mengendalikan serta menundukkan binatang liar. Kata hikmah dalam pengertian bahasa ini kemudian dipakai dalam pengertian kendali yang dapat mengekang dan mengendalikan manusia yang memilikinya untuk tidak berkehendak, berbuat, bertindak, dan berbudi pekerti yang rendah dan tercela, melainkan mengendalikannya untuk berbuat dan bertindak sertaberperilaku yang benar dan terpuji.[Ibrahim Basyuni Madku’r, Duru’s Fi’ al-Tarikh Wa al-Falsafah, kairo, al-Amirah, 1942, h.mim]. oleh karena itu, demikian Musthafa ‘Abd al-Raziq, hikmah seperti disebut Al-Quran menjadikan orang yang memilikinya sebagai orang yang mulia dan berwibawa. Al-Quran memuji orang yang memiliki hikmah; Al-Quran pun kmahmendorong orang untuk menghidupkan dan mengembangkan hikmah itu.
Hikmah adalah pengetahuan mengenai hakikat tentang sesuatu dan mengenai hakikat apa yang terdapat dalam sesuatu tersebut; mengenai faedah dan manfaatnya.
Intisari filsafat ialah berfikir ecara mendalam tentang sesuatu; pengetahuan apa (mahiyah), ‘bagaimana’, dan nilai-nilai dari sesuatu itu.
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.
B. Pengertian hukum islam
Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah.
Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.
Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.
Hukum Islam (syariah) dalam bahasa arab berarti “tempat air minum yang selalu menjadi tempat tujuan, baik tujuan manusia maupun binatang”. Syariah dalam pengertian ini kemudian berubah menjadi sumber air dalam arti sumber kehidupan yang dapat menjamin kehidupan manusia baik didunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, syariah dalam istilah hukum islam berarti hukum-hukum dan tata aturan yang disampaikan Allah kepada hamba-hamba-Nya.dengan demikian syariah dalam pengertian ini adalah wahyu, baik dalam pengertian al-Wahyual-Matluww (AlQuran), maupun dalam pengertian alWahy Gair alMatluww (sunah). Syariah dalam pengertian ini berarti sumber hukum islam yang tidak berubah sepanjang masa. Akan tetapi, syariah kadang-kadang terkonotasi sumber hukum islam yang tidak tetap dan tidak berubah sepanjang masa dan sumber hukum islam dapat berubah dan berkembang.
C. Hubungan filsafat dan hukum islam
Filsafat hukum islam atau falsafat al-tasyri’ al-islamiyy; hikmatal tasyri’, atau asrar al-syariah, seperti halnya filsafat hukum dalam pengertian yang dikenal di lingkungan Fakultas hukum di Indonesia.
Filsafat hukum islam sebagaimana filsafat pada umumnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Demikian juga tugas filsafat hukum Islam seperti tugas filsafat pada umumnya yang mempunyai dua tugas: pertama, tugas kritis dan yang kedua tugas konstruktif. Tugas kritis filsafat hukum islam ialah mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah mapan di dalam hukum islam. Sementara tugas konstruktif filsafat hukum islam ialah mempersatukan cabang-cabang hukum islam dalam kesatuan sistem hukum islam sehingga nampak bahwa antara satu cabang hukum islam sengan lainnya tidak terpisahkan. Dengan demikian filsafat hukum islam mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat hukum islam; hakikat keadilan; hakikat pembuat hukum; tujuan hukum; sebab orang harus taat kepada hukum islam; dan sebagainya.
Menurut Syah Waliyullah al-Dahlawi, ilmu-ilmu agama ini berlapis-lapis kira-kiralapisan itu bagaikan buah kelapa. Induk ilmu agama adalah ilmu-ilmu hadis (‘umul al-hadits) dan ilmu tafsir (‘ulum alQuran). Ilmu yang paling nampak sebagai “kulit” kelapa adalah ilmu hadits; yakni tentang shahih dan dlaifnya hadits serta kritik-kritik yang dilakukan pakar hadits. Peringkat selanjutnya adalah ilmu tentang makna-maknanya yang asing serta penyelesaian berbagai promlemnya. Peringkat berikutnya adalah tentang makna-makna hukum serta bagaimana proses penggalian hukum dari Al-Quran dan sunah dengan Qiyas, atau argumentasi lainnya sehingga diketahuilah mana nash dari Al-Quran dan Sunnah itu yang termasuk ke dalam kategori mansukh, nasikh, dan marjuh. Ilmu tentang penggalian hukum islam atau istinbath al-ahkam yang dapat pula disebut sebagai metodologi hukum islam ibaratkan daging kelapa atau biji buah dari suatu ilmu. Metodogi hukum islam ini dianggap kebanyakan ulama sebagai isi ilmu agama. Sementara bagi al-Dahlawi isi dari ilmu-ilmu agama itu adalah asrar al-din (rahasia-rahasia agama) yang tiada lain adalah filsafat hukum islam. Ilmu ini membahas tentang rahasia-rahasia perbuatan muslim mukalaf serta tokoh-tokoh yang dapat memberikan kelapangan jiwa.
IV. Kesimpulan
Intisari filsafat ialah berfikir secara mendalam tentang sesuatu; pengetahuan apa (mahiyah), ‘bagaimana’, dan nilai-nilai dari sesuatu itu. Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim.
Hubungan filsafat dengan hukum Islam sendiri adalah dalam pengelolaan hukum Islam salah satunya dengan menggunakan ilmu filsafat dimana harus mendalami tentang suatu hukum, pengetahuan apa, bagaimana, dan nilai-nilai dari sesuatu hukum itu.
V. Penutup
Alhamdulillah wa syukurillah... makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. kami menyadari sepenuhnya, bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan baik dalam referensi maupun penulisannya. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaan pembuatan makalah berikutnya.
Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat untuk pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amiiin.......
DAFTAR PUSTAKA
Praja, Juhaya. 1995. Filsafat Hukum Islam. Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung.
Khalaf, Abdul Wahhab. 1994. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. PT Raja Grafindo Persada.
Al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. 1998. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
0 komentar:
Post a Comment