Sejarah Demokrasi. Menurut catatan sejarah, di Yunani kuno pernah ada demokrasi, yang lebih sering disebut demokrasi langsung. Sebab Yunani waktu itu hanya sebuah negara kecil atau bahkan barangkali hanya sebuah kota kecil (city state). Dalam logika sederhana, pelaksanaan demokrasi dalam satu wilayah yang sekecil itu tentu merupakan sesuatu yang mudah diterima akal.[1]
Sejarah Demokrasi. Kisah demokrasi modern dimulai 2500 tahun yang lalu dalam lingkungan budaya sebuah bangsa kecil yang juga menjadi tempat kelahiran filsafat sebagai ilmu serta salah satu pusat kreativitas seni terbesar segala zaman, yakni bangsa Yunani. Tepatnya pada tahun 508 SM, seorang yang bernama Chleisthenes mengadakan beberapa pembaruan dalam sistem pemerintahan kota Athena. Bentuk pemerintahan baru itu kemudian dinamakan Demokratia ,” pemerintahan (oleh) rakyat”,.
Asal-usul demokrasi sebagai sesuatu sistem politik dapat ditelusuri sampai pada sekitar lima abad sebelum masehi, ketika orang-orang Yunani membentuk Polis (Negara-Kota) mencoba menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat.[2]
Sejarah Demokrasi. Dua puluh tiga abad setelah eksperimen demokrasi di Athena, dunia menyaksikan berbagai bentuk sistem politik yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan prinsip-prinsip demokrasi. Yang mendominasi sejarah adalah monarchi, kesultanan dan negara-negara teokratik. Sementara eksperimen demokrasi dapat dikatakan sudah tenggelam dalam sejarah. Puncak peradaban di India, Cina, Timur Tengah semasa kejayaan Islam dan kebangkitan Eropa tidak berhutang budi sedikitpun pada konsep demokrasi.
Di zaman pertengahan (600-1400M), gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat. Dimana masyarakat abad pertengahan di dirikan struktur sosial yang feodal, yang kehidupan sosial spiritualnya dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama serta kehidupan politiknya ditandai oleh adanya perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Akan tetapi dilihat dari sudut perkembangan demokrasi abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen penting yaitu Magna Charta (Piagam agung) pada tahun 1215M.
Selanjutnya pada akhir abad ke-15 dan abad ke-16 sebagai awal dari zaman Renaissance.[3]) Di Eropa muncul teori politik yang mulai mempertanyakan segi-segi manusia dalam hubungan antara penguasa dan rakyat serta kedudukan agama dalam masalah-masalah publik. Tokoh-tokoh pemikir seperti Nicollo Mochiavelli (1469-1527) dari Italy dengan ide sekulerismenya, Jean Bodin dari Prancis dan Thomas Hobbes (1588-1679) dari Inggris dengan ide negara kontraknya, mulai menguak dimensi-dimensi moralitas sekular dan hakekat hukum politik.
Pada abad pencerahan (Enlightment) di abad ke-17 dan ke-18 yang juga dikenal sebagai masa “Aufklarung” (1650-1800), pemikiran-pemikiran demokratik mulai bermunculan lagi diatas permukaan. John Locke (1632) dengan idenya tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga federal. Ide ini selanjutnya disempurnakan oleh Baron De Motesduieu (1689-1755) dengan idenya tentang pemisahan kekusaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif dan Yudikatif. Di tambah dengan ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrol sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
Sebagai kelanjutannya, pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (the equal of rights) serta hak pilih untuk semua warga negara.[4]
Sejarah Demokrasi.
[1] Khoiruddin Nasution, Islam..., hlm. 40.
[2] Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 21.
[3] Renaissance adalah suatu aliran yang menghidupkan kembali minat terhadap kesusasteraan dan kebudayaan Yunani kuno yang selama abad pertengahaan telah disisihkan. Ibid, hlm. 46.
[4] Ibid, hlm. 23-24.
Sejarah Demokrasi. Kisah demokrasi modern dimulai 2500 tahun yang lalu dalam lingkungan budaya sebuah bangsa kecil yang juga menjadi tempat kelahiran filsafat sebagai ilmu serta salah satu pusat kreativitas seni terbesar segala zaman, yakni bangsa Yunani. Tepatnya pada tahun 508 SM, seorang yang bernama Chleisthenes mengadakan beberapa pembaruan dalam sistem pemerintahan kota Athena. Bentuk pemerintahan baru itu kemudian dinamakan Demokratia ,” pemerintahan (oleh) rakyat”,.
Asal-usul demokrasi sebagai sesuatu sistem politik dapat ditelusuri sampai pada sekitar lima abad sebelum masehi, ketika orang-orang Yunani membentuk Polis (Negara-Kota) mencoba menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat.[2]
Sejarah Demokrasi. Dua puluh tiga abad setelah eksperimen demokrasi di Athena, dunia menyaksikan berbagai bentuk sistem politik yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan prinsip-prinsip demokrasi. Yang mendominasi sejarah adalah monarchi, kesultanan dan negara-negara teokratik. Sementara eksperimen demokrasi dapat dikatakan sudah tenggelam dalam sejarah. Puncak peradaban di India, Cina, Timur Tengah semasa kejayaan Islam dan kebangkitan Eropa tidak berhutang budi sedikitpun pada konsep demokrasi.
Di zaman pertengahan (600-1400M), gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat. Dimana masyarakat abad pertengahan di dirikan struktur sosial yang feodal, yang kehidupan sosial spiritualnya dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama serta kehidupan politiknya ditandai oleh adanya perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Akan tetapi dilihat dari sudut perkembangan demokrasi abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen penting yaitu Magna Charta (Piagam agung) pada tahun 1215M.
Selanjutnya pada akhir abad ke-15 dan abad ke-16 sebagai awal dari zaman Renaissance.[3]) Di Eropa muncul teori politik yang mulai mempertanyakan segi-segi manusia dalam hubungan antara penguasa dan rakyat serta kedudukan agama dalam masalah-masalah publik. Tokoh-tokoh pemikir seperti Nicollo Mochiavelli (1469-1527) dari Italy dengan ide sekulerismenya, Jean Bodin dari Prancis dan Thomas Hobbes (1588-1679) dari Inggris dengan ide negara kontraknya, mulai menguak dimensi-dimensi moralitas sekular dan hakekat hukum politik.
Pada abad pencerahan (Enlightment) di abad ke-17 dan ke-18 yang juga dikenal sebagai masa “Aufklarung” (1650-1800), pemikiran-pemikiran demokratik mulai bermunculan lagi diatas permukaan. John Locke (1632) dengan idenya tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga federal. Ide ini selanjutnya disempurnakan oleh Baron De Motesduieu (1689-1755) dengan idenya tentang pemisahan kekusaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif dan Yudikatif. Di tambah dengan ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrol sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
Sebagai kelanjutannya, pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (the equal of rights) serta hak pilih untuk semua warga negara.[4]
Sejarah Demokrasi.
[1] Khoiruddin Nasution, Islam..., hlm. 40.
[2] Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 21.
[3] Renaissance adalah suatu aliran yang menghidupkan kembali minat terhadap kesusasteraan dan kebudayaan Yunani kuno yang selama abad pertengahaan telah disisihkan. Ibid, hlm. 46.
[4] Ibid, hlm. 23-24.
0 komentar:
Post a Comment