Blog Berisi Seputar Artikel Terbaru | Aplikasi | Tutorial Komputer | Blogging | Info Penting

Asas-asas yang Membatasi Berlakunya Ketentuan Hukum Menurut Tempat Dalam Pidana Positif

 
A.     Locus delicti

Pembahasan mengenai locus delicti diperlukan karena hal ini berhubungan dengan Pasal 2-8 KUHP yaitu menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap satu tindak pidana atau tidak. Selain itu, locus delicti juga akan menentukan pengadilan mana yang memiliki wewenang terhadap kasus tersebut dan ini berhubungan dengan kompetensi relatif.[1]

Mengenai locus delicti, ada beberapa teori untuk menentukan di mana tempat terjadinya perbuatan pidana yaitu teori mengenai tempat di mana perbuatan dilakukan secara personal, kedua adalah teori tentang instrument dan yang terakhir adalah teori tentang akibat.[2]

a.       Teori tentang di mana perbuatan dilakukan secara personal

Yang dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan dalam teori ini adalah tempat di mana perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman dilakukan.

Menurut teori ini, jika seorang pelaku menikam korbannya di Jakarta, setelah terjadi penikaman tersebut si korban pulang ke Bogor dan di sana ia mati, maka meskipun akibatnya (matinya korban) terjadi di Bogor, yang dianggap sebagai tempat dilakukannya perbuatan adalah Jakarta.

b.       Teori tentang alat atau instrument yang digunakan

Yang dianggap sebagai tempat kejahatan dilakukan dalam teori ini adalah tempat di mana alat atau instrument yang digunakan untuk melakukan kejahatan menimbulkan akibat.

Jika seorang pelaku mengirimkan makanan beracun dari Jakarta ke Bandung untuk seseorang, kemudian orang tersebut (korban) memakan makanan beracun tersebut dan ia mati maka, yang dianggap sebagai tempat terjadinya kejahatan adalah Bandung. Hal ini dikarenakan alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan (makanan beracun) menimbulkan akibat, yaitu matinya korban.

c.       Teori tentang akibat

Menurut teori ini yang dianggap sebagai tempat dilakukannya tindak pidana adalah tempat di mana suatu kejahatan menimbulkan akibat perbuatan. Dengan demikian, yang dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan dalam contoh pada point (a) adalah Bogor dikarenakan di tempat tersebut akibat dari perbuatan (penikaman) terjadi, yaitu matinya korban.  


B.      Perjanjian Ekstradisi

Ekstradisi merupakan salah satu lembaga hukum yang dapat ditempuh guna mengatasi tindak kejahatan lintas batas negara yang sekarang dianggap ideal. Keputusan tentang ekstradisi merupakan keputusan badan eksekutif, oleh sebab itu pada taraf terakhir terletak pada tangan presiden setelah mendapat nasehat yuridis dari menteri kehakiman berdasarkan penetapan pengadilan.

1.   Pengertian dan tujuan ekstradisi

Secara umum ekstradisi dapat diartikan sebagai proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili penjahat tersebut. Jelasnya penyerahan tersebut dilakukan oleh negara tempat orang (pelaku kejahatan) berlindung, kepada negara yang meminta penyerahan.[3]

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (Lembaran Negara Tahun 1979 No. 2) dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ekstradisi adalah:

“Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan sesuatu kejahatan di luar negara yang menyerahkan dan di dalam yuridiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidana”.[4]

Maksud serta tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari  penuntutan atau pemidanaan yang seharusnya ia terima, karena seringkali  suatu negara yang wilayahnya  dijadikan tempat berlindung oleh seorang  pelaku  kejahatan, tidak   dapat  menerapkan  hukum pidana  untuk   menuntut  atau menjatuhkan pidana semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yuridiksi atas penjahat tersebut. Hal ini menyebabkan penjahat tidak harus diserahkan kepada negara yang mempunyai yuridiksi atasnya untuk diperiksa dan diadili. Seorang pelaku kejahatan harus diadili di negara tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya. 

Penyerahan ini dapat dilakukan atas dasar perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya oleh negara-negara yang bersangkutan atau berdasarkan asas timbal balik (hubungan baik) atas orang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan atau orang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang telah dilakukan oleh negara tempat pelaku berada, bersembunyi atau melarikan diri kepada negara yang menuduh atau menghukum sebagai negara yang memiliki yuridiksi untuk mengadili atau menghukum atas permintaan dari negara tersebut dengan maksud untuk mengadili maupun menghukumnya.[5]

Praktek yang dilakukan oleh satu negara dapat berbeda dengan negara yang lain. Sebagian negara bersedia menyerahkan pelaku suatu kejahatan yang diminta meskipun sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi dengan negara lain. Selain itu ada negara yang tidak bersedia menyerahkan pelaku kejahatan yang masuk ke wilayahnya jika sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara (negara-peminta dan negara-diminta).[6]

2.   Asas-asas Umum Ekstradisi

Perjanjian ekstradisi memilki asas-asas pokok yang harus ditaati dan selalu dicantumkan oleh pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini. Asas-asas ini berkaitan erat dengan hak-hak asasi manusia, yaitu untuk melindungi hak asasi pelaku kejahatan.[7]

Asas-asas ini merupakan asas dasar yang telah diakui oleh hukum internasional.[8] Dalam perundang-undangan Indonesia, asas-asas ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Asas-asas tersebut adalah:

a.       Asas kejahatan ganda (double criminality), artinya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang dijadikan sebagai dasar tuntutan dan permohonan penyerahan harus merupakan kejahatan dan dapat dijatuhi hukuman menurut sistem hukum pidana di kedua negara.[9]

b.      Asas jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta, dianggap sebagai kejahatan politik maka permintaan ekstradisi dapat ditolak.[10]

c.       Asas bahwa negara-diminta berhak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri.[11]

d.      Asas bahwa suatu kejahatan yang dilakukan seluruh atau sebagiannya di wilayah yang termasuk atau dianggap termasuk dalam yuridiksi negara-diminta, maka negara-diminta dapat menolak permohonan ekstradisi.[12]

e.       Asas bahwa permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang berwenang dari negara-diminta sedang melakukan pemeriksaan terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang dijadikan alasan permohonan ekstradisi.[13]

f.        Asas ne bis in idem, artinya, penyerahan tidak dapat dilakukan apabila keputusan pengadilan telah dijatuhkan atas kejahatan yang dimintakan penyerahan.[14]

g.       Asas bahwa seseorang tidak diserahkan karena hak untuk menuntut atau melaksanakan putusan pidana telah kadaluwarsa.[15]

h.       Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan diekstradisikan selain untuk kejahatan yang dijadikan alasan permohonan, kecuali bila negara-diminta menyetujui hal tersebut.[16]    


C.     Asas-asas Berlakunya Undang-undang Pidana Menurut Tempat dalam Hukum Pidana Positif

Mengenai kekuasaan berlakunya undang-undang pidana dapat dilihat dari dua sisi, yang bersifat negatif dan yang bersifat positif.[17] Yang bersifat negatif berlakunya undang-undang menurut waktu, hal ini tercantum dalam Pasal 1 KUHP[18] sedangkan dari segi positif, berlakunya undang-undang dilihat dari segi tempat. Hal ini diatur dalam Pasal 2 sampai 9 KUHP yang memuat 4 asas yaitu, asas teritorial, asas nasional aktif, asas nasional pasif dan asas universal.
1.      Asas Teritorial
Asas teritorial terdapat dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi:

 “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan sesuatu tindak pidana.”

Asas teritorial ini melahirkan yuridiksi teritorial, yaitu kedaulatan atau kewenangan suatu negara yang berdasarkan hukum internasional untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi dalam batas-batas wilayah negaranya. Salah satu wujud dari yuridiksi teritorial suatu negara adalah membuat serta memberlakukan hukum pidana nasionalnya terhadap tindak pidana yang terjadi dalam wilayah negara tersebut. Ketentuan ini berlaku bagi warga negaranya sendiri maupun orang asing yang melakukan suatu tindak pidana.[19]

Ini merupakan dasar yang diunggulkan bagi pelaksanaan yuridiksi negara. Peristiwa yang terjadi dalam batas-batas teritorial suatu negara dan orang-orang yang berada di wilayah tersebut sekalipun untuk sementara, pada lazimya tunduk pada penerapan hukum lokal.[20]

Asas atau prinsip teritorial mempersoalkan tentang lingkungan kuasa berlakunya hukum pidana terhadap ruang, jadi lebih luas dari pada tanah (bumi),[21] ia merupakan asas yang tertua dari asas-asas berlakunya hukum pidana menurut tempat. Asas teritorial merupakan asas yang fundamental. Hal ini berarti, sekalipun telah diterapkan batas-batas berlakunya hukum pidana Indonesia, dalam keadaan tertentu serta untuk subyek hukum tertentu, dapat diterapkan perluasan-perluasan terhadap asas teritorial.[22]

Romli, dengan mengutip Bert Swart dan Andre Klip menulis bahwa asas teritorial telah diperluas tidak lagi semata-mata ditujukan terhadap tempat di mana pelaku melakukan kejahatan, melainkan juga tempat di mana akibat dari kejahatan itu dilakukan atau di mana korban berada.[23]

Selain wilayah tanah, asas teritorial juga mencakup seluruh wilayah udara dan wilayah perairan atau laut Indonesia. Wilayah udara Indonesia terhitung dari tanah ditarik ke atas setinggi yang ditentukan menurut perjanjian antar negara.

Meskipun demikian, bukan berarti seorang pelaku harus berada di salah satu wilayah – tanah, udara atau perairan – suatu negara ketika melakukan kejahatan. Hal ini berhubungan dengan bahasan mengenai locus delicti, karena bisa jadi pelaku dapat melakukan kejahatan di suatu negara meskipun ia berada di negara lain.[24]

Wilayah perairan Indonesia meliputi seluruh perairan yang terletak di sebelah dalam garis dasar serta laut wilayah (teritorial sea) di sekelilingnya selebar 12 mil laut, diukur mulai garis dasar ke arah luar. Wilayah ini ditambah lagi seluas 200 mil diukur dari garis dasar yang disebut Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Seperti halnya terhadap wilayah daratan, Indonesia memiliki kedaulatan penuh (soveregnty) di seluruh wilayah perairan yang diikuti pula oleh yuridiksi kriminal.[25]

Yang menjadi sasaran yuridiksi kriminal di wilayah lautan adalah delik-delik yang terjadi di laut yang pada pokoknya diatur dalam ordonansi-ordonansi dan juga diatur dalam pasal-pasal KUHP. Sasaran ini selain delik yang sifatnya kejahatan, juga meliputi pelanggaran. Delik ini merupakan sasaran utama yang ditegaskan dalam Ordonansi Laut Wilayah dan Lingkungan Maritim 1939.[26]

Berlakunya undang-undang Indonesia terhadap tindak pidana yang terjadi dalam pesawat Indonesia tercantum dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/prasarana Penerbangan.

Dalam Pasal I Undang-undang tersebut disebutkan:

“Mengubah dan menambah Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 yang tercantum dalam Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

Pasal 3 KUHP memperluas ruang lingkup berlakunya undang-undang pidana, yaitu mengenai berlakunya ketentuan hukum pidana bagi setiap tindak pidana yang terjadi di dalam perahu serta pesawat terbang Indonesia meskipun keberadaan perahu serta pesawat tersebut berada di luar wilayah teritorial Indonesia.[27]

Dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 KUHP ini, maka setiap perahu dan kapal terbang Indonesia dianggap atau merupakan perpanjangan dari wilayah teritorial Indonesia dan karenanya setiap tindak pidana yang terjadi di dalamnya tunduk pada ketentuan perundang-undangan pidana Indonesia tanpa mempermasalahkan kewarganegaraan pelaku.

Adapun yang dimaksud dengan kapal-kapal Indonesia adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 95 KUHP yang berbunyi:

“Kapal Indonesia berarti kendaraan air yang menurut peratuaran-peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di daerah Republik Indonesia, harus mempunyai surat laut atau pas kapal atau surat-surat izin sebagai pengganti sementara kendaran air atau pas itu”.[28]

            Mengenai pesawat udara Indonesia, ketentuannya tercantum dalam Pasal 95 a ayat (1) dan (2).[29] Pasal ini berbunyi:

(1).      Yang dimaksud dengan “pesawat udara Indonesia” adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia;

(2).      Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.

Meskipun demikian, tidak semua perahu maupun kapal dianggap sebagai perpanjangan wilayah suatu negara, hanya kapal perang dan kapal dagang yang berada di lautan terbuka yang dianggap sebagai wilayah negara.[30]

Ketentuan ini juga berlaku bagi kapal-kapal dagang Indonesia yang berada di pelabuhan asing. KUHP Indonesia tidak saja berlaku bagi awak serta penumpang, melainkan juga berlaku bagi setiap orang yang ada dalam kapal tersebut.[31]

Pasal 3 KUHP diperluas lagi dengan Pasal 8. Pasal ini menentukan bahwa nakhoda atau penumpang kapal laut atau perahu Indonesia yang melakukan kejahatan sumpah atau keterangan palsu dan kejahatan pelayaran di luar wilayah Indonesia, dapat dituntut menurut ketentuan pidana Republik Indonesia.

Pasal 8 KUHP berbunyi:

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku di luar Indonesia berlaku di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas kendaran air, melakukan salah satu perbuatan yang dapat dipidana yang tersebut dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian juga yang tersebut dalam peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di Indonesia dan yang tersebut dalam “Ordonantie Kapal 1927.”

            Dalam KUHP Indonesia tidak diatur mengenai ketentuan kejahatan penerbangan yang dilakukan di dalam maupun di luar pesawat udara Indonesia. Namun demikian usaha ke arah sana sudah dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dengan sudah dicantumkannya ketentuan mengenai hal ini dalam Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

      Dalam Rancangan Undang-undang tersebut disebutkan:

(1).      Ketentuan dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi kapten pilot, awak pesawat udara, penumpang pesawat udara Indonesia yang di luar wilayah Republik Indonesia melakuakan salah satu tindak pidana penerbangan sebagai mana di maksud dalam Bab XXXI Buku kedua.[32]

Pasal ini merupakan perluasan berlakunya ketentuan pidana, yaitu mengenai berlakunya undang-undang pidana Indonesia bagi pelaku kejahatan penerbangan di dalam maupun di luar pesawat udara Indonesia yang sedang melakukan penerbangan di wilayah negara asing.

2.       Asas Eksteritorial

Asas eksteritorial tercantum dalam Pasal 9 KUHP yang berbunyi:

“Berlakunya Pasal 2 sampai 5, Pasal 7 dan 8 Pasal dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum Internasional.”

Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan yang senatiasa ada bahwa berlakunya Pasal 2-5, Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP akan bertentangan dengan hukum antar negara, karena ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut berhubungan juga dengan negara asing.

Selain itu perlu diketahui bahwa hukum antar negara merupakan kumpulan asas-asas hukum yang mengatur hubungan antar negara di dunia. Hubungan ini biasanya diselenggarakan dengan saling menempatkan perwakilan dalam bentuk kedutaan atau konsul di negara-negara bersangkutan.[33]

Utrecht dengan tegas mengatakan bahwa ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 KUHP tidak diperlukan lagi saat ini. Hal ini disebabkan negara kita telah mengakui adanya primat hukum antar negara. Menurutnya ketentuan tersebut dibuat ketika kedaulatan negara absolut masih diterima.[34]

Menurut hukum Internasional, yang tidak terikat oleh KUHP Indonesia adalah para duta besar negara serta para utusan negara asing yang secara resmi diterima oleh kepala negara. Selain itu mereka yang tidak tunduk pada KUHP Indonesia adalah para pegawai dalam kedutaan yang berfungsi di bidang diplomatik, para konselir (konsultan) dan sekretaris meskipun mereka tidak berseragam (tidak dalam keadaan dinas).

Berdasarkan asas eksteritorial, para diplomat dianggap tidak berada di negara penerima melainkan di negara pengirim meskipun pada kenyataannya ia berada di wilayah negara penerima. Selain itu mereka tidak dapat dikuasai oleh hukum dan peraturan negara penerima. Seorang diplomat menurut asas ini, hanya dikuasai oleh hukum negara pengirim begitu juga gedung atau tempat kediaman mereka di negara penerima dianggap sebagai bagian atau perpanjangan dari wilayah negara pengirim.[35]

Bammelen berpendapat bahwa ketentuan tentang mereka yang diberi hak immunitas atau kekebalan hukum tercantum dalam perjanjian Wina tanggal 18 April 1961.[36]

Alat-alat kekuasaan negara penerima tidak dapat menangkap, menuntut maupun mengadili mereka dalam masalah kriminal. Meskipun demikian mereka harus tetap menghormati serta menghargai hukum di negara setempat.[37]

Mengenai para konsul asing, mereka diberi hak immunitas hukum bukan berdasarkan Pasal 9 KUHP melainkan atas dasar perjanjian yang disepakati antar negara. Hal ini dikarenakan para konsul bukan merupakan wakil diplomatik melainkan hanya merupakan wakil perdagangaan. Meskipun demikian mereka diberi keistimewaan seperti yang tercantum dalam Pasal 7a U.U. Pengawasaan Orang Asing dan U.U. Dar No. 9 tahun 1953 (L. N. 1953 No. 64). Pasal-pasal ini menentukan bahwa undang-undang tersebut tidak berlaku bagi para pejabat diplomatik dan konselir asing.[38]

Orang-orang yang memiliki hak immunitas meliputi pula:

a.       Kepala negara asing yang berkunjung ke Indonesia secara resmi. Selain itu sanak saudara kepala negara yang bersangkutan, kecuali mereka yang melakukan perjalanan yang berdiri sendiri.

Meskipun demikian para sanak saudara kepala negara diperdebatkan hak immunitasnya. Van Hammel secara tegas mengatakan bahwa mereka tidak memiliki hak immunitas. Jonkers sebaliknya mengakui adanya hak tersebut bagi mereka.

b.       Duta negara asing yang ditempatkan di Indonesia dengan persetujuan kedua negara yang bersangkutan. Hak immunitas juga berlaku bagi para sanak saudara yang tinggal bersama duta tersebut. Adapun para pegawai di kedutaan tersebut dianggap sebagai orang asing yang menempati kedutaan, oleh karenanya mereka tidak memiliki hak immunitas.

Meskipun demikian, jika para duta negara asing melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan negara yang mereka tempati, mereka tetap berhak mendapatkan sanksi seperti pengusiran, protes maupun permintaan penarikan ke negara asalnya.

c.       Kapal negara asing yang berlabuh dengan persetujuan pemerintah.

Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan immunitas kepada kapal perang dan kapal-kapal pemerintah untuk tujuan non-komersial, yaitu diatur dalam Pasal 95 untuk kapal-kapal perang dan Pasal 96 untuk kapal-kapal pemerintah non-komersial. Ketentuan ini. Ketentuan-ketentuan ini berhubungan dengan keberadaan kapal-kapal tersebut di laut lepas. Selama kapal-kapal ini berada di laut lepas, ia memiliki kekebalan dari yuridiksi negara lain selain negara benderanya.

d.       Pasukan negara asing yang masuk ke suatu negara dengan seizin negara yang didatangi. Bila mereka masuk tanpa izin, mereka dapat diusir dengan cara kekerasan.

Mengenai tentara pendudukan, mereka tidak tunduk pada hukum negara yang diduduki, karena tunduk pada hukum negara yang diduduki dianggap bertentangan dengan hubungan kekuasaan yang ada, tetapi ia akan diadili menurut hukum negaranya sendiri dan diadili oleh pengadilan militer yang mengikuti mereka. Dalam hal ini perbuatan tidak dinilai dengan hukum pidana umum melainkan hukum perang.

3.      Asas Kewarganegaraan (Nasional) Aktif

Dalam hukum internasional, suatu negara memiliki yuridiksi yang disebut yuridiksi personal berdasarkan kewarganegaraan (nasionalitas) aktif atas warga negaranya yang berada di luar wilayah negara tersebut yang melakukan suatu kejahatan (tertentu). Yuridiksi ini didasarkan pada adanya hubungan antara negara pada satu pihak dengan warga negaranya yang berada di luar wilayah negaranya pada pihak lain. Hubungan tersebut termanifestasikan dalam hak, kekuasaan serta kewenangan negara untuk memberlakukan hukum nasional terhadap warganya yang berada di luar wilayah teritoir. Sebaliknya warga negara memiliki hak serta memikul tanggung jawab dalam hubungan dengan negaranya selama ia berada di luar wilayah negaranya sendiri. Ini sesuai dengan adagium hukum yang tidak sepenuhnya berlaku, bahwa setiap orang membawa hukum negaranya kemanapun ia pergi dan di manapun ia berada.[39]

Romli menulis bahwa dalam konteks kedaulatan negara yang berkaitan dengan kewarganegaraan pelaku kejahatan transnasional atau internasional, asas nasionalitas merupakan landasan hukum bagi suatu negara untuk melaksanakan penyelidikan, penuntutan serta peradilan atas warga negaranya yang melakukan kejahatan terlepas di mana locus delicti itu terjadi.[40]

Asas kewarganegaraan aktif atau asas personalitas ini terdapat dalam Pasal 5 KUHP yang berbunyi:

(1). Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan di luar wilayah Indonesia:

Ke-1.  Salah satu kejahatan yang terdapat dalam Bab I dan II Buku Kedua dan dalam Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;

Ke-2.  Sesuatu perbuatan yang oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia dipandang sebagai kejahatan dan dapat dipidana menurut perundang-undangan negara tempat perbuatan itu dilakukan.

Mengingat bahwa tempat dilakukannya tindak pidana berada di luar wilayah Indonesia maka kejahatan yang tunduk pada asas ini bersifat umum, dalam artian bahwa di samping dapat mengancam kedaulatan negara Indonesia, kejahatan yang dilakukan harus dianggap sebagai kejahatan oleh negara tempat tindak pidana dilakukan.

Asas personalitas diperluas lagi dengan adanya ayat (2) Pasal 5 KUHP yang berbunyi:

(2).                  Kejahatan yang tersebut pada No. 2 itu dapat juga dituntut jika  terdakwa baru menjadi warga negara Republik Indonesia sesudah melakukan perbuatan itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka hukum pidana Indonesia juga berlaku bagi tiap orang yang berkebangsaan Indonesia meskipun ia berada  di luar Indonesia melakukan salah satu atau beberapa delik tertentu yang dianggap mengancam negara Indonesia. Delik-delik ini dianggap sangat berbahaya sehingga perlu untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku dimana saja ia berada.

Kejahatan-kejahatan ini dibagi menjadi dua:

1. a.   Kejahatan yang berupa pelanggaran terhadap keamanan negara yang tercantum dalam Bab I buku Kedua KUHP, yaitu Pasal 104 -129.

b.       Kejahatan yang melanggar martabat kepala negara serta wakil presiden, ketentuan ini tercantum dalam Pasal 131-139 Bab II Buku Kedua KUHP.

c.       Kejahatan penghasutan yang tercantum dalam Pasal 160 KUHP.

d.       Menyebarluaskan tulisan yang bertujuan untuk menghasut yang tercantum Pasal 161 KUHP.

e.       Dengan sengaja membuat diri maupun orang lain menjadi tidak cakap untuk memenuhi kewajiban militer yang tercantum dalam Pasal 240 KUHP.

f.         Melakukan perampokan (pembajakan) di laut yang tercantum dalam Pasal 450 dan 451 KUHP.

            Delik-delik ini dicantumkan secara tidak tegas dalam Pasal 5 ayat 1 Sub1 karena dalam pasal ini terdapat perbuatan yang dapat mengancam kepentingan-kepentingan  yang khusus bagi negara Indonesia, di pihak lain perbuatan-perbuatan ini tidak dikenai hukuman menurut UU negara di mana perbuatan tersebut terjadi dan pelaku berada.

1.       Kejahatan yang dianggap oleh KUHP Indonesia dan juga oleh negara tempat terjadinya kejahatan sebagai delik atau kejahatan yang harus dikenai sanksi hukum.[41]

Untuk kejahatan semacam ini diperlukan adanya dua syarat:

a.        Perbuatan tersebut harus diakui sebagai kejahatan oleh KUHP.

b.        Kejahatan tersebut dikenai hukuman - diakui sebagai kejahatan - oleh negara yang menjadi tempat terjadinya perbuatan.[42]

KUHP Indonesia hanya menentukan syarat bahwa delik yang bersangkutan merupakan kejahatan. Apabila kejahatan ini tidak dihukum oleh hukum pidana negara asing maka peraturan undang-undang hukum pidana Indonesia tidak berlaku karena tidak terpenuhinya syarat yang kedua. Ketentuan ini sesuai dengan asas internasionalitas bahwa suatu negara tidak dapat menyerahkan warga negaranya kepada pemerintahan negara asing.

Asas personalitas aktif ini dibatasi oleh Pasal 6 KUHP yang berbunyi:

“Berlakunya Pasal 5, ayat (1) ke-2 itu dibatasi dengan tidak dibolehkan untuk menjatuhkan pidana mati untuk perbuatan yang tiada diancam dengan pidana itu menurut perundang-undangan di tempat perbuatan itu dilakukan.”

Dari pasal ini dapat dipahami bahwa hukuman mati hanya dapat dijatuhkan apabila perbuatan itu di wilayah Republik Indonesia maupun di negara lain di mana perbuatan itu dilakukan, diancam dengan hukuman mati.

Pembatasan ini tidak meliputi pada kejahatan-kejahatan yang tersebut dalam sub 1 ayat 1 Pasal 5; jadi menurut sub 1 ayat 1 Pasal 5 ini hukuman mati dapat dijatuhkan.[43]

Ketentuan mengenai asas personal aktif dalam KUHP diperluas dengan berlakunya undang-undang pidana Indonesia bagi pegawai negeri Indonesia yang sedang berada di luar negeri melakukan kejahatan jabatan. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 7 KUHP yang berbunyi:

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi pegawai negeri Indonesia yang melakukan di luar daerah Republik Indonesia salah satu kejahatan yang disebut dalam Bab XXVIII Buku Kedua.”

Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah kejahatan yang dilakukan dalam jabatan para pegawai negeri Republik Indonesia. Kejahatan-kejahatan tertuang dalam Pasal 413 – 437 Bab XXVIII Buku Kedua KUHP mengenai kjahatan jabatan. Dengan adanya pasal ini, maka hukum pidana Indonesia berlaku bagi pegawai negeri di luar wilayah Indonesia.

Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan pegawai negeri adalah pelanggaran yang dapat menggangu kepentingan negara serta masyarakat Indonesia yang dapat merusak atau menurunkan wibawa pemerintahan Indonesia.[44]

4.      Asas Kewarganegaraan (Nasional Pasif)

Dalam hukum internasional, suatu negara memiliki yuridiksi atas orang yang bukan warga negaranya yang melakukan tindak kejahatan yang dianggap dapat merugikan negara tersebut atau warganya sendiri yang dilakukan di luar wilayahnya. Yuridiksi ini berdasarkan asas kewarganegaraan pasif. Berdasarkan asas ini perundang-undangan pidana Indonesia berlaku terhadap siapapun juga yang berada di luar wilayah teritorial Indonesia melakukan kejahatan tertentu.

Adanya yuridiksi ini sebagai upaya perlindungan terhadap negara maupun warganya dari tindakan atau perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh orang asing di luar wilayah negara tersebut. Oleh karenanya, yuridiksi ini disebut juga sebagai yuridiksi personal berdasarkan perlindungan[45] yang oleh Hazewinkel-Suringa asas ini disebut sebagai asas untuk melindungi kepentingan umum yang besar dan tidak ditujukan bagi kepentingan individual.[46]

Dasar pembenar asas ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warganya di luar negeri. Apabila negara teritorial di mana tindak kejahatan dilakukan tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut maka negara asal korban berwenang[47]  untuk memberlakukan hukum pidananya apabila orang tersebut berada di wilayahnya.[48]

Asas nasional pasif dirumuskan dalam Pasal 4 ayat 1 sampai ayat 3 dan Pasal 8 KUHP. Pasal 4 KUHP berbunyi:

“Ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan di luar daerah Republik Indonesia:

Ke-1.   Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 104, 106, 107   dan 108, 110, 111 bis pada ke-1, 127 dan 131;[49]

Ke-2.   Suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank atau tentang materai atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia;

Ke-3.   Pemalsuan surat-surat utang atau serrifikat-sertifikat utang yang ditanggung Pemerintah Indonesia, daerah atau sebagian daerah, pemalsuan talon-talon, surat-surat utang sero (keterangan Dividend) atau surat-surat bungan uang yang masuk surat-surat itu, serta surat-surat keterangan pengganti surat-surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seperti itu seakan-akan surat itu asli dan tidak dipalsukan.”

Setiap orang, baik warganegara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan kejahatan seperti yang tersebut dalam pasal-pasal ini dapat dikenakan ketentuan-ketentuan pidana Indonesia meskipun mereka melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia.

Pasal ini menggunakan istilah “setiap orang” yang berarti bahwa orang tersebut bisa saja berkebangsaan atau berkewarganegraan Indonesia maupun berkewarganegaran negara asing, bahkan tidak berkebangsaan sekalipun.

Pasal ini meninggalkan asas teritorial dan menerima asas universal. Sub 1 menjaga kepentingan negara, sedangkan sub 2 dan sub 3 menjaga kepentingan keuangan negara.

Pasal 8 KUHP berbunyi:

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas kendaraan air, melakukan salah satu perbuatan yang tersebut dalam bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian juga yang tersebut dalam peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di Indonesia dan yang tersebut dalam “Ordonantie Kapal 1927”.”[50]

Pasal ini menentukan bahwa nakhoda atau penumpang kapal laut atau perahu Indonesia yang melakukan peristiwa pidana di luar wilayah Republik Indonesia, dapat dituntut menurut ketentuan hukum pidana Republik Indonesia.[51]

Adapun kejahatan yang dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua adalah kejahatan dalam pelayaran, sedangkan yang dimaksud dalam Bab IX Buku Ketiga  adalah pelanggaran-pelanggaran dalam pelayaran.

5.      Asas Universal

Asas universal mengandung pengertian bahwa, suatu negara memiliki yuridiksi atas pelaku suatu kejahatan, di mana dan kapanpun kejahatan itu dilakukan, siapapun pelaku maupun korbannya.

Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional yang melibatkan semua negara di dunia. Oleh karenanya jika ada suatu kejahatan yang dapat merugikan kepentingan internasional, maka setiap negara berhak untuk mengadili pelaku tanpa melihat status kewarganegaraan.[52]

Kejahatan yang pelakunya ditundukkan pada asas universal ini merupakan kejahatan yang digolongkan sebagai musuh umat manusia (hostis human generis) semisal kejahatan narkotika, terorisme, pembajakan pesawat udara, genocide, kejahatan perang dan lain-lain. Penegasan yuridiksi universal ini terdapat di dalam konvensi-konvensi tentang kejahatan internasional atau kejahatan yang mempunyai dimensi internasional.

Konvensi mewajibkan kepada negara-negara peserta konvensi yang di wilayahnya di temukan pelaku kejahatan atau pelaku tindak melawan hukum terhadap keselamatan penerbangan sipil, jika negara tersebut tidak bermaksud untuk mengekstradisikan pelakunya, agar menyerahkan kasus tersebut kepada badan yang berwenang untuk dilakukan penuntutan, tanpa terkecuali, baik kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara bersangkutan maupun di luar wilayah negara tersebut.

Ditinjau dari segi hukum pidana, khususnya hukum pidana Indonesia, yuridiksi universal inilah yang dipandang sama dengan asas universal hukum pidana. Tegasnya hukum pidana suatu negara berlaku bagi siapapun, di manapun dan kapanpun suatu peristiwa pidana terjadi.[53]

Dengan demikian, tampak pula bahwa kaidah hukum pidana berdasarkan asas universal ini tidak tunduk pada asas daluwarsa. Hal ini dikarenakan kejahatan yang tunduk pada yuridiksi atau asas universal, tergolong peristiwa pidana atau kejahatan yang merupakan musuh umat manusia.[54]

Asas universal dalam perkembangan hukum internasional memiliki peranan yang sangat strategis sebagai bentuk solidaritas sekaligus sebagai pertanggungjawaban masyarakat internasional terhadap kejahatan internasional. Meskipun demikian masih banyak negara yang meragukan penerapan asas ini jika tidak dilandaskan pada standar tertentu, yaitu kekhawatiran terhadap “intervensi” terhadap kedaulatan suatu negara.[55]

Keberatan banyak negara dalam menerapkan asas universal ini juga disebabkan kehendak negara-negara tersebut untuk menyerahkan sepenuhnya wewenang menuntut dan mengadili kepada negara yang memiliki yuridiksi yang kuat atas kejahatan internasional. Oleh karena itu, sebagai jalan keluar yang ditawarkan dalam hukum internasional dikenal resentation principle yang berarti bahwa, penerapan yuridiksi ekstrateritorial suatu negara atas kejahatan internasional adalah untuk kepentingan pihak ketiga yang secara langsung mempunyai kepentingan atas kejahatan dimaksud.[56]

Berdasarkan hal ini pula Romli berpendapat bahwa sekalipun dalam praktik hukum internasional asas universal dipandang lebih efektif dalam menuntut dan mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat kejam serta bertentangan dengan kemanusiaan, pada saat yang sama pemberlakuan asas teritorial dan asas nasionalitas (kewarganegaraan) tetap relevan untuk diberlakuan.[57]

Asas universal bertujuan untuk melindungi kepentingan dunia. Penerapan asas ini diatur dalam Pasal 4 sub ke-2 dan ke-4 KUHP yang berbunyi:

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan di luar daerah Republik Indonesia.”

Ke-2.  suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank atau tentang materai atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia;

Ke-4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. (UU. No. 4/1976).

Dalam sub ke-2 Pasal 4 KUHP – berdasarkan Conventie Genewa tahun 1929 - ditetapkan bahwa siapa saja yang memalsukan atau memasukan uang dan uang kertas dari negara manapun juga dapat dituntut menurut pidana Indonesia. Pasal 4 sub ke-4 KUHP sesuai dengan jiwa Declaration of Paris 1856. berdasarkan deklarasi tersebut, maka hukum antar negara modern melarang perampokan di laut tanpa melihat siapa pelaku dan yang menjadi korban.[58]

Kejahatan pembajakan udara yang tunduk pada asas universal ini diatur dalam U.U. No. 4 tahun 1976 (L.N. No. 26 tahun 1976).[59] Undang-undang ini hanya menyebutkan dua jenis kejahatan yaitu kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan. Dalam undang-undang ini tidak disebutkan secara tegas adanya penggolongan tindak pidana penerbangan.

Berkaitan dengan hal ini, dalam KUHP Indonesia ditambahkan satu bab baru setelah Bab XXIX dengan Bab XXIX A. tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana dan Prasarana Penerbangan yang terdiri dari Pasal 479 huruf a dan Pasal 479 huruf r dengan ketentuan sanksi yang berbeda-beda dalam tiap pasal.

Kejahatan penerbangan merupakan suatu perbuatan yang di samping dapat  mengancam keselamatan baik jiwa maupun harta manusia, juga merupakan tindakan yang sangat mengganggu serta menghambat pengembangan lalu lintas udara internasional maupun nasional serta menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap keamanan penerbangan sipil menjadi berkurang.[60]

[1] Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana…,hlm. 78.

[2] Mengenai teori-teori tentang locus delicti lihat misalnya Satochid Kartanegara, Hukum Pidana (t.tp. Balai Lektur Mahasisiwa, t.th), hlm. 154-158.

[3] M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), hlm. 13.

[4] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi Pasal I

[5] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi Pasal 2 ayat (1) dan (2)

[6] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional….,hlm. 151.

[7] Parthiana menyebutnya dengan pisau bermata dua yang berat sebelah, pada satu sisi eksrtadisi bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, pada sisi lain ia juga berfungsi melindungi kepentingan individu pelaku kejahatan. Meskipun demikian kalau dicermati asas-asas dan kaidah hukum tentang ekstradisi, ternyata perlindungan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana jauh lebih besar di bandingkan dengan perlindungan terhadap kepentingan umum. Asas-asas ekstradisi pada kenyataannya justru membatasi negara-negara dalam mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan lintas batas negara bahkan dua negara yang telah terikat dengan perjanjian ini tidak selalu mudah untuk mengekstradisikan pelaku. Ibid., hlm. 143.

[8] M. Budiarto, Masalah Ekstradisi….,hlm.16.

[9] Asas ini tercantum dalam daftar kejahatan yang dapat diekstradisikan sebagai lampiran dari Undang-undang No. 1 tahun 1979 Pasal 4.
[10] Pasal 5

[11] Pasal 7

[12] Pasal 8

[13] Pasal 9

[14] Pasal 10

[15] Pasal 12

[16] Pasal 15

[17] Lihat misalnya C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum…., hlm. 276.

[18] Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan iru terjadi”.

Dalam Pasal ini terkandung asas legalitas yang berhubungan dengan waktu dilakukannya perbuatan (kejahatan). Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang.

[19] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan…, hlm. 12-13.

[20] Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional…, hlm. 120.

[21] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 162.

[22] Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional…, hlm. 105.

[23] Romli Atmasasmita, “Pengaruh Konvensi Internasional terhadap Perkembvangan Asas-asas Hukum Pidana Nasional.”  Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-asas Hukum Pidana Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 26-27 April 2004, hlm. 6.

[24] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana…., hlm. 193.

[25] Mustafa Djuang Harahap, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan hukum Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 125.

[26] Ibid., hlm. 115

[27] C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum…., hlm. 278.

[28] Pasal 95 KUHP. Tentang pemberian surat laut dan pas kapal diatur oleh Ordonansi Surat Laut dan Kapal dalam L.N. tahun 1935. ketetapan surat laut dan pas kapal dalam L.N. tahun 1934 No. 78, diubah dalam L.N. 1937 No. 629. jo. L.N. 1935. No. 565. Lih. R. Sugandhi, KUHP dan penjelasannya…., hlm. 112-113.

[29] Pasal ini merupakan perubahan dan penambahan pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan yang tercantum dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1976 Pasal II ke-1.

[30] J. E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, alih bahasa Tim Penerjemah Bina Aksara (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 145.

[31] E. Utrecht, Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm. 241.

[32] Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor….Tahun….Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 11 ayat (1).

[33] R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya…., hlm. 11.

[34] E. Utrecht, Hukum Pidana I…., hlm. 249.

[35] Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 14.

[36] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I…., hlm. 167.

[37] Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik…., hlm. 46.

[38] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I…., hlm. 165-166.

[39] I Wayan Parthiana,  Hukum Pidana Internasional…., hlm. 14.

[40] Romli Atmasasmita, Pengaruh Konvensi Internasional terhadap…., hlm. 5-6.

[41] Pengkhususan kejahatan serta dianggapnya perbuatan yang dilakukan sebagai kejahatan di negara asing guna menghindarkan pelanggaran terhadap kedaulatan negara tersebut terhadap satu tindak pidana. Lihat misalnya Satochid Kartanegara, Hukum Pidana…., hlm. 196.

[42] E. Utrecht, Hukum Pidana I…., hlm. 144.

[43] R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya,…, hlm. 10.

[44] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I…, hlm. 160.

[45] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional…, hlm. 14.

[46] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I…, hlm. 157.

[47] Mengenai wewenang untuk menghukum pelaku pada dasarnya diserahkan kepada negara tempat dilakukannya perbuatan. Bila seorang warga negara asing melakukan penipuan terhadap seorang warga Indonesia maka negara asing dipercaya untuk menuntut maupun memidana warganya yang melakukan kejahatan sebagaimana negara Indonesia akan melindungi hak individual orang asing yang menjadi korban penipuan oleh warga Indonesia di Indonesia. Lihat ibid.

[48] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional….,hlm. 303.

[49] Kejahatan yang dimaksud dalam Pasal 4 Ke-1ini merupakan kejahatan terhadap keamanan negara (Buku Kedua Bab I KUHP) serta kejahatan terhadap martabat Presiden atau Wakil Presiden (Buku Kedua Bab II KUHP).

[50] R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya…., hlm. 10-11.

[51] Ibid., hlm. 11.

[52] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1989), hlm. 53.

[53] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional…., hlm. 16.

[54] Ibid.

[55] Romli Atmasasmita, “Pengaruh Konvensi Internasional terhadap…., hlm. 6-7.

[56] Ibid., hlm. 7.

[57] Ibid., hlm. 11.

[58] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I…., hlm. 160-161.

[59] Selain sebagai penambahan pasal dalam KUHP yang bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, undang-undang ini juga sebagai penambah Bab baru setelah Bab XXIX KUHP dengan XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/prasarana Penerbangan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/prasarana Penerbangan.

[60] Djoko Prakoso, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia,  1984), hlm. 55.

Asas-asas yang Membatasi Berlakunya Ketentuan Hukum Menurut Tempat Dalam Pidana Positif Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Kang Hikam

0 komentar:

Post a Comment