Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik
yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga
bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari
hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lain-lain.
Di
Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak
membayar yang salah dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana
mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang
melanggar perintah perkawinan yang eksogami.
Kalau
di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal
hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya.
Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk
asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap
kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi
pelaku kawin sumban Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang
bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan
pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat
pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang.
Di
Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan
dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses
dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau
ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati.
Di
Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan,
pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga
mati. Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga
darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan.
Di
pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar
atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di lampung
terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan,
delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara
mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain. Dengan melihat
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal
pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Jadi bukan bangsa Belanda
dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu pada bangsa Indonesia.
Ancaman
pidana mati juga dikenal dalam hukum Islam yang dikenal dengan nama Qishash.
Pandangan Islam terhadap pidana mati tercantum dalam Surat Al Baqarah
ayat
178 dan 179, yang terjemahannya sebagai berikut.
Ayat 178: "Hai orang- orang yang beriman, diwajibkan atasmu
Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan wanita. Maka barang
siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar diyah kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan
Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar
sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih."
Ayat 179 : “ Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan
hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa".
Qishash
dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri
seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus
dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang
terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyah.
Diyah adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang
ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh
dari hukuman Qishash.
0 komentar:
Post a Comment