Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Ada tiga bentuk sanksi pidana pembunuhan sengaja menurut hukum pidana islam, yaitu pertama, sanksi asli (pokok), berupa hukuman qisas, kedua, sanksi pengganti, berupa diyat dan ta’zir, dan ketiga, sanksi penyerta/tambahan, berupa terhalang memperoleh waris dan wasiat.[1]
a. Sanksi Asli/Pokok
Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah dinaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Bahkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus diqisas (tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua belah pihak. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa di samping qisas, pelaku pembunuhan juga wajib membayar kifarah.[2]
Qisas diakui keberadaannya oleh al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ ulama, demikian pula akal memandang bahwa disyari’atkannya qisas adalah demi keadilan dan kemaslahatan.[3] Hal ini ditegaskan al-Qur’an dalam sebuah ayat;
Ada tiga bentuk sanksi pidana pembunuhan sengaja menurut hukum pidana islam, yaitu pertama, sanksi asli (pokok), berupa hukuman qisas, kedua, sanksi pengganti, berupa diyat dan ta’zir, dan ketiga, sanksi penyerta/tambahan, berupa terhalang memperoleh waris dan wasiat.[1]
a. Sanksi Asli/Pokok
Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah dinaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Bahkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus diqisas (tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua belah pihak. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa di samping qisas, pelaku pembunuhan juga wajib membayar kifarah.[2]
Qisas diakui keberadaannya oleh al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ ulama, demikian pula akal memandang bahwa disyari’atkannya qisas adalah demi keadilan dan kemaslahatan.[3] Hal ini ditegaskan al-Qur’an dalam sebuah ayat;
ولكم فى القصاص حيوة يآاولى الأ لباب لعلكم تتقون[4]
Adapun beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakan qisas[5], yaitu :
a. Syarat-syarat bagi pembunuh
Ada 3 syarat, yaitu :
1. pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal), maka tidaklah diqisas apabila pelakunya adalah anak kecil atau orang gila, karena perbuatannya tidak dikenai taklif.[6] Begitu juga dengan orang yang tidur/ayan, karena mereka tidak punya niat atau maksud yang sah.
2. Bahwa pembunuh menyengaja perbuatannya.
Dalam al-Hadis disebutkan,
من قتل عمدا فهو قود [7]
3. Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak diqisas, tetapi menurut Jumhur tetap diqisas walaupun dipaksa.
b. Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban)
Juga ada 3, yaitu :
1. Korban adalah orang yang dilindungi darahnya.[8] Adapun orang yang dipandang tidak dilindungi darahnya adalah kafir harbi, murtad, pezina muhsan, penganut zindiq dan pemberontak; jika orang muslim atau zimmy membunuh mereka, maka hukum qisas tidak berlaku.
2. Bahwa korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada hubungan bapak dan anak), tidak diqisas ayah/ibu, kakek/nenek yang membunuh anak/cucunya sampai derajat ke bawah, berdasarkan pada hadis;
لا يقاد الوالد بالوالد[9]
Juga hadis;
انت ومالك لأبيك[10]
3. Adalah korban derajatnya sama dengan pembunuh dalam islam dan kemerdekaanya, pernyataan ini dikemukakan oleh Jumhur (selain Hanafiyah). Dengan ketentuan ini, maka tidak diqisas seorang islam yang membunuh orang kafir, orang merdeka yang membunuh budak.
c. Syarat-syarat bagi perbuatannya
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qisas, tindak pidana pembunuhan yang dimaksud harus tindak pidana langsung, bukan karena sebab tertentu. Jika tidak langsung maka hanya dikenakan hukuman membayar diyat. Sedangkan Jumhur tidak mensyaratkan itu, baik pembunuhan langsung atau karena sebab, pelakunya wajib dikenai qisas, karena keduanya berakibat sama.[11]
d. Syarat-syarat bagi wali korban
Menurut Hanafiyah, wali korban yang berhak untuk mengqisas haruslah orang yang diketahui identitasnya. Jika tidak, maka tidak wajib diqisas. Karena tujuan dari diwajibkannya qisas adalah pengukuhan dari pemenuhan hak. Sedangkan pembunuhan hak dari orang yang tidak diketahui identitasnya akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.
Qisas wajib dikenakan bagi setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh wali korban. Para ulama mazhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah qisas.[12] Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
يآايهاالذين آمنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفى له من أخيه شئ فاتباع بالمعروف وأدآء اليه باحسان...[13]
Dan sabda Rasul;
من قتل عمدا فهو قود[14]
Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan tidak hanya qisas, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu; mereka menghendaki qisas, maka dilaksanakan hukum qisas, tapi jika menginginkan diyat, maka wajiblah pelaku membayar diyat.
Dasar hukum yang digunakan adalah sebuah hadis Rasul;
من قتل له قتيل فهو بخير النظرين إما يودي و إما يقاد[15]
Dan firman Allah swt.
فمن عفى له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف...[16]
Hukum qisas menjadi gugur dengan sebab-sebab sebagai berikut[17]:
a. Matinya pelaku kejahatan
Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam. Kalau orang yang akan menjalani qisas telah mati terlebih dahulu, maka gugurlah qisas atasnya, karena jiwa pelakulah yang menjadi sasarannya. Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diyat yang diambil dari harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali korban si terbunuh. Pendapat ini mazhab Imam Ahmad serta salah satu pendapat Imam asy-Syafi’i. Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafiyah tidak wajib diyat, sebab hak dari mereka (para wali) adalah jiwa, sedangkan hak tersebut telah tiada. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para wali menuntut diyat dari harta peninggalan si pembunuh yang kini telah menjadi milik para ahli warisnya.
b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz.
c. Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara pembunuh dengan wali korban.[18]
d. Adanya penuntutan qisas
b. Sanksi Pengganti
1) Diyat
Diyat menurut istilah syara’ adalah;
المال الواجب بالجناية على النفس او ما فى حكمها [19]
Dengan definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang. Sedangkan diyat untuk anggota badan disebut ‘Irsy.
Dalil disyari’atkannya diyat adalah,
وماكان لمؤمن ان يقتل مؤمنا الاخطأ, ومن قتل مؤمناخطأ فتحريررقبة مؤمنة ودية مسلمة الى أهله إلا أن يصدقوا...[20]
Dan hadis Rasul yang berbunyi,
من قتل له قتيل فهوبخير النظرين : إما يودى وإما يقاد[21]
Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tapi jika unta sulit ditemukan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan unta.
Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah 100 ekor unta bagi pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2.000 ekor domba bagi pemilik domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak dan 200 setel pakaian untuk pemilik pakaian.[22]
Hal ini sesuai dengan khabar dari Umar;
أن عمر قام خطيبا فقال : الا إن الإبل قد غلد. قال : فرضها عمر رضي الله عنه على أهل الذهب ألف دينار وعلى أهل الورق إثني عشر ألفا وعلى أهل البقر مأتي بقرة وعلى أهل الشاة ألفى شاة وعلى أهل الحلل مأتي حلل.[23]
Sedangkan diyat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu diyat mugallazah dan diyat mukhaffafah. Adapun diyat mugallazah menurut jumhur dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja dan menyerupai pembunuhan sengaja. Sedangkan menurut Malikiyah, dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja apabila waliyuddam menerimanya dan kepada bapak yang membunuh anaknya.[24]
Jumlah diyat mugallazah adalah 100 ekor unta yang 40 diantaranya sedang mengandung. Ini berdasarkan hadis;
أن رسو ل الله عليه و سلم قال : من قتل مؤمنا متعمدا دفع إلى أولياءالمقتول : فإن شاؤوا قتلوا, وإن شاؤوا أخذ الدية وهى : ثلا ثون حقة, وثلاثون جذعة, وأربعون خلفة, وما صلحوا عليه فهو لهم, وذلك لتشديد العقل[25]
Jadi apabila dirinci dari 100 ekor unta tersebut adalah sebagai berikut :
a. 30 ekor unta hiqqah (unta berumur 4 tahun)
b. 30 ekor unta jad’ah (unta berumur 5 tahun)
c. 40 ekor unta khalifah (unta yang sedang mengandung)
Adapun diyat mukhaffafah itu dibebankan kepada ‘aqilah pelaku pembunuhan kesalahan dan dibayarkan dengan diangsur selama kurun waktu tiga tahun, dengan jumlah diyat 100 ekor unta, yaitu :
a. 20 ekor unta bintu ma’khad (unta betina berumur 2 tahun)
b. 20 ekor unta ibnu ma’khad (unta jantan berumur 2 tahun)
c. 20 ekor bintu labin (unta betina berumur 3 tahun)
d. 20 ekor unta hiqqah dan,
e. 20 ekor unta jad’ah.
Hal ini berdasar pada,
أنه قال : فى الخطإ عشرون جذعة, وعشرون حقة, وعشرون بنت لبون, وعشرون ابن لبون, وعشرون بنت مخاض[26]
Jadi diyat pembunuhan sengaja adalah diyat mugallazah yang dikhususkan pembayarannya oleh pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan diyat pembunuhan syibh ‘amd adalah diyat yang pembayarannya tidak hanya pada pelaku, tetapi juga kepada ‘aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan dibayarkan secara berangsur-angsur selama tiga tahun.
Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam. Jumhur ulama berpendapat bahwa diyat pembunuhan sengaja harus dibayar kontan dengan hartanya karena diyat merupakan pengganti qisas. Jika qisas dilakukan sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal ‘amid[27] pantas dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya ‘amid membayar diyat dengan hartanya sendiri bukan dari ‘aqilah, karena keringanan (pemberian tempo) itu hanya berlaku bagi ‘aqilah.[28]
Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada para pembunuh dengan hartanya sendiri. ‘Aqilah tidak menanggungnya karena setiap manusia dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain.
Hal ini berdasarkan firman Allah swt.
...كلّ امرئ بما كسب رهين[29]
2) Ta’zir
Hukuman ini dijatuhkan apabila korban mamaafkan pembunuh secara mutlak. Artinya seorang hakim dalam pengadilan berhak untuk memutuskan pemberian sanksi bagi terdakwa untuk kemaslahatan. Karena qisas itu di samping haknya korban, ia juga merupakan haknya Allah, hak masyarakat secara umum. Adapun bentuk ta’zirannya sesuai dengan kebijaksananaan hakim.[30]
c. Sanksi Penyerta/Tambahan
Sanksi ini berupa terhalangnya para pembunuh untuk mendapatkan waris dan wasiat. Ketetapan ini dimaksudkan untuk sadd az-zara’i; agar seseorang tidak tamak terhadap harta pewaris sehingga menyegarakannya dengan cara membunuh, selain itu ada juga hukuman lain yaitu membayar kifarah, sebagai pertanda bahwa ia telah bertaubat kepada Allah. Kifarah tersebut berupa memerdekakan seorang hamba sahaya yang mu’min. Kalau tidak bisa, maka diwajibkan puasa selama dua bulan berturut-turut. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah swt.,
...فدية مسلّمة الىاهله وتحرير رقبة مؤمنة, فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين...[31]
Serta sabda Rasul;
لا يرث القاتل شيئا[32]
Serta sesuai dengan kaedah ushul;
من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه[33]
Sedangkan mengenai pembunuhan janin, dijelaskan bahwa apabila ada janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja atau kesalahan dan ibunya tidak ikut mati, maka diwajibkan hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di dalam kandungan serta baik janin itu laki-laki atau perempuan.Gurrah dalam hal hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham, atau sebanyak seratus kambing.Dan juga dikatakan besarnya adalah lima puluh unta.
Dasar dari pemberian hukuman gurrah tersebut adalah hadis:
اقتتلت امرأتان من هذيل , فرمت إحداهما الأخرى بحجر فقتلتها وما فى بطنها, فاختصموا إلى رسول الله صلى الله عليه السلام, فقضى أن دية جنينها غرة عبد او وليدة, وقضى بدية المرأة على عاقلتها[34]
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah[35] mengambil dalil dari hadis Rasul:
أن النبى صلى الله عليه السلام قال : فى الجنين غرة, عبد أو أمة, قيمته خمسمائة[36]
Apabila janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka sanksinya adalah membayar diyat utuh, apabila janin itu laki-laki maka jumlah diyatnya adalah seratus ekor unta. Apabila janin itu perempuan, diyatnya sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan janin itu mati atau hidup bisa diketahui dengan ada tidaknya nafas, tangis, batuk, gerakan atau yang lainnya.
Imam Syafi’i mensyaratkan dalam hal janin yang mati di dalam kandungan ibunya, yaitu diketahui bahwa benar-benar sudah terbentuk mahluk hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, beliau menjelaskan dengan pertanda adanya gambaran bentuk manusia yaitu adanya tangan dan jari-jari. Dan apabila hal itu tidak ada, maka menurut beliau tidak ada tanggungan apa-apa baik itu berupa gurrah ataupun diyat.
Sedangkan apabila seorang ibu mati karena penganiayaan dan janin keluar dalam keadaan hidup kemudian setelah itu mati, maka wajib dalam hal tersebut dua diyat, yaitu diyat atas si ibu dan diyat atas si janin, karena matinya si ibu merupakan salah satu sebab dari matinya janin.[37]
Para ulama sepakat bahwa dalam hal janin yang mati setelah keluar dari kandungan, selain diwajibkan diyat juga diwajibkan kifarah. Sedangkan mengenai janin yang mati di dalam kandungan ibunya masih dipertanyakan, namun as-Syafi’i dan lainnya berpendapat tetap diwajibkan kifarah, karena menurutnya kifarah diwajibkan dalam perbuatan sengaja maupun karena kesalahan.[38]
[1] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 261.
[2] Ibid.
[3] Ibid., VI : 264
[4] Al-Baqarah (2) : 179.
[5] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 297.
[6] Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-Syairazi, Al-Muhazzab, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II : 173.
[7] Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qatala fi ‘Immiya’ Baina Qoumin, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1998 ), IV : 183. Hadis Nomor 4539. Riwayat Sufyan dari Amr dari Tawus.
[8] Ibn Qudamah, Al-Mugni., VI : 648.
[9]At-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi, Kitab ad-Diyah 'an Rasulillah, Bab Ma Jaa fi ar-Rajuli Yuqtalu Ibnahu Yuqada am la, IV : 12. Hadis Nomor 1400. Riwayat Ibn Syu'aib dari Bapaknya dari Kakeknya dari Umar ibn Khatab.
[10]Sunan Ibn Majah, Sunan., Kitab at-Tijarah, Bab Mali ar-Rajul min Mali Waladih, II : 769. Hadis Nomor 2291, Riwayat Jabir ibn Abdullah.
[11]Abdul Qodir ‘Audah, at-Tasyri’., II : 132.
[12] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., IV: 276.
[13] Al-Baqarah (2) : 178.
[14] Abu Dawud, Sunan., IV : 183.
[15]Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini (Beirut: Dar al-Fikr, 1981) IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
[16] Al-Baqarah (2) : 178.
[17]Abdul Qodir ‘Audah, At-Tasyri’., I : 777-778 dan II : 155-169. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 294.
[18]Perbedaannya dengan al-‘Afwu (pengampunan) adalah kalau sulh itu pengguguran qisas dengan ganti rugi (kompensasi), sedang al-‘Afwu terkadang pengampunan qisas secara mutlak.
[19]Abdul Qodir ‘Audah, At-Tasyri’., I : 298.
[20] An-Nisa )4) : 92
[21]Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini, IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
[22]As-Sayyid Sabiq, Fiqh., II : 552-553.
[23] Al-Baihaqi, As-Sunnah al-Kubra, Kitab ad-Diyah, Bab A’waz al-Ibil, ( Beirut: Dari al-Fikr, t.t. ), VIII : 77. Hadis riwayat ‘Amr ibn Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya.
[24] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 304.
[25] Mustafa Raib al-Baga, at-Tazhib, cet. ke-1 (Surabaya: Bungkul Indah, 1978), hlm. 192. lihat juga ِAt-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi.
[26] Ibid., hlm. 196.
[27]Yaitu orang yang melakukan pembunuhan sengaja
[28] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 307.
[29] At-Tur (52) : 21.
[30] Wahbah az-zuhaili, Al-Fiqh., VI : 291-292 dan 312-313.
[31] An-Nisa (4) : 92.
[32]Abu Dawud, Sunan., Kitab ad-Diyah, Bab Diyah al‘Ala, VI : 190. Hadis riwayat ibn Musa dari ‘Amr ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.
[33]Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nazair, (Beirut: Dari al-Fikr, t.t. ), hlm. 103.
[34] Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-Taqrib (Surabaya: Bungkul Indah, 1978), hlm. 193. Lihat juga Sahih Bukhari, Hadis Nomor 6512.
[35]Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), V : 372.
[36]Ibid.
[37] Ibid., V : 373.
[38] Ibid.
Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
0 komentar:
Post a Comment