Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Adapun kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti jamak atau banyak, adapun pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi.[1] Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Baik kemajemukan dalam unsur budaya maupun keragaman manusia dengan segala aspeknya.
Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai macam keunikan mulai dari: warna kulit, jenis kelamin, bahasa, suku, dan postur tubuh serta keragaman agama dan budaya yang berbeda dari manusia satu dengan lainnya. Hal ini merupakan kehendak-Nya yang bersifat kodrati dan hukum Allah: sunnatullah ini mencerminkan kekuasaan dan keagungan Tuhan yang layak disembah.
Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai macam keunikan mulai dari: warna kulit, jenis kelamin, bahasa, suku, dan postur tubuh serta keragaman agama dan budaya yang berbeda dari manusia satu dengan lainnya. Hal ini merupakan kehendak-Nya yang bersifat kodrati dan hukum Allah: sunnatullah ini mencerminkan kekuasaan dan keagungan Tuhan yang layak disembah.
ومن ايته خلق السموات والارض واختلا ف السنتكم والوانكم ان في ذلك لأيت للعلمين.
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. ar-Rum 22)[2]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Kemajemukan memang murni kekuasaan Allah SWT bukan berarti Ia tidak mampu menciptkan ummat yang satu. Kenapa Allah tidak menghendaki demikian? Karena dengan ini manusia akan diuji kesalehannya, untuk dapat menghormati dan menghargai antar person ciptaan-Nya dan berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Kalau memang keragaman merupakan sunatullah maka tidak ada sikap lain bagi muslim terhadap pluralitas itu kecuali menerima sepenuhnya.
...ولوشاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم في ما اتكم فالستبقواالخيرت...
Artinya: “…Sekiranya Allah mengendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan….” (Q.S. al-Maidah 48)[3]
Dalam hubungannya dengan pluralitas, Islam menetapkan prinsip untuk saling menghormati dan untuk saling mengenal serta saling mengakui eksistensi kelompok lain, seperti yang ditegaskan al-Qur’an:
يأيهاالناس اناخلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا قل ان اكرمكم عندالله اتقكم قل ان الله عليم خبير
Artinya: “Wahai manusia, sesunguhnya telah kami jadikan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal.” (Q.S. al-Hujurat 13)[4]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Bahkan, pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamat umat manusia di muka bumi dan merupakan wujud kemurahan Allah yang melimpah kepada manusia. Allah menciptkan umat yang majemuk karena di situ terletak kekuatan penyeimbang dan mekanisme pengawasan antara sesama manusia. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah berikut ini:
...ولولادفع الله الناس بعضهم ببعض لفسدت الأرض ولكن الله ذوفضل على العلمين
Artinya: “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (Q.S. al Baqoroh 251)[5]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Dengan demikian penghormatan atas pluralitas adalah suatu keharusan. Secara tegas Islam menolak dan melarang manusia merendahkan golongan lain dan menganjurkan untuk bersifat khusnudzan (berbaik sangka), dengan kata lain umat satu dapat melihat secara obyektif kelemahan diri sendiri dan dapat mengambil pelajaran positif dari orang lain. Hal tersebut diikuti dengan mengindari perbuatan shu’udzan (berburuk sangka), karena perbuatan ini dapat menyebabkan kurangnya melihat kelemahan yang ada padanya. Allah telah menunjukkan hal di atas dalam al Qur’an:
يأيهاالذين امنوالايسخرقوم من قوم عسى ان يكونوا خيرا منهم ولانساء من نساء عسى ان يكن خيرا منهن ولاتلمزوا انفسكم ولاتنابزوا بالألقابقلبئس الإسم الفسوق بعد الإيمان ومن لم يتب فأولئك هم الظلمون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah sekumpulan laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan lebih baik dari mereka dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan perempuan yang lain, boleh jadi yang direndahkan lebih baik dari mereka dan janganlah kamu suka menjela bangsamu dan janganlah memangil dengan gelar ejekan. Jahat sesudah beriman itulah nama yang amat buruk. Siapa yang tidak kembali itulah orang-orang yang bersalah” (Q.S. al Hujurat 11)[6]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Selain manusia diharuskan untuk menghormati dan mengenal kelompok manusia yang berbeda agama, ada sisi penting yang seyogyanya terus dilakukan oleh umat manusia yaitu untuk melakukan musyawarah dan kerjasama guna membangun peradaban di muka bumi ini. Penghormatan atas kemajemukan telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam usahanya melakukan konsolidasi dengan masyarakat madinah yang kemudian disebut: perjanjian madinah atau piagam madinah[7]. Nabi mampu menyatukan masyarakat madinah yang multi agama dan multi etnik. Nabi menjumpai tiga komunitas agama: Muslimin, Yahudi, dan Musyrikin. Pertama, Muslimin terdiri dari Muhajirin dan Anshar; Muhajirin terdiri dari bani Hasyim dan bani Muthalib, sementara anshar terdiri dari suku Aus dan Khajraj. Kedua, golongan Yahudi terdiri dari banu Qaynuqa, banu Nadhir, dan banu Qurayzah. Ketiga yaitu kaum Musyrikin yang menyembah berhala (paganisme).[8]
Untuk memelihara keamanan, keselamatan dan hidup damai maka harus ada undang-undang yang disepakati bersama. Hal ini diwujudkan Rasul dalam piagam madinah. Piagam ini merupakan bukti autentik bahwa Islam mendukung dan memerintahkan umatnya melakukan kerjasama dengan kelompok lain meskipun berbeda agama dan keyakinan. Sifat inklusif ini terus digalang oleh rasulullah. Kuntowijoyo berpandangan bahwa Islam mengakui adanya diferensiasi dan bahkan polarisasi sosial. Al-Qur’an menggariskan bahwa fenomena ketidaksamaan sosial tersebut sebagai sunnatullah, sebagai hukum alam dan realitas empiris yang ditakdirkan terhadap dunia manusia.[9]
Dengan demikian pluralitas masyarakat baik mengenai sifat manusia maupun kemajemukan budaya sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam tidak terkecuali pluralitas masyarkat Indonesia. Kemajemukan suatu masyarakat atau bangsa haruslah tetap dipelihara dan dijaga bersama demi tegaknya keadilan dan keamanan hidup manusia yang berbangsa dan bernegara.
Ada pendapat yang perlu dicermati dan diperhatikan dalam menanggapi perbedaan yaitu pendapat Fuad Jabali. Ia mengatakan bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya hanya diketahui Allah SWT. Sedangkan menurut pandangan Jabali ajaran Islam yang dibawakan nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya telah mengalami reduksi.[10] Reduksi pertama telah terjadi pada nabi, karena iapun manusia biasa yang tidak dapat menyamai kesempurnaan Allah. Karena itu kehendak Allah tentu tidak semuanya dapat diterima oleh nabi. Kemudian ketika ajaran Islam dari nabi disampaikan dan diamalkan oleh generasi berikutnya (para imam madzab), maka tentu apa yang diamalkan dan dikehendaki oleh nabi berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para imam madzab tersebut, karena mereka harus memahami ajaran Islam dari dua sumber yaitu al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian ajaran Islam mengalami reduksi untuk yang kedua kalinya.
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Proses reduksi ini akan terus-menerus terjadi dari generasi ke generasi. Oleh karena itu perlu diketahui bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya adalah ajaran yang belum mengalami reduksi (Islam yang ideal: hanya diketahui dan dikehendaki Allah). Ini yang harus ditangkap oleh umat Islam. Berbagai tafsir al-Qur’an dan Imam Madzab ditulis dalam rangka memahami kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Kesempurnaan ajaran Allah tentu tidak dapat seluruhnya ditangkap oleh manusia karena pada hakikatnya kesempurnaan milik Allah. Di sinilah letak esensi dari keberagamaan dan keragaman umat yakni ada pencarian terus-menerus (on going quest), dan proses menjadi tanpa batas (timeless process of becoming). Pemahaman dan penafsiran yang berbeda harus disikapi dengan rasa penghormatan dan dihargai sebagai rahmat Allah.
Merespon pluralisme dalam kehidupan bermasyarkat prof. Dr. H. A. Mukti Ali lebih cenderung berpedoman pada cara agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), dalam cara pandang ini seseorang berasumsi dan percaya agama yang dipeluk adalah agama yang paling baik dan benar di antara yang lainnya, selain terdapat perbedaan juga ada persamaan.[11] Berbeda dengan Amin Abdullah bahwa sikap agree in disagreement tidak cocok untuk level kehidupan sosial, karena konsep ini masih tampak menonjolkan pendekatan teologi dan kalam, lantaran disagreementnya masih sempat ditonjolkan, sedang agreenya bisa saja sempat tertindih oleh disagreement.[12] Dan ia lebih cocok dengan pola kontrak sosial dalam menyikapi pluralitas masyarakat, hal ini dikarenakan bahwa manusia harus menjalin hubungan kerjasama dengan manusia lain dalam membangun dan memecahkan masalah bersama. Dengan demikian dalam kontak sosial ada kecenderungan menerima dengan tulus atas perbedaan itu dibaregi dengan dialog untuk mengambil nilai lebih. Bukan berarti untuk menafikkan hakikat kebenaran yang diyakini.
[1] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Ar Kolah, 1994), hlm. 604
[2] Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: CV. Al-Waah, 1989), hlm. 644
[3] Ibid., hlm. 168
[4] Ibid., hlm. 847
[5] Ibid., hlm. 62
[6] Ibid., hlm. 847
[7] Piagam Madinah menunjukkan bukti bahwa nabi konsisten dalam menjunjung nilai-nilai demokrasi. Perlindungan terhadap warga masyarakat menjadi perhatian bagi nabi termasuk kebebasan memeluk agama dan beribadah. Sikap toleransi terhadap agama lain mewarnai perkembangan Islam saat itu.
[8] Ayang Utriza Nway, “Demokrasi dalam Konteks Piagam Madinah Arkeologi Demokrasi dalam Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 16 Tahun 2004, hlm.100
[9] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 299.
[10] Muqowim, “Shifting Paradigm Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural”, Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 352
[11] M. Jadra, “Pluralisme Baru dan Cinta Kebangsaan”, Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru…, hlm 289
[12] Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidie, 2001), hlm. 255
0 komentar:
Post a Comment