Blog Berisi Seputar Artikel Terbaru | Aplikasi | Tutorial Komputer | Blogging | Info Penting

Paul Karl Feyerabend dalam Wacana Filsafat Ilmu Pengetahuan

 Paul Karl Feyerabend dalam Wacana Filsafat Ilmu Pengetahuan

Dalam menempatkan konteks pemikiran Feyerabend, penulis membatasi diri mulai dari tahun 1920-an sampai Feyerabend muncul di panggung filsafat. Semenjak tahun 1920, panggung filsafat ilmu pengetahuan dikuasai oleh aliran Positivisme Logis. Kelompok ini berusaha memperbaharui positivisme abad ke-19 yang telah dirintis oleh tokoh positivisme klasik August Comte (1798-1857) dan para pengikutnya yang dinilai diwarnai pemikiran yang bersifat dogmatis dan indoktrinasi ideologi yang mengarah kepada absolutisme.[1]

Paul Karl Feyerabend. Filsafat Comte adalah anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang gejala-gejala (fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat kenyataan yang tidak mempunyai arti faktual sama sekali. Sebab bagi Comte, hanya ada satu hal yang penting, yaitu savoir pour prévoir, “mengetahui supaya siap untuk bertindak”, “mengetahui agar manusia dapat memperkirakan apa yang akan terjadi”. Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual tersebut sehingga ia dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Hubungan-hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan konsep-konsep atau hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran manusia. Tetapi lawan dari filsafat positivisme ini bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan filsafat spekulatif atau obyek metafisik.[2]

Positivisme klasik merumuskan hukum-hukum positif itu sebagai berikut: “Setiap perkembangan pemikiran rohani dan ilmu pengetahuan manusia secara berturut-turut melewati tiga tahap (stadia) yang berbeda, yakni tahap teologis yang berdasarkan fantasi, tahap metafisis yang abstrak dan tahap positif-ilmiah”. Tahap teologis, merupakan tahap dimana manusia percaya akan kemungkinan adanya kekuatan adikodrati yang mutlak.

Dalam tahap teologis ini terdapat tiga tahap lagi: animisme, politeisme dan monoteisme. Berdasarkan kepercayaan animistis ini, manusia beranggapan bahwa benda-benda itu merupakan sesuatu yang bergerak. Banyak benda disebut suci dan sakti yang biasa diidentikkan dengan dewa-dewa, seperti dewa api, dewa lautan, dewa angin, dewa panen, dan sebagainya, diatur dalam suatu sistem sehingga menjadi paham politeisme dengan berbagai macam spesialisasinya. Selanjutnya, semua gejala tersebut dikembalikan pada satu sumber kekuatan tunggal, yakni satu keilahian yang pada akhirnya melahirkan pemikiran tentang monoteisme.[3]

Kemudian dalam tahap metafisis, alam pikiran manusia secara simbolis beralih kepada kekuatan-kekuatan kosmis yang abstrak. Pada tahap positif-ilmiah, manusia mulai sadar dan mengetahui bahwa upaya teologis dan metafisis itu tidak ada gunanya. Dari sini kemudian manusia berusaha mencari hukum-hukum alam dengan memakai kemampuan akal budi yang dimilikinya.[4]

Di lain pihak, kaum Positivisme Logis itu sendiri menolak filsafat yang tidak menghiraukan kenyataan dan susunan serta hasil ilmu pengetahuan empiris. Mereka menganggap bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang telah diatur dan dirumuskan dalam kaidah-kaidah ilmu alam dan diperoleh dari pengamatan inderawi serta dapat diperiksa secara empiris.

Aliran Positivisme Logis membagi pengetahuan hanya terbatas kepada ilmu matematika (ilmu pasti) dan ilmu-ilmu lain yang diperoleh dari gejala-gejala yang dapat diamati oleh indera. Pengetahuan semacam ini yang disebutnya sebagai pengetahuan positif, artinya dapat dinyatakan atau dibuktikan (verifiable-positive knowledge). Seperti halnya dengan Bacon yang mendeskripsikan semua pengetahuan atas dasar pengalaman dan pengamatan inderawi, kalangan Positivisme Logis menolak persoalan sebab-sebab terakhir (final causes) yang menjadi pokok perdebatan filsafat klasik, terutama mengenai sebab pertama (first cause), sehingga mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan pun sama sekali mereka tolak.[5] Kiranya pandangan Positivisme Logis ini mempunyai dasar-dasar persamaan ontologis dengan aliran Naturalisme yang juga menentang segala bentuk pikiran yang menyatakan adanya suatu dunia yang bersifat adialami atau transendental.[6]

Bagi aliran ini, persoalan-persoalan ilmiah harus dipecahkan secara lebih tepat dan sistematis dengan menggunakan teknik-teknik logika matematika, sebab mereka menganggap bahwa ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Ilmu pengetahuan sendiri dirumuskan dan diuraikan sebagai kalkulasi aksiomatis, yang memberikan perangkat-perangkat hukum pada interpretasi terhadap observasi yang terbatas.[7]

Positivisme Logis bertitik tolak dari data empiris dan tetap setia pada sifatnya yang empiristis dengan menganggap hukum-hukum logis sebagai hubungan antara istilah-istilah, hasil pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan dasar dalam suatu ilmu yang bercorak empiris atau—dalam pengertian Rudolf Carnap—“kalimat protokol”. Ilmu formal sama sekali tidak menyinggung tentang bukti dan data empirik (kenyataan), tetapi hanya menampilkan jalinan hubungan antara lambang-lambang logiko-matematis yang membuka kemungkinan pemakaian data observasi yang telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).[8]

Sebagai sebuah aliran epistemologi, Positivisme Logis menganggap logika dan matematika mencakup sebuah sintaksis dan semantik umum sehingga struktur-struktur matematis dan logis untuk menjelaskan himpunan, transformasi maupun aspek-aspek terkecil dari logika hanya merupakan struktur-struktur linguistik.[9] Positivisme sebagai sebuah pandangan filsafat mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan hukum-hukum dapat dibuktikan dengan teknik observasi, eksperimen dan verifikasi.[10]

Menurut Positivisme Logis, hanya apa yang nampak jelas dan berguna saja yang secara prinsipil bisa diverifikasi melalui observasi dan eksperimentasi. Persoalan tentang nilai sebuah teori atau makna suatu penjelasan dianggapnya tidak berarti apa-apa karena tidak memberikan jawaban yang pasti dan terukur.[11]

Prinsip verifikasi sebagai sentral dalam doktrin Positivisme Logis menegaskan bahwa suatu ungkapan baru akan mempunyai makna manakala ia menunjuk pada pengalaman langsung dan konkrit. Dan bahasa figuratif atau kiasan juga hanya akan dianggap mempunyai akan makna apabila diterjemahkan ke dalam bahasa literal hurufiah. Positivisme Logis menggabungkan argumen epistemologis dengan argumen semantik, persis seperti dilakukan oleh Locke dan Hobbes yang melihat kerancuan dan kekaburan kategori itu terdapat dalam penggunaan kiasan metaforis bahasa. Mereka yakin pula bahwa filsafat hanya bisa maju jika menggunakan bahasa lugas literal murni. Imbasnya lantas timbul keyakinan umum yang semakin kuat bahwa dalam dunia kebahasaan manusia sebetulnya yang berperan besar adalah memang bahasa literal itu sendiri.[12]

Positivisme Logis menempatkan filsafat ilmu pengetahuan sebagai logika ilmu. Pandangan semacam itu menguasai dan diterima luas oleh para filsuf ilmu pengetahuan pada zaman itu. Penerimaan secara luas ini membuat pandangan semacam itu oleh Frederick Suppe disebut The Received View.[13] Sebagai tradisi intelektual yang berakar pada ilmu pengetahuan alam kodrati (natural sciences), pesatnya perkembangan kelompok yang lazim juga dinamakan empirisme neo-klasik ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena memang kesan baik yang diberikan oleh ilmu fisika sebagai disiplin ilmu yang prestisius dengan teknik-teknik penelitian yang impresif, di samping itu juga disebabkan oleh adanya orang-orang besar dan terhormat dalam bidang ilmu pengetahuan yang terdapat dalam kelompok ini seperti Albert Einstein.[14]

Berdasarkan kronologi sejarahnya, Positivisme Logis muncul pertama kali sebagai suatu logika bagi ilmu-ilmu fisika. Tahun 1895, Ernst March menjabat sebagai guru besar pertama filsafat ilmu-ilmu induksi di Universitas Wina, dan pada tahun 1922, posisi itu digantikan oleh Moritz Schlick, seorang murid dari Max Planck yang pada saat itu ia memusatkan karyanya pada filsafat fisika. Kemudian pada tahun 1929, kelompok ini menerbitkan sebuah manifesto yang berisi tentang tujuan perkumpulan itu dan memberinya nama: “A Scientific Conception of the World: The Vienna Circle” (Suatu Konsepsi Ilmiah Tentang Dunia: Lingkaran Wina).[15] Para anggota yang ikut bergabung dalam kelompok ini adalah para kaum positivis yang kebanyakan adalah ahli ilmu alam, matematikus dan filsuf berlatar belakang matematika.

Paul Karl Feyerabend dalam Wacana FilsafatIlmu Pengetahuan. Dalam tulisan Morton White disebutkan bahwa aliran Positivisme Logis ini telah dipelopori oleh Moritz Schlick yang kala itu menjabat sebagai guru besar Filsafat di Wina, dan resmi dibentuk pada tahun 1923 dengan sebutan The Vienna Circle. Secara khusus, Schlick dan Wittgenstein mengunjungi Amerika pada tahun 1929 untuk memperkenalkan aliran tersebut. Namun ketika Hitler berkuasa, mulailah aliran Positivisme Logis ini disebut-sebut sebagai gerakan pemikiran yang sangat berbahaya. Popkin & Stroll menambahkan pula bahwa para anggota Lingkaran Wina ini adalah Moritz Schlick, Hans Hahn, Friederich Waismann, Herbert Feigel, Otto Neurath dan Rudolf Carnap.[16]

Kelompok ini pernah mengadakan seminar atau studi kelompok dengan melakukan pembahasan pada tulisan Wittgenstein yang sangat teliti serta didasarkan pada pandangan bahwa filsafat bukanlah teori, melainkan suatu aktivitas. Mereka berpedoman pada pendapat bahwa filsafat tidak mungkin menghasilkan pernyataan, baik pernyataan yang salah maupun pernyataan yang benar. Filsafat hanya memberikan penjelasan mengenai pengertian suatu pernyataan; mengemukakannya secara ilmiah, matematik atau bahkan tidak mempunyai arti apapun.

Inti pandangan mereka terletak pada keyakinan bahwa setiap pernyataan mengikuti ketentuan logika formal dan bahwa pernyataan itu harus bersifat ilmiah. Positivisme Logis ini biasa disebut sebagai hasil karya Ludwig Josef Johann Wittgenstein (1889-1951), yaitu dalam buku berjudul Tractatus Logico-Philosophicus yang terbit pada tahun 1921, lalu berkembang ke seluruh dunia termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Dalam tulisan tersebut, Wittgenstein menyatakan bahwa filsafat bukanlah suatu teori, melainkan suatu aktivitas atau kegiatan. Wittgenstein pun yakin bahwa teka-teki dan kekacauan filsafati akan dapat diatasi oleh analisis bahasa.

Wittgenstein mensinyalir bahwa apabila suatu pernyataan dapat diajukan, maka pernyataan itu pun seyogianya dapat dijawab secara jelas dan tuntas. Tetapi kenyataannya, ternyata tidak semua pernyataan yang diajukan itu benar-benar bermakna. Maka agar supaya kita tidak terperangkap ke dalam persoalan-persoalan filsafati yang tidak berarti, yang bersumber dari pernyataan-pernyataan yang tidak bermakna itu, maka dalam pandangan Wittgenstein harus ditemukan peraturan-peraturan tentang permainan bahasa (language game) yang digunakan lewat ungkapan bahasa sehari-hari.

Berbeda dengan Ayer, bagi Wittgenstein, yang penting bukanlah mengatur bagaimana suatu ungkapan bahasa itu harus berarti atau bermakna, tetapi kita harus bisa menangkap apa arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa itu. Oleh karena itu, kita harus mengalisis bentuk-bentuk hidup (forms of life) sampai ke dasar terdalam dari setiap permainan bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa arti ditentukan oleh bagaimana suatu kata digunakan dalam konteksnya. Lewat analisis bahasa, seseorang akan dapat memperoleh kejelasan (clarify) arti bahasa sebagaimana yang diutarakan oleh orang yang menggunakan bahasa itu.[17]

Senada dengan Wittgenstein, Kuhn juga berpendirian bahwa pengetahuan sains seperti bahasa pada dasarnya adalah milik bersama suatu kelompok. Dan untuk memahaminya kita perlu mengetahui karakteristik-karakteristik khusus dari kelompok yang menciptakan dan menggunakannya.[18]

Apabila disimak secara seksama, seluruh ajaran filsafat Wittgenstein itu tidak lain hanya menawarkan suatu metode yang sering disebut sebagai metode analisis bahasa. Metode itu bersifat netral, tanpa pengandaian filsafati, epistemologis ataupun metafisik. Analisis bahasa secara logis tanpa mereduksikan sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya sekedar membuat lebih jelas tentang maksud yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa verbal. Metode analisis bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein ini disebut juga dengan metode klarifikasi.

Paul Karl Feyerabend dalam Wacana FilsafatIlmu Pengetahuan. Pandangan Positivisme Logis bahwa bahasa merupakan gambaran realitas inilah yang ditolak Feyerabend. Bagi Feyerabend, fakta-fakta itu sesungguhnnya tergantung pada teori yang menjadi mediasi dalam proses pemahaman. Sedangkan pengalaman dan pemahaman itu sendiri terjadi lewat bahasa. Oleh karena itu, bahasa selalu terbatas untuk mengungkapkan totalitas pengalaman. Pengalaman yang kita alami senantiasa sudah terefleksikan yang dinyatakan dalam bahasa. Jadi, distorsi itu tidak hanya terjadi pada waktu obyek atau peristiwa dipresepsikan. Interpretasi yang dilakukan setelah dipersepsi pun, sebagaimana diutarakan Feyerabend, juga dipengaruhi oleh pengalaman dan harapan-harapan dari orang yang berusaha menafsirkan struktur realitas itu.[19]

Disamping itu, Positivisme Logis ini juga biasa disebut sebagai Logika Empirisme dengan pelopornya yang sangat menonjol, yakni Rudolf Carnap. Ia merupakan seorang tokoh kelahiran Jerman, datang ke Wina pada tahun 1927 dan ikut secara aktif di Lingkaran Wina. Ia adalah seorang ahli yang terlatih dalam bidang fisika dan juga seorang logisian yang rajin bekerja keras. Para anggota aliran ini sendiri adalah bekas ilmuwan yang terjun ke dunia filsafat dan sebelumnya telah berhasil membentuk suatu kegiatan di Lingkaran Wina. Para ilmuwan yang terkenal itu diantaranya adalah Ludwig Boltzmann, Pierre Duhem, Helmholtz, Ernst March termasuk juga Einstein.[20]

Positivisme Logis sebenarnya merupakan perkawinan antara dua aliran, empirisme dan logika tradisional. Tetapi sebutan positivisme kemudian diralat menjadi empirisme, sebab menghilangkan sebutan “positivisme” seperti kata Morton White adalah berhubungan erat dengan kritik terhadap ajaran August Comte yang menggunakan istilah “positivisme” juga. Dalam perspektif Morton White, setidaknya terdapat dua kutub dalam aliran Positivisme Logis yang patut juga kiranya mendapat perhatian cermat dalam diskursus perdebatan filsafat ilmu pengetahuan kontemporer.

Yang pertama adalah pihak negatif, suatu golongan yang ekstrem, militan, penuh kritik tajam dan menganggap remeh pula pandangan-pandangan pendahulunya. Pihak kedua adalah kelompok positif yang bersikap mengagumi logika dan ilmu pengetahuan. Disisi lain mereka juga membantah sekaligus menyerang metafisika dan etika yang gagasan awalnya sudah mulai dilontarkan beberapa filsuf analitik yang embrionya berasal dari Lingkaran Wina itu sendiri. Mereka mengembangkan ajaran yang disebut “kriteria pengertian empiris” dan menolak setiap ajaran, pandangan dan pengertian yang tidak memakai rumusan matematik dan empiris. Pada umumnya, mereka menolak metafisika karena mereka sependapat bahwa metafisika tidak dapat “dipertanggungjawabkan” secara ilmiah.

Salah satu pemikir kontemporer filsafat analitik terkenal yang memiliki pengaruh cukup besar, Alfred Jules Ayer (1910-1970) lewat bukunya Language, Truth and Logic (1963), juga berupaya mengeliminasi metafisika yang didasarkan pada prinsip verifikasi, yaitu agar suatu pernyataan (statement) benar-benar penuh arti, maka pernyataan tersebut haruslah dapat diverifikasi oleh salah satu atau lebih dari kelima pancaindera. Tokoh positivisme logika modern Inggris dan salah satu penganut empirisis logis ini menandaskan bahwa kata “makna” dalam positivisme logis berarti gagasan yang kebenaran dan kepalsuannya dapat ditegaskan dalam batas-batas pengalaman inderawi.[21]

Pada tahap perkembangan selanjutnya, munculnya Karl Raimund Popper menandai kreasi wacana baru dan sekaligus merupakan masa transisi bagi suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper membuka babak baru sekaligus sebagai masa transisi dipicu oleh adanya dua alasan penting. Pertama, lewat teori falsifikasinya Popper menjadi orang pertama yang meruntuhkan dominasi aliran Positivisme Logis dari Lingkaran Wina. Kedua, lewat pendapatnya tentang berguru pada ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.

Popper menentang Lingkaran Wina terutama dalam distingsi antara ungkapan yang disebut meaningful dan meaningless berdasarkan kemungkinannya untuk diverifikasi, yakni dibenarkan secara empiris. Namun Popper sendiri dalam hal ini mengakui bahwa ia tidak pernah berasumsi dengan memaksa kesimpulan yang telah diverifikasi dapat ditetapkan sebagai sebuah jaminan kebenaran, apalagi hanya sekedar dijadikan acuan untuk menerapkan prinsip “mungkin” atau “bisa jadi” benar (probability). Bahkan mungkin saja yang disalahkan (difalsifikasi) itu menjadi benar dalam arti verifiable (dapat diuji) secara ilmiah. Oleh Popper distingsi itu diganti dengan apa yang disebut garis batas (demarcation) antara ungkapan yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Menurut Popper, pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya kemungkinan falsifikasi bagi ungkapan yang bersangkutan.

Paul Karl Feyerabend dalam Wacana FilsafatIlmu Pengetahuan. Popper menandaskan bahwa metode falsifikasi itu mengisyaratkan tidak adanya kesimpulan deduktif, kecuali hanya perubahan sifat pengulangan kata dari logika deduktif yang memiliki derajat kebenaran yang tidak lagi diperselisihkan. Ia mengatakan, “...the method of falsification presupposes no inductive inference, but not only tautological transformation of deductive logic whose validity is not indispute”.[22] Popper menegaskan bahwa suatu ungkapan bersifat empiris atau tidak, tidak dapat ditentukan berdasarkan azas pembenaran (verifiability) sebagaimana dianut oleh aliran Positivisme Logis. Pokok persoalannya adalah mustahilnya pembenaran proses induksi.

Sebagai ganti azas pembenaran, Popper menyodorkan prinsip falsifiabilitas, artinya ciri pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah.[23] Popper lantas menyarankan dilakukannya suatu deductive testing of theories untuk menguji kesahihan (validasi) dan ketepatan (akurasi) suatu teori ilmu pengetahuan lewat empat jalur berbeda. Pertama, perbandingan logis dari kesimpulan antar teori dalam hal konsistensi internal dari sistem yang diuji. Kedua, penyelidikan terhadap bentuk logis dari teori dengan obyek penelitian teori tersebut untuk memastikan apakah teori tersebut mempunyai karakter suatu teori empiris atau teori ilmiah, atau juga mungkin terjadi hubungan tautologis (pengulangan kata yang mengaburkan makna) diantara teori-teori tersebut.

Ketiga, perbandingan dengan teori-teori lain dengan tujuan untuk menentukan apakah teori itu telah memenuhi standar mutu hipotesis umum sebagai scientific advance yang tahan dari berbagai ujian dan kritik maupun diskusibilitas publik sehingga hal itu akan semakin mengukuhkan (corroboration) keberadaannya dalam setiap proses pencarian kebenaran ilmu pengetahuan. Keempat, pengujian terhadap teori dengan cara aplikasi empiris dari kesimpulan yang berasal dari teori tersebut. Dari cara yang terakhir inilah, suatu pernyataan tunggal dapat menghasilkan suatu prediksi kemungkinan baru yang dapat diuji (applicable) yang dideduksi dari suatu teori pengetahuan tertentu.

Setelah dilakukan seleksi terhadap beberapa pernyataan (prediksi), maka diambil suatu putusan melalui perbandingan antar pernyataan tersebut dengan hasil aplikasi praktis dan eksperimen. Apabila putusan itu positif, berarti kesimpulan tunggal itu acceptable (dapat diterima secara logika) atau verified (dapat dibuktikan secara empiris). Tetapi jika kesimpulan tersebut negatif atau falsified (tidak dapat dibuktikan keabsahannya), maka teori yang digunakan untuk mendeduksi teori-teori tersebut secara logis tidak dapat diterima sebagai sebuah hasil kebenaran yang sah.[24]

Dengan begitu Popper dianggap berhasil memberikan pemecahan bagi masalah induksi. Dengan itu pula, Popper serentak merubah seluruh pandangan tradisional atau The Received View yang dipegang oleh Lingkaran Wina. Bila cara kerja ilmu pengetahuan tradisional didasarkan pada prinsip verifikasi, maka dasar yang diajukan Popper adalah prinsip falsifiabilitas, suatu cita-cita yang sebenarnya diimpikan oleh para ilmuwan tradisional yakni mendasarkan cara kerja ilmu-ilmu empiris pada logika deduktif yang ketat.

Namun menurut kaum falsifikasionisme sofistikit, masalah keutamaan falsifiabililtas belum cukup untuk menjajaki kebenaran suatu teori, sebab masih ada kondisi lain yang diperlukan oleh ilmu untuk dapat berkembang lebih maju. Pandangan ini lebih menekankan pentingnya manfaat relatif teori-teori yang bersaing daripada manfaat suatu teori tunggal.

Pertanyaan-pertanyaan tentang teori seperti: “Apakah ia falsifiable?” “Bagaimana tingkat falsifiabilitasnya?” dan “Sudahkah ia difalsifiable?” dalam penilaian mereka kini lebih layak diganti dengan, “Apakah teori yang baru ini memiliki daya saing untuk menggantikan teori yang ditantangnya?”. Jadi disini berlaku pragmatisme dari suatu teori ilmiah yang merupakan racun ampuh terhadap paham determinisme yang bersifat statis dan yang sebelumnya tidak dibicarakan oleh Popper.

Sedangkan pendapat Popper tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu juga mengintroduksikan zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper menegaskan bahwa cara kerja (berdasarkan prinsip falsifiabilitas) itu bisa dilihat secara nyata dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sejarah ilmu-ilmu. Selanjutnya, dikatakan bahwa tidak hanya hipotesa melainkan juga hukum dan teori yang kokoh dalam proses falsifikasi lalu ditinggalkan.[25] Dari situ Popper meyakini tidak ada ungkapan, hukum dan teori yang definitif dan baku. Semua pengetahuan manusia sementara sifatnya, bisa difalsifikasi. Beerling[26] juga berpendapat bahwa semua hasil ilmu itu tidak sempurna, dapat ditambah dan diperbaiki. Jika tidak demikian, maka ilmu pengetahuan justru akan merosot menjadi ideologi tertutup dari segala kritik dan pembaruan.

Dalam kaitannya dengan hal inilah, maka kemudian muncul paham falsifikasionisme yang memandang ilmu sebagai suatu perangkat hipotesis yang dikemukakan lewat proses mencoba-coba (trial and error) dengan tujuan melukiskan secara akurat gejala suatu fenomena dunia atau alam semesta. Jadi apabila suatu hipotesis akan dijadikan bagian dari bangunan struktur ilmu, maka ia harus falsifiable (dapat dinyatakan sebagai benar atau salah).

Paul Karl Feyerabend dalam Wacana FilsafatIlmu Pengetahuan. Mengikuti cara berpikir Popper, kita seharusnya memecahkan setiap persoalan yang menarik melalui dugaan yang berani melawan (dan terutama) apabila tidak lama kemudian ternyata salah daripada mengulang suatu rangkaian kebenaran yang tidak relevan lagi dengan konteks zamannya. Kita mesti belajar dari kesalahan-kesalahan kita terdahulu, dan untuk selanjutnya setelah mengetahui bahwa dugaan kita salah, maka lalu kita akan belajar banyak tentang model kebenaran yang lain.

Dalam perkembangan ilmu, falsifikasi menjadi sandaran penting, sebab penarikan kesimpulan teori-teori universal dari keterangan observasi tidak mungkin menemukan jalan kebenaran yang diharapkan. Tetapi sebaliknya, membuat deduksi tentang ketidakbenaran suatu teori lewat proses falsifikasi mungkin saja ditempuh, sebab pada dasarnya ilmu memang berkembang maju melalui berbagai percobaan dan kesalahan. Paham falsifikasionisme ini dapat dipakai sebagai landasan berpikir pragmatis tanpa selalu menganggap semua teori ilmiah sudah benar secara ilmiah dalam perjalanan ilmu.

Kesalahan kita selama ini, sebagaimana yang diutarakan oleh Huston Smith adalah mengira sains dapat memberikan satu pandangan utuh tentang dunia seisinya. Tapi sayangnya sains cuma mampu memperlihatkan kepada kita serpihan-serpihan dunia yang bersifat fisikal, bisa dikalkulasi dan diuji lewat pengamatan fakta-fakta empiris semata. Potongan-potongan dunia itu tidak dapat divisualisasikan hanya dengan indera reseptor manusia yang memiliki standar sensibilitas terbatas. Tak heran jika menjelang wafatnya, Richard Feynman berujar kepada murid-muridnya, “Jangan pernah menanyakan bagaimana cara kerja alam semesta, karena pertanyaan seperti itu akan menyeret kalian ke dalam sebuah lubang, dan tak seorang saintis pun bisa keluar darinya dengan selamat. Ketahuilah, tak ada manusia yang dapat memahami bagaimana alam bekerja”.[27]

Popper sendiri sebenarnya ingin menekankan tentang pentingnya kontrol intersubyektif dan kesepakatan dalam komunitas para peneliti sendiri sehubungan dengan kemunculan teori-teori baru agar kemungkinan falsifikasi atas teori-teori itu tidak semata-mata didasarkan pada koherensi logis dan linguistis belaka, melainkan juga atas kriteria praktis dan fungsional.[28]

Popper juga selalu mendorong tentang perlunya mengembangkan budaya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang berbau mitos untuk mengikis tradisi-tradisi dogmatik yang selama ini hanya selalu mengagung-agungkan kebenaran satu doktrin saja untuk selanjutnya digantikan dengan doktrin yang lebih bersifat majemuk (pluralistik) dan masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis kritis.[29]

Tuntutan falsifikasi Popper tersebut di atas tentu harus dipahami pula berkaitan dengan pandangan filsafatnya tentang rasionalisme kritis yang salah satu uraian pokok ajarannya menjelaskan bahwa setiap pernyataan teoretis harus disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan terbukanya peluang-peluang perbaikan lanjutan. Sebab hanya dengan demikian daya topang dan kemungkinan perkembangan ilmu-ilmu ikut tertunjang secara selaras dan seimbang.

Rasionalisme kritis memang tepat mengatakan bahwa rasionalitas suatu ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari dan ditemukan pada kekuatan nalar ilmiah saja, seperti yang dikatakan oleh Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional itu justru dibentuk oleh adanya sikap keterbukaan terhadap kritik dan kenyataan empiris menuju suatu kebijakan dan strategi ilmu yang lebih terpadu dan menyeluruh.

Berbeda dengan Kant, Popper mengajukan suatu pandangan yang lebih historis dan dinamis mengenai ilmu yang harus selalu memodifikasi dan memperbaiki diri. Demikian pula terhadap pendirian empiristis dari Hume ditandaskannya tidak perlu menunggu secara pasif berulangnya gejala untuk mencari keteraturan. Justru kitalah yang harus berusaha secara aktif memaksakan hukum keteraturan (regularities) kepada alam. Sebab pada hakikatnya sifat kritis berarti bahwa kita seperti kata Kant senantiasa siap terbuka pada semua aneka bentuk perubahan yang kita hadapi dan pengalaman yang kita alami. Tetapi Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh dianggap kritis apabila kita bersedia membuang rongrongan-rongrongan yang dipaksakan (imposed regularities) oleh sistem makrokosmos alam semesta ini dalam sistem mentalitas berpikir kita.[30]

Paul Karl Feyerabend dalam Wacana FilsafatIlmu Pengetahuan. Popper menawarkan formulasi lain dalam prinsip epistemologi dengan sebuah keyakinan awal bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita refleksikan dan kita buat eksplisit. Baginya ketidakmungkinan mengeksplisitkan asumsi-asusmi dasar adalah sebuah mitos yang cenderung dibesar-besarkan sehingga membuat kesulitan menjadi ketidakmungkinan. Ia memang percaya bahwa setiap saat kita ini terpenjara oleh teori-teori, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman dan bahasa kita. Tetapi sebenarnya kalau saja kita mau, kita selalu bisa keluar dari kerangka acuan dasar itu setiap saat. Memang kita akan terperangkap dalam kerangka yang lain, tetapi kerangka itu pasti yang lebih baik. Lalu disitu pun kita bisa saja keluar lagi untuk kemudian merefleksikan ulang tentang kerangka acuan dasar itu. Inti persoalannya adalah bahwa suatu diskusi kritis dan perbandingan berbagai kerangka acuan selalu mungkin dilakukan.[31]

Sejalan dengan ide-ide awal yang provokatif tersebut, tampilnya Thomas Kuhn, sebagai generasi pasca Popper, semakin memantapkan permulaan suatu zaman baru dalam proses dialektika filsafat ilmu kontemporer yang biasa disebut filsafat ilmu pengetahuan baru. Secara khusus, Kuhn memperlihatkan bahwa sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan itu pembaharuan-pembaharuan yang benar hanya terjadi dalam beberapa fase saja, yaitu sewaktu anggapan para ahli ilmu pengetahuan pindah dari suatu paradigma (istilah teknis Kuhn, artinya “susunan dasar” ilmu alam pada zaman dan wilayah perkembangan ilmu tertentu) ke paradigma yang lain tanpa adanya hubungan logis antara keduanya.

Tokoh-tokoh yang disebut bersama Kuhn adalah Mihael Polanyi, Paul Karl Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Polter, Stephen Toulmin dan A. Kaplan. Mereka ini disebut sebagai generasi filsafat ilmu pengetahuan baru karena mempunyai perhatian besar terhadap sejarah ilmu pengetahuan dan peranan sejarah ilmu pengetahuan bagi penyusunan filsafat ilmu pengetahuan yang lebih mendekati kenyataan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.

Mereka itu oleh Cornelis Anthonie van Peursen[32], digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan baru karena mereka melihat perkembangan ilmu pengetahuan sebagai perkembangan yang revolusioner. Oleh Dudley Shapere[33], mereka digolongkan sebagai pemikir baru yang mendasarkan pandangan filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri.

Hal ini nampak dari cara kerja Feyerabend dalam menentang empirisme kontemporer dan teori kuantum mutakhir dari interpretasi Kopenhagen yang menegaskan bahwa tidak mungkin untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah elektron bersama-sama. Berdasarkan percobaan, kemustahilan ini ditarik dari kenyataan bahwa setiap kuantitas cahaya yang cukup untuk menangkap posisinya akan merubah kecepatannya, dan sebaliknya, setiap kuantitas cahaya yang tidak mempengaruhi kecepatan tidak akan memadai untuk menyatakan posisinya.

Menurut interpretasi Kopenhagen yang dipertahankan oleh ahli fisika Werner Heisenberg (1901-1976) dengan Uncertainly principle (Prinsip Ketidakpastian)-nya, kemustahilan ini adalah kemustahilan prinsipiil. Alasannya, pada tingkat sub-mikroskopik kita tidak berhak untuk memberikan suatu sifat kepada entitas kecuali kita dapat membuktikannya secara eksperimental. Ia mengatakan bahwa para ahli fisika tidak membangun peralatan yang canggih untuk membantah hipotesis dan pondasi ilmu pengetahuan yang telah ada, melainkan untuk mengembangkan dan menguatkan praktek kegiatan ilmiahnya.

Namun sayangnya, peralatan kita—istilah Einstein—terlalu kasar untuk mendeteksi dan memaksa menspesifikasikan kecepatan dan arah tertentu dari partikel elektron yang lebih kecil daripada atom. Akibatnya, kenyataan obyektif digambarkan secara mekanis sehingga hanya menghasilkan informasi yang terbatas dan tidak utuh. Istilah-istilah seperti massa, kecepatan, posisi, volume, tekanan, kekuatan dan unsur-unsur semesta atomik yang paling kecil merupakan sifat-sifat utama dari materia yang bergerak secara bebas. Dunia nyata diasumsikan menjadi suatu sistem partikel-partikel material yang dipahami secara geometris. Akhirnya, Heisenberg berkesimpulan bahwa ilmuwan tidak mungkin dapat melihat elektron dan sekaligus mengukur kecepatannya pada waktu yang bersamaan. Apa yang kita amati bukanlah alam an sich, tetapi alam yang tampak seperti dalam metode penelitian, dan gerakan sub-atomik alam itu sesungguhnya tidak bisa dipastikan atau diramalkan.

Dalam kegiatan-kegiatan bebas, kita memanipulir benda-benda yang terdiri dari bermiliar-miliar atom, dan bukannya atom-atom itu sendiri. Sehingga dengan alasan bahwa teori kuanta (partikel) itu masih jauh dari kadar kepastian, dan karena kebebasan kita juga tidak dilaksanakan pada tingkat mikroskopik, melainkan pada tingkat makroskopik dari kuanta, maka konsep indeterminisme Heisenberg tersebut tidak dapat berfungsi lagi. Salahlah menjadikan kepercayaan kita akan pertanggungjawaban manusiawi itu pada jurang-jurang kekosongan yang ditemukan oleh Heisenberg dalam struktur deterministik gambar dunia fisik.[34]

Implikasi dari adanya fenomena tentang interpretasi Kopenhagen itu ternyata membawa sains modern kepada cara analisis yang bersifat atomistik dengan jalan memilah-milah suatu proses ke dalam proses pencarian sebab-sebab efisiensi maupun subyek-subyek aktual yang terlibat dalam rangkaian kegiatan penyelidikan ilmu pengetahuan. Sekali analisis dimulai harus dikejar dan ditelusuri sampai batas akhir, karena sains baru akan merasa tahu “bagaimana” secara persis dari proses alami jika telah menemukan komponen-komponen fisis dasar yang menyebabkan terjadinya hukum kausalitas dalam proses kegiatan tersebut sampai kepada teori atomik sebagai pusat aktivitas saintifik.

Prinsip ketidakpastian ini telah memacu fungsi imajinasi manusia untuk memunculkan ide-ide serta penemuan-penemuan baru yang merupakan refleksi perkembangan ilmu dari masa ke masa. Dari sini kemudian perkembangan ilmu-ilmu modern telah mengakibatkan penjernihan dari prasangka-prasangka metafisika dan pencocokan lebih teliti pada data dan cara berpikir yang lebih benar.

Kalau filsafat ilmu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 lebih difokuskan pada upaya untuk menemukan penjelasan yang radikal tentang apa, bagaimana dan untuk apa gejala alam itu, maka filsafat di abad modern memperlihatkan kecenderungan menggeser landasan dan obyek telaahannya. Filsafat ilmu abad modern bersumber pada manusia itu sendiri yang pada perkembangan berikutnya terkesan menjadi filsafat ilmu kehidupan. Artinya, ilmu bukan lagi merupakan hasil usaha manusia semata-mata berdasarkan pengalaman empirik yang diperolehnya melalui pengamatan inderanya dan penelitian percobaannya serta pembuktiannya, melainkan manusia itu sendiri sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan khusus, yaitu dalam hal kemampuan berimajinasi. Oleh karena itu, filsafat ilmu abad modern tidak lagi mengutamakan penalaran semata, tetapi bertujuan juga untuk meningkatkan dan membuka tabir serta mendalami realitas alam yang penuh misteri dan paradoks ini melalui perangkat dimensi kreatif ilmu pengetahuan kontemporer.

Oleh Frederick Suppe[35], Feyerabend disebut bersama Kuhn, Toulmin, Hanson, Popper dan Bohm sebagai pembawa pandangan alternatif (alternatives to the Received View). Suppe secara khusus menempatkan mereka dalam kelompok analisis Weltanschaungen, suatu model analisis untuk menginterpretasi dunia. Anehnya, pada posisi ini Feyerabend justru didekatkan dengan Popper. Dikatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend merupakan percobaan untuk memperkembangkan analisis Popperian, terutama dalam penilaian Feyerabend terhadap empirisme kontemporer yang dianut oleh para pengikut The Received View.

Mereka digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan baru bukan saja karena mendasarkan pandangan filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan, melainkan juga karena mereka melihat adanya hubungan antara sejarah ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Misalnya, Lakatos mengatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah omong kosong ilmiah belaka. Sebaliknya, sejarah filsafat tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah buta.[36]

Namun berbeda dengan Popper, dan lebih sehaluan dengan Thomas S. Kuhn, ia menyangkal kemungkinan adanya tentang experimentum crucis, yakni keadaan bahwa dengan satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Sebab berdasarkan keyakinan Lakatos, seandainya ada gerak lawan lain yang muncul dari ranah pengalaman subyek peneliti pasti memproduk suatu teori baru, karena fakta tanpa kerangka teoretis tidak pernah dapat menjadi relevan secara ilmiah. Yang terjadi dalam pembaruan suatu ilmu itu sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain. Atau lebih jelasnya lagi, yang berlangsung sebetulnya adalah suatu program penelitian. Jika nantinya semua ini menghasilkan teori yang lebih baik, maka ini bisa dikatakan sebagai program penelitian progresif, tetapi kalau tidak dinamakan degeneratif.[37]

Lakatos menyatakan bahwa seluruh bangunan ilmu alam merupakan suatu kompleksitas makro yang intinya seharusnya melawan segala usaha untuk membuktikan salah. Kompleksitas itu terdiri atas sejumlah teori ilmiah yang menurut Popper tidak dapat berlaku sekaligus (yaitu apabila teori yang baru masuk, maka yang lama dianggap gugur), tetapi justru deretan teori-teori ilmiah itu yang dimaksud Lakatos dengan program riset (research program) yang dalam prakteknya di lapangan tidak boleh dilaksanakan secara fragmentaris.

Sementara disisi yang lain, Feyerabend juga berusaha melawan segala usaha untuk menemukan keteraturan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Feyerabend merasa bosan akan segala law and order yang ingin dicapai oleh para sarjana, khususnya Popper. Feyerabend berpendapat bahwa manusia dewasa ini terkekang oleh semua cara kerja yang telah diperincikan dengan teliti itu dengan hanya berlandaskan pada teori dan hipotesis yang kurang ditopang oleh kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.[38]

Feyerabend secara tegas mengatakan bahwa antara sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai keterkaitan timbal balik. Dalam Against Method[39], Feyerabend mengatakan bahwa para ilmuwan tidak bisa melepaskan diri dari latar belakang historis bagi hukum-hukum, hasil-hasil eksperimen, teknik-teknik matematis, prasangka-prasangka epistemologis dan sikap-sikap mereka terhadap akibat-akibat aneh dari teori-teori diterimanya. Kaitan itu dilukiskan oleh Feyerabend sebagai sebuah perkawinan yang cocok (marriage convenience).[40] Alasannya adalah bahwa analisis-analisis terhadap kejelasan, konfirmasi dan teori perbandingan yang diberikan oleh para filsuf berguna baik bagi ilmuwan maupun para pakar sejarah.

Dengan semboyan Against Method yang disuarakannya secara ekstrem, Feyerabend mendesak membuka pintu bagi bermacam-macam model alternatif demi pembaruan suatu ilmu. Bahkan yang kini sama sekali tidak ilmiah, atau masih disebut magis sekalipun, misalnya, dapat berfungsi sebagai ancangan alternatif yang merangsang untuk menggantikan metode ilmiah tradisional dan kaku, dengan maksud agar lebih banyak bahan yang bervariasi sifatnya dapat dicakup dalam sistem ilmiah.[41]

Segala upaya dekonstruksi metodologis Feyerabend dalam filsafat ilmu modern tersebut memberikan perspektif baru tentang hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Pandangan-pandangan maupun kritik-kritik tajam yang dilontarkannya merupakan sebuah reaksi nyata dalam menyikapi kegagalan teori-teori ilmiah tradisional yang tidak dapat dibuktikan secara konklusif (meyakinkan), dan sekaligus juga sebagai penentangan terhadap adanya asumsi bahwa ilmu itu adalah suatu aktivitas rasional yang beroperasi hanya berdasarkan satu atau beberapa metode tertentu. Sebab bagi Feyerabend, ilmu tidak mempunyai segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya lebih unggul daripada cabang-cabang pengetahuan lain.

[1] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika (Bandung: Remadja Karya, 1985), hlm. 2.

[2] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 54-55.

[3] Ibid., hlm. 55.

[4] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 114-115.

[5] A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), hlm. 65.

[6] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 116.

[7] Frederick Suppe (ed.), The Structure of Scientific Theories (Urbana University of Illionis Press, 1974), hlm. 4.

[8] Cornelis Anthonie van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 82.

[9] Jean Piaget, Strukturalisme, terj. Hermoyo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 63.

[10] Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 193.

[11] Henry van Laer, Filsafat Sains Bagian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum, Yudian W. Asmin (ed.), (Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995), hlm. 133.

[12] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 126-127.

[13] Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 161.

[14] Soeroso H. Prawirohardjo, Pengamatan Meta-Teoritis atas Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Bagi Program Pendidikan Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984), hlm. 9-10.

[15] Roy J. Howard, Pengantar atas Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika; Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis, Ninuk Kleden-Probonegoro (ed.), (Bandung: Nuansa, 2000), hlm. 51.

[16] Bawengan, G.W., Sebuah Studi Tentang Filsafat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 113.

[17] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 122.

[18] Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 203.

[19] Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 111-113.

[20] Bawengan, G.W., op.cit., hlm. 114.

[21] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 59.

[22] Karl Raimund Popper, The Logic of Scientific Discovery (New York: Harper & Row Pub., 1968), hlm. 40-42.

[23] Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 160.

[24] Conny R. Semiawan, et.al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm. 51-52.

[25] Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, op.cit., hlm. 161.

[26] Seperti dikutip oleh Conny R. Semiawan, op.cit., hlm. 58.

[27] Huston Smith, Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. xviii.

[28] I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 77.

[29] Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 112.

[30] Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 83-84.

[31] I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 92-93.

[32] Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 10.

[33] Dudley Shapere, Meaning and Scientific Change, dalam Ian Hacking (ed.), hlm. 29.

[34] Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 176 dan 315.

[35] Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 119.

[36] Prasetya T.W. op.cit., hlm. 52.

[37] Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 86.

[38] Soedjono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 17.

[39] Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 211.

[40] John Losee, Philosophy of Science and Historical Enquiry (Oxford: Clarendon Press, 1974), hlm. 4.

[41] Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 90.

Paul Karl Feyerabend dalam Wacana Filsafat Ilmu Pengetahuan Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Kang Hikam

0 komentar:

Post a Comment