Blog Berisi Seputar Artikel Terbaru | Aplikasi | Tutorial Komputer | Blogging | Info Penting

Sejarah Bunga Bank Konvensional

Sejarah Bunga Bank Konvensional

 Sejarah Bunga Bank Konvensional. Bangsa-bangsa dahulu telah mengenal bank, tetapi bank ini berlainan dengan bank modern, sesuai dengan awal tingkat kejadiaannya transaksi di waktu itu. Saat itu belum ada mata uang dan baru muncul pada abad pertengahan, maka timbullah lembaga perbankan yang mereka gunakan sebagai alat mata uang, pertukaran uang dengan yang lain dan penyimpanan. Hal ini sesuai dengan tingkat kemajuan yang mereka capai pada saat itu. Mereka belum mengoperasikan uang yang didepositokan pada para bankir. Kemudian para bankir berpendapat bahwa adalah lebih baik kalau uang tersebut sebagian mereka kelola, karena pada umumnya pemilik uang tidak menginkan uang yang mereka titipkan itu dioperasikan. Sehingga, dengan uang yang dititipkan itu mereka dapat mengoperasikannya dalam jumlah tertentu, seraya mereka pun dapat mengembalikan uang titipan ini pada saat penitipnya memintanya kembali. Dengan cara semacam ini, penitip (deposan) tidak mengetahui bahwa uangnya telah dioperasikan atau dikembangkan oleh si bankir, karena yang bersangutan dapat mengembalikan kepada pemiliknya kapan saja uang itu ditariknya kembali, karena uang yang dititipkan pada si bankir itu banyak, sehingga ia dapat memperbesar operasinya dan mendatangkan keuntungan yang besar pula.1

Dengan demikian si bankir berpendapat bahwa suatu hal yang menguntungkan bagi dirinya kalau penitip uang (deposan) diberi bagian dari keuntungan uang yang mereka titipkan kepadanya, sehingga uang mereka pun berkembang pula, dengan cara ini, si penitip memperoleh keuntungan dan si bankir juga mendapatkan untung yang jauh lebih besar. Bilamana si deposan tidak diberi keuntungan, barangkali mereka tidak akan menitipkan uangnya lagi pada si bankir atau tidak mengizinkan untuk dikembangkan. Karena itu, akhirnya orang-orang lain dapat digalakkan untuk menitipkan uang mereka padanya, sehingga akan bertambah investasi dan keuntungannya. Dari sinilah kemudian lahir gagasan lembaga perbankan modern (bank konvensional). Yang menjadi sandaran paling besar bagi kelangsungan hidup perbankan adalah deposito, sekalipun bersandar juga pada dua sumber lain, yaitu:2

1.      Modal, meliputi modal yang diberikan pemegang saham dan modal yang didapat dari keuntungan.

2.      Kredit, hal ini dilakukan oleh bank-bank dagang bila membutuhkan modal, dan dipinjam dari bank sentral atau bank lain.

Sejarah Bunga Bank Konvensional. Menurut catatan sejarah, usaha perbankan sudah dikenal kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi.3 Karena itu, sepantasnya kalau Plato (427-347 SM) sudah berbicara tentang bahaya rente. Perkembangan bank modern mulai berkemabang di Italia dalam abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk pembiayaan kepausan dan perdagangan wol, kemudian perbankan berkembang pesat sesudah memasuki abad ke-18 dan 19.

Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia, artinya meja.4 Dulu para penukar uang (money changer) melakukan pekerjaan mereka di pelabuhan-pelabuhan tempat para kelasi kapal datang dan pergi, para pengembara, dan wiraswastawan turun-naik kapal. Money changer itu meletakkan uang di atas sebuah meja (banco) di hadapan mereka. Aktivitas di atas banco inilah yang menyebabkan para ahli ekonomi menelusuri sejarah perbankan, mengaitkan kata banco dengan lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang ini dengan nama “bank”. Dengan demikian, bank di sini berfungsi sebagai penukaran uang antar bangsa yang berbeda-beda mata uangnya.5

Secara kultural, tiap peradaban manusia sebenarnya menolak keberadaan bunga bank. Apalagi dengan legitimasi ajaran agama, penolakan pun semakin kuat. Akan tetapi, kepentingan pragmatis ekonomi kapitalis meluluhlantakkannya. Para ulama fiqh mulai membicarakan tentang bunga bank (riba), ketika mereka memecahkan berbagai macam persoalan muamalah. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode larangan. Sampai akhirnya datang larangan yang tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama langit (samawi) telah dinyatakan haram, sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Lama Kitab Keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang di antara warga bangsamu uang maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang.” Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap non-Yahudi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Ulangan ayat 20 pasal 23.6

Kapan sebenarnya manusia mulai mempraktekkan riba? Tak ada catatan pasti tentang ini. Yang jelas, pada masa Nabi Musa AS. orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan bunga. Larangan ini, terdapat di Old Testament (Perjanjian Lama) dan UU Talmud. Di antaranya, Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apa pun yang dapat dibungakan”.7

Larangan serupa juga tercantum di Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 dan Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7. Ini menunjukkan, sebelum turunnya larangan ini, manusia telah mempraktekkan riba. Apalagi dalam al-Qur’an surat an-Nisa’: 160-161 ditegaskan bahwa Allah akan memberikan azab yang keras kepada orang-orang Yahudi yang memakan riba. Jadi, sebelum dan hingga masa Nabi Musa AS, manusia telah mempraktekkan riba.8

Pada masa Yunani (abad VI SM–I M), terdapat beberapa jenis bunga yang besarnya dikategorikan menurut kegunaannya. Untuk pinjaman biasa antara 6-18%, pinjaman properti 6-12%, pinjaman antar kota 7-12%, sedang pinjaman perdagangan dan industri 12-18%. Tapi, praktek ini dicela dua ahli filsafat, Plato dan Aristoteles. Plato beralasan, penerapan bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Selain itu, lanjut Plato, bunga merupakan alat kelompok kaya untuk mengeksploitasi masyarakat miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan, uang adalah alat tukar, bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Sehingga, pengambilan bunga secara tetap merupakan ketidakadilan.

Sejarah Bunga Bank Konvensional. Meski dikecam, praktek riba kian tumbuh subur, terutama pada masa Romawi (Abad V SM–IV M). Bahkan, saat Unciaria (342 SM) berkuasa di Byzantium, praktek bunga malah dilegalkan dengan UU. Dalam UU itu, masyarakat dibolehkan mengambil bunga selama tingkat bunganya sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan UU’ (maximum legal rate). Meski begitu, pengambilannya tidak boleh dengan cara bunga-berbunga (double countable). Bunga yang dikenal saat itu adalah: bunga maksimal 8-12%, bunga pinjaman biasa di Roma dan pinjaman khusus Byzantium 4-12%, sedangkan bunga untuk daerah taklukan mencapai 6-100%.9

Ibnu Abi Zayd (w 136 H754 M) mengungkapkan bahwa praktek riba juga melanda bangsa Arab pra-Islam, di mana riba dilakukan dengan berlipat ganda baik terhadap uang maupun berbagai macam komoditi, serta perbedaan umur berlaku bagi binatang ternak. Apabila sudah mencapai jatuh tempo, pihak piutang (kreditur) akan menanyakan kepada pihak yang berutang  (debitur), apakah engkau akan melunasi sekarang atau menambah pembayaran jumlah utang yang engkau pinjam? Jika pihak debitur mempunyai sesuatu maka ia akan membayarkannya, tetapi jika hutangnya berupa binatang ternak, maka umurnya dapat meningkat  (pada waktu pembayarannya). Apabila hutangnya berupa uang atau jenis komoditi lain, maka ia dapat meningkatkan dengan berlipat ganda pada waktu pengambilannya dalam jangka setiap tahun. Bila debitur tidak dapat membayarnya, maka hutang tersebut dapat berlipat lagi, misalnya hutang 100 dalam satu tahun dapat meningkat menjadi 200, jika tidak dibayar pada tahun berikutnya, hutang akan akan meningkat lagi secara berlipat ganda  menjadi 400. jelasnya, keterlambatan hutang akan bertambah berlipat ganda pada setiap tahunnya.10

Sejarah Bunga Bank Konvensional. Sementara, di belahan dunia yang lain, pada rentang waktu yang hampir bersamaan, di saat gereja masih mengharamkan riba (abad I–XII M), ternyata telah berkembang dengan pesat praktek perekonomian tanpa riba. Praktek ini, dimulai setahap demi setahap seiring keberhasilan dakwah Rasulullah SAW hingga terbentuknya negara Islam pertama di Madinah (sekitar tahun 3 H). Pelarangan total terhadap riba ini pun tercantum dengan tegas dalam QS. ar-Rum: 39, an-Nisa: 160-161, Ali Imran: 130, al-Baqarah: 278-279 dan Hadis-hadis Nabi sendiri. 11

Sepeninggal Rasulullah SAW. Seiring meluasnya pengaruh dan kekuasaan Islam hingga 2/3 dunia, perekonomian dan perdagangan di negeri-negeri Islam pun kian pesat berkembang. Di masa itu bermunculan ekonom-ekonom muslim yang tetap konsisten memandang riba itu haram dan keji. Misalnya, Abu Yusuf (182 H/798 M) dengan kitabnya al-Kharraj yang membahas keuangan publik dan akuntansi syariah. Kemudian, al-Gazali (451-505 H/1055-1110 M) dengan kitabnya Ihya’ Ulumu ad-Din, Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) dengan kitabnya al-Hisbah tentang konsep harga yang adil, hingga Shah Waliyullah (1114-1176 H/1703-1762 M) dengan kitabnya al-Baliqa tentang rasionalisasi pendapatan.

Tetapi, prinsip keadilan dan kebersamaan yang dibangun oleh sistem ekonomi Islam, akhirnya harus tersingkir dari peta perkembangan ekonomi dunia yang kian kapitalistik dan pragmatis. Melunturnya praktek ekonomi tanpa riba di sebagian besar negeri muslim, berjalan berkelindan dengan menurunnya pamor dan kekuasaan negeri-negeri muslim di belahan dunia mana pun. Puncaknya terjadi pada 4 November 1922, ketika Daulah Usmaniyah Turki sebagai pemegang amanah kekhalifahan harus rela melepas kekuasaannya, setelah berkuasa selama 633 tahun di Asia, Eropa, dan Afrika.

Seiring perjalanan waktu, kekejian sistem riba secara ekonomi maupun sosial, mulai terkuak ke permukaan. Publik pun mulai melirik kembali sistem ekonomi tanpa riba yang pernah dicampakkannya. Akhirnya, dunia Islam pun merespon ramai-ramai keinginan umat untuk kembali hidup tanpa riba. Tak heran, di penghujung tahun 1970-an, beberapa negara Islam mulai mengembangkan industri keuangan tanpa riba. Apalagi setelah berdiri Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB), sebagai hasil dari Sidang OKI di Karachi, Pakistan, Desember 1970.12

Pada akhirnya, ulama pun terlibat aktif untuk mendukung kembalinya sistem tanpa riba ini. Tak heran, jika kemudian ulama-ulama sedunia mengeluarkan fatwa yang pada intinya menegaskan kembali bahwa bunga (riba) apa pun bentuknya tetap haram, sedikit atau banyak. Di antara fatwa itu adalah: Pertama, fatwa dari Pertemuan OKI di Karachi tahun 1970. Kedua, Fatwa Kantor Mufti Negara Mesir tahun 1989 hingga 1900 yang memutuskan bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan. Ketiga, Konferensi II Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) di Universitas Al-Azhar, Cairo, Muharram 1385 H/Mei 1965 menetapkan, tak ada keraguan sedikit pun atas keharaman praktek membungakan uang seperti dilakukan oleh bank-bank konvensional. Keempat, Fatwa Lembaga Fiqh Rabitah Alam Islami Makkah dan Konferensi Islam Internasional di Jedah tahun 1976.13

1 Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam, alih bahasa M. Tholib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 95.

2 Ibid., hlm. 96.

3 Usia lembaga perbankan sebenranya sudah tua, sejak awal hingga sekarang, bank mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan. Perkembangannya dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap, yaitu; (1) Sebelum tahun 500 (2) Antara tahun 500 sampai dengan tahun 1500 (3) Antara tahun 1550 sampai dengan tahun 1750 dan (4) Antara 1750 sampai sekarang. Lihat Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, (Yogyakarta: UGM Press, 1984), hlm. 15-67

4 M. Zuhri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, cet.I (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 142-143.

5 Ibid.

6 Sebagaimana dikutip Muhammad, Lembaga-lembaga  Keuangan Umat Kontemporer, cet. I ( Yogyakarta: UII Pres, 2000), hlm. 144.

7 Dwi Hardianto, Sejarah Riba dari Masa ke Masa, www.sabili.or.id, hlm, 1

8 Ibd.

9 Ibid., hlm 2

10 Sebagaimana dikutip oleh Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, alih bahasa Muhammad Ufuqul Mubin. cet I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 38

11 Dwi Hardianto, Sejarah Riba,. hlm. 2-3.

12 Ibid., hlm 3.         

13 Uraian selengkapnya lihat Anwar Abbas “Hukum Bunga Bank Konvensional”,  makalah disampaikan pada diskusi Majlis Tarjih tentang Bunga Bank, diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 22 Desember 2003, hlm 4-6.

Sejarah Bunga Bank Konvensional Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Kang Hikam

0 komentar:

Post a Comment