Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi mausia (HAM) mungkin merupakan kata yang telah ditulis dalam ratusan ribu halaman kertas, buku, artikel atau surat kabar dan siaran televisi maupun radio, juga menarik perhatian sejumlah besar ahli, politikus, jurnalis, lawyer dan sebagainya. Ia seolah-olah menjadi "trademark" peradaban modern saat ini. Sebagai basis dari pemikiran manusia, mengarahkan perbuatan manusia dan mengatur masyarakat.
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak-hak asasi manusia sebagaimana dikenal dewasa ini dengan nama antara lain "human rights, the Right of man" hal mana pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai "hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan karena itu bersifat suci". Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Dari pemahaman yang demikian maka sebenarnya perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan tersebut mungkin seumur umat manusia itu sendiri.[1]
Sebagai contoh bahwa Nabi Musa berusaha menyelamatkan umatnya dari penindasan Fir'aun. Nabi Muhammad dengan mu'jizatnya; al-Qur'an, banyak mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa, bijaksana, menerapkan kasih sayang, dan lain sebagainya. Islam mengajarkan belas kasihan sebagai suatu nilai kemanusiaan yang pokok dan satu dari kebajikan yang fundamental bagi orang yang mengaku dirinya muslim.
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak-hak Asasi manusia secara umum mencakup hak pribadi, politik, perlakuan yang sama dalam hukum, sosial dan kebudayaan, serta untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum. Dalam hak-hak asasi manusia, terdapat bermacam dokumen, diantaranya Declarations des Droits de'l Homme et du Citoyen (1789) di Perancis dan The Four Freedoms of F.D. Roosevelt (1941) di Amerika Serikat, dari kedua dokumen tersebut terdapat semboyan, yaitu:
1. Liberte (kemerdekaan),
2. Egalite (kesamarataan),
3. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan),
4. Freedom of Speech (kebebasan mengutarakan pendapat),
5. Freedom of Religion (kebeasan beragama),
6. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan
7. Freedom from Want (kebeasan dari kekurangan).[2]
Dari kedua dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia mencakup:
a. Hak kemerdekaan atas diri sendiri,
b. Hak kemerdekaan beragama,
c. Hak kemerdekaan berkumpul,
d. Hak menyatakan kebebasan dari rasa takut,
e. Hak kemerdekaan pikiran.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, terutama dalam hak kemerdekaan atas diri sendiri, maka akan terlintas dalam benak pikiran bahwa "hak untuk hidup" atau the right to life, adalah termasuk didalamnya. Dan dalam hak untuk hidup ini juga tercakup pula adanya "hak untuk mati" atau the right to die. "The right to die" ini berkaitan dengan munculnya "revolusi biomedis" dan tentunya berkaitan pula dengan masalah euthanasia.[3]
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM). Mengenai hak untuk hidup, memang telah diakui oleh dunia yaitu dengan dimasukannya dan diakuinya Universal Declaration of Human Right oleh perserikatan bangsa-bangsa tanggal 10 desember 1948. Sedangkan mengenai "hak untuk mati", karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai bidang dunia, seperti diperagakan dalam "peradilan semu" dalam rangka Konperensi Hukum Se-Dunia di Manila.[4]
Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat masalah "hak untuk mati" sudah diakui, dan bahkan di Negara-negara bagian ada yang mengaturnya secara jelas dalam berbagai undang-undang. Kendatipun telah diakui dalam berbagai undang-undang, namun masih harus diakui pula bahwa "hak untuk mati" itu tidak bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi lagi.[5]
Penderita suatu penyakit yang sudah demikian tersebut diakui dan diperbolehkan menggunakan "hak untuk mati"-nya, dengan jalan meminta pada dokter untuk menghentikan pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya, ataupun dengan jalan meminta agar diberikan obat penenang dengan dosis yang tinggi. Dengan demikian maka penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya tersebut akan segera mati dengan tenang. Dan lagi Negara yang telah mengakui adanya "hak untk mati", maka perbuatan dokter yang telah memebantu untuk melaksanakan permintaan seorang pasien atau dari keluarganya seperti diuraikan di atas memounyai kekebalan terhadap "criminal liability" maupun terhadap "civil liability".[6]
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa masalah hak-hak asasi manusia itu bukanlah semata-mata merupakan persoalan yuridis semata, melainkan bersangkut paut dengan masalah nilai-nilai etis, moral yang ada di suatu masyarakat tertentu. Oleh sebab itu masalah "hak untuk mati" yang dihadapkan sebagai suatu kasus hukum, maka pemecahannya haruslah disesuaikan dengan masalah moral, etis, kondisi dan kebiasaan yang ada dalam suatu negara.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:
Macam-Macam Euthanasia
Pengertian Euthanasia
Keadaan-Keadaan Yang Memungkinkannya Dilakukan Euthanasia
[1] Imron Halimi, Euthanasia Cara Mati Terhormat Orang modern, (Solo: CV. Ramadhani, 1990), hlm. 129.
[2] Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indah. 1984), hlm.32-33.
[3] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm. 137
[4] Imron Halimi, Euthanasia, hlm. 141
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 42
Hak asasi mausia (HAM) mungkin merupakan kata yang telah ditulis dalam ratusan ribu halaman kertas, buku, artikel atau surat kabar dan siaran televisi maupun radio, juga menarik perhatian sejumlah besar ahli, politikus, jurnalis, lawyer dan sebagainya. Ia seolah-olah menjadi "trademark" peradaban modern saat ini. Sebagai basis dari pemikiran manusia, mengarahkan perbuatan manusia dan mengatur masyarakat.
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak-hak asasi manusia sebagaimana dikenal dewasa ini dengan nama antara lain "human rights, the Right of man" hal mana pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai "hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan karena itu bersifat suci". Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Dari pemahaman yang demikian maka sebenarnya perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan tersebut mungkin seumur umat manusia itu sendiri.[1]
Sebagai contoh bahwa Nabi Musa berusaha menyelamatkan umatnya dari penindasan Fir'aun. Nabi Muhammad dengan mu'jizatnya; al-Qur'an, banyak mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa, bijaksana, menerapkan kasih sayang, dan lain sebagainya. Islam mengajarkan belas kasihan sebagai suatu nilai kemanusiaan yang pokok dan satu dari kebajikan yang fundamental bagi orang yang mengaku dirinya muslim.
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak-hak Asasi manusia secara umum mencakup hak pribadi, politik, perlakuan yang sama dalam hukum, sosial dan kebudayaan, serta untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum. Dalam hak-hak asasi manusia, terdapat bermacam dokumen, diantaranya Declarations des Droits de'l Homme et du Citoyen (1789) di Perancis dan The Four Freedoms of F.D. Roosevelt (1941) di Amerika Serikat, dari kedua dokumen tersebut terdapat semboyan, yaitu:
1. Liberte (kemerdekaan),
2. Egalite (kesamarataan),
3. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan),
4. Freedom of Speech (kebebasan mengutarakan pendapat),
5. Freedom of Religion (kebeasan beragama),
6. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan
7. Freedom from Want (kebeasan dari kekurangan).[2]
Dari kedua dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia mencakup:
a. Hak kemerdekaan atas diri sendiri,
b. Hak kemerdekaan beragama,
c. Hak kemerdekaan berkumpul,
d. Hak menyatakan kebebasan dari rasa takut,
e. Hak kemerdekaan pikiran.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, terutama dalam hak kemerdekaan atas diri sendiri, maka akan terlintas dalam benak pikiran bahwa "hak untuk hidup" atau the right to life, adalah termasuk didalamnya. Dan dalam hak untuk hidup ini juga tercakup pula adanya "hak untuk mati" atau the right to die. "The right to die" ini berkaitan dengan munculnya "revolusi biomedis" dan tentunya berkaitan pula dengan masalah euthanasia.[3]
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM). Mengenai hak untuk hidup, memang telah diakui oleh dunia yaitu dengan dimasukannya dan diakuinya Universal Declaration of Human Right oleh perserikatan bangsa-bangsa tanggal 10 desember 1948. Sedangkan mengenai "hak untuk mati", karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai bidang dunia, seperti diperagakan dalam "peradilan semu" dalam rangka Konperensi Hukum Se-Dunia di Manila.[4]
Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat masalah "hak untuk mati" sudah diakui, dan bahkan di Negara-negara bagian ada yang mengaturnya secara jelas dalam berbagai undang-undang. Kendatipun telah diakui dalam berbagai undang-undang, namun masih harus diakui pula bahwa "hak untuk mati" itu tidak bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi lagi.[5]
Penderita suatu penyakit yang sudah demikian tersebut diakui dan diperbolehkan menggunakan "hak untuk mati"-nya, dengan jalan meminta pada dokter untuk menghentikan pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya, ataupun dengan jalan meminta agar diberikan obat penenang dengan dosis yang tinggi. Dengan demikian maka penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya tersebut akan segera mati dengan tenang. Dan lagi Negara yang telah mengakui adanya "hak untk mati", maka perbuatan dokter yang telah memebantu untuk melaksanakan permintaan seorang pasien atau dari keluarganya seperti diuraikan di atas memounyai kekebalan terhadap "criminal liability" maupun terhadap "civil liability".[6]
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa masalah hak-hak asasi manusia itu bukanlah semata-mata merupakan persoalan yuridis semata, melainkan bersangkut paut dengan masalah nilai-nilai etis, moral yang ada di suatu masyarakat tertentu. Oleh sebab itu masalah "hak untuk mati" yang dihadapkan sebagai suatu kasus hukum, maka pemecahannya haruslah disesuaikan dengan masalah moral, etis, kondisi dan kebiasaan yang ada dalam suatu negara.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:
Macam-Macam Euthanasia
Pengertian Euthanasia
Keadaan-Keadaan Yang Memungkinkannya Dilakukan Euthanasia
[1] Imron Halimi, Euthanasia Cara Mati Terhormat Orang modern, (Solo: CV. Ramadhani, 1990), hlm. 129.
[2] Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indah. 1984), hlm.32-33.
[3] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm. 137
[4] Imron Halimi, Euthanasia, hlm. 141
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 42
0 komentar:
Post a Comment