Keadaan-keadaan yang Memungkinkan Dilakukannya Euthanasia. Euthanasia mempunyai arti yang berdekatan dengan “membiarkan datangnya kematian” (letting die). Dalam literatur, euthanasia dibedakan antara yang aktif dan yang pasif. Euthanasia aktif diartikan melakukan suatu tindakan tertentu sehingga pasien meninggal, misalnya dengan mengakhiri pemberian nafas buatan melalui respirator atau mencabut ventilator dalam arti penghentian pemberian pernafasan artifisial. Sedang euthanasia pasif diartikan sebagai tidak dimulainya melakukan tindakan untuk memperpanjang hidupnya, tetapi yang tidak begitu bermanfaat lagi, bahkan akan menambah beban penderitaan (not initiating life support treatment). Misalnya tidak memberikan shock terapi dan tidak menyambung pernafasan dengan ventilator sesudah pasien manula penderita jantung kronis yang mendapat serangan jantung untuk kesekian kalinya dan sudah tidak sadarkan diri untuk waktu yang agak lama.[1]
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, kemajuan dalam bidang ilmu dan tekhnologi kedokteran telah menambah beberapa konsep fundamental tentang mati. Kalau dahulu mati didefinisikan sebagai berhentinya denyut jantung dan pernafasan, maka dengan ditemukannya alat bantu pernafasan (respirator) dan alat pacu jantung (pace maker), maka seseorang yang oleh karena suatu hal mengalami henti nafas mendadak (respiratory arrest) atau henti jantung (cardiac arrest), masih ada kemungkinan ditolong dengan menggunakan alat tersebut, artinya pasien belum meninggal.
Persoalan yang kemudian timbul adalah sampai berapa lama orang itu bertahan dengan alat bantu tersebut. Keadaan semacam ini berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa di ketahui kapan akan berakhir, yang jelas kehidupannya tergantung kepada alat, dan kalau alat tersebut dicabut kemungkinan besar ia akan segera mati.
Secara medis sekarang diketahui jika rekaman otak masih menunjukkan fungsi yang baik, maka ada harapan orang tersebut akan siuman kembali, tetapi bila otak sudah tidak berfungsi, maka hampir tidak mungkin dia hidup tanpa bantuan alat tersebut, dengan kata lain dia hanya hidup secara vegetatif, yakni sel-sel tubuh saja yang masih menunjukkan tanda kehidupan. Dengan demikian sekarang dikenal istilah mati otak (brain death), yang menunjukkan bahwa otak sudah tidak berfungsi lagi.
Dalam keadaan seperti ini tidak jarang keluarga pasien meminta dokter untuk segera mengakhiri penderitaan pasien dengan cara melepas semua alat bantu, yang menjadi persoalan adalah: pertama, sampai hatikah seorang dokter dengan sengaja melepas alat bantu yang nota bene akan mengakhiri kehidupan seseorang?. Kedua, apakah dokter mempunyai hak untuk melakukan hal itu tanpa ia dikenai sanksi hukum?. Akan lebih rumit lagi apabila permintaan pasien (keluarganya) adalah dengan alasan sosial ekonomi (biaya) sehingga keluarga memaksa untuk membawa pulang pasien, pada yang terakhir ini jelas yang harus mencabut segala alat bantu adalah dokter (dokter yang bertanggungjawab).[2]
Di Negara Belanda, tepatnya di daerah Rotterdam, seorang dokter tidak di hukum dalam melakukan euthanasia, Pengadilan Negeri Rotterdam mempunyai kriteria bahwa seorang dokter tidak dihukum dalam melakukan euthanasia, sebagai berikut:
Harus ada penderitaan fisik atau psikis yang tidak terpikulkan dan dahsyat dialami pasien.
Baik penderitaan ini maupun keinginan untuk mengakhiri kehidupan berlangsung tiada henti-hentinya.
Pasien memahami betul situasinya sendiri maupun kemungkinan-kemungkinan alternatif yang tersedia dan mampu menimbang-nimbang antara pelbagai kemungkinan yang ada dan sesungguhnya telah pula melakukan pilihannya.
Tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi.
Dengan kematian ini tidak ada orang lain yang dirugikan atau menderita tanpa alasan.
Keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja.
Pada keputusan untuk memberikan bantuan harus selalu melibatkan seorang dokter, yang akan mengeluarkan resep mengenai obat atau bahan yang akan dipakai.
Pada keputusan untuk memberikan bantuan, demikian pula pada bantuan itu perlu diperhatikan kecermatan dan ketelitian yang semaksimal mungkin sesuai dengan kepatutan yang berlaku (misalnya dengan mengikutsertakan dalam perembukan beberapa teman sejawat dan ahli-ahli lainnya.[3]
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:
Macam-Macam Euthanasia
Pengertian Euthanasia
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM)
[1] J. Guwandi, Kumpulan Kasus Bioethics & biolaw, (Jakarta: FK UI, 2000), hlm. 40
[2] H.R. Siswo Sudarmo, "Euthanasia, Bagaimana sikap seorang dokter?" Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis, (Yogyakarta: FKMPY, 1990), hlm.3-4
[3] F. Tengker, Mengapa euthanasia? Kemampuan medis & konsekuensi Yuridis, (Bandung: Nova, t.t), hlm. 95.
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, kemajuan dalam bidang ilmu dan tekhnologi kedokteran telah menambah beberapa konsep fundamental tentang mati. Kalau dahulu mati didefinisikan sebagai berhentinya denyut jantung dan pernafasan, maka dengan ditemukannya alat bantu pernafasan (respirator) dan alat pacu jantung (pace maker), maka seseorang yang oleh karena suatu hal mengalami henti nafas mendadak (respiratory arrest) atau henti jantung (cardiac arrest), masih ada kemungkinan ditolong dengan menggunakan alat tersebut, artinya pasien belum meninggal.
Persoalan yang kemudian timbul adalah sampai berapa lama orang itu bertahan dengan alat bantu tersebut. Keadaan semacam ini berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa di ketahui kapan akan berakhir, yang jelas kehidupannya tergantung kepada alat, dan kalau alat tersebut dicabut kemungkinan besar ia akan segera mati.
Secara medis sekarang diketahui jika rekaman otak masih menunjukkan fungsi yang baik, maka ada harapan orang tersebut akan siuman kembali, tetapi bila otak sudah tidak berfungsi, maka hampir tidak mungkin dia hidup tanpa bantuan alat tersebut, dengan kata lain dia hanya hidup secara vegetatif, yakni sel-sel tubuh saja yang masih menunjukkan tanda kehidupan. Dengan demikian sekarang dikenal istilah mati otak (brain death), yang menunjukkan bahwa otak sudah tidak berfungsi lagi.
Dalam keadaan seperti ini tidak jarang keluarga pasien meminta dokter untuk segera mengakhiri penderitaan pasien dengan cara melepas semua alat bantu, yang menjadi persoalan adalah: pertama, sampai hatikah seorang dokter dengan sengaja melepas alat bantu yang nota bene akan mengakhiri kehidupan seseorang?. Kedua, apakah dokter mempunyai hak untuk melakukan hal itu tanpa ia dikenai sanksi hukum?. Akan lebih rumit lagi apabila permintaan pasien (keluarganya) adalah dengan alasan sosial ekonomi (biaya) sehingga keluarga memaksa untuk membawa pulang pasien, pada yang terakhir ini jelas yang harus mencabut segala alat bantu adalah dokter (dokter yang bertanggungjawab).[2]
Di Negara Belanda, tepatnya di daerah Rotterdam, seorang dokter tidak di hukum dalam melakukan euthanasia, Pengadilan Negeri Rotterdam mempunyai kriteria bahwa seorang dokter tidak dihukum dalam melakukan euthanasia, sebagai berikut:
Harus ada penderitaan fisik atau psikis yang tidak terpikulkan dan dahsyat dialami pasien.
Baik penderitaan ini maupun keinginan untuk mengakhiri kehidupan berlangsung tiada henti-hentinya.
Pasien memahami betul situasinya sendiri maupun kemungkinan-kemungkinan alternatif yang tersedia dan mampu menimbang-nimbang antara pelbagai kemungkinan yang ada dan sesungguhnya telah pula melakukan pilihannya.
Tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi.
Dengan kematian ini tidak ada orang lain yang dirugikan atau menderita tanpa alasan.
Keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja.
Pada keputusan untuk memberikan bantuan harus selalu melibatkan seorang dokter, yang akan mengeluarkan resep mengenai obat atau bahan yang akan dipakai.
Pada keputusan untuk memberikan bantuan, demikian pula pada bantuan itu perlu diperhatikan kecermatan dan ketelitian yang semaksimal mungkin sesuai dengan kepatutan yang berlaku (misalnya dengan mengikutsertakan dalam perembukan beberapa teman sejawat dan ahli-ahli lainnya.[3]
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:
Macam-Macam Euthanasia
Pengertian Euthanasia
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM)
[1] J. Guwandi, Kumpulan Kasus Bioethics & biolaw, (Jakarta: FK UI, 2000), hlm. 40
[2] H.R. Siswo Sudarmo, "Euthanasia, Bagaimana sikap seorang dokter?" Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis, (Yogyakarta: FKMPY, 1990), hlm.3-4
[3] F. Tengker, Mengapa euthanasia? Kemampuan medis & konsekuensi Yuridis, (Bandung: Nova, t.t), hlm. 95.
0 komentar:
Post a Comment