Kriteria
Pemaksaan Hubungan Seksual Sebagai Kekerasan Seksual
Kekerasan dalam rumah tangga sangat mungkin terjadi didalam perkawinan. Sebelum
mengungkap lebih jauh mengenai kekerasan ini, harus diketahui terlebih dahulu
apa arti kekerasan itu. Menurut pasal 1 Deklarasi PBB pada tanggal 20 Desember
1993 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan menyatakan bahwa, “yang
dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan
pribadi.[1]
Ruang lingkup terjadinya
kekerasan terhadap perempuan meliputi kekerasan dalam rumah tangga atau domestic
(KDRT), kekerasan di masyarakat (public), dan kekerasan di wilayah
Negara. Hal ini tercermin dalam Deklarasi PBB pada tanggal 20 desember
1993, tentang Dekklarasi penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, pasal 2
yaitu : "Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi
tidak hanya terbatas pada tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis
yang terjadi didalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas
anak-anak perempuan dalam keluarga, kekerasan yang berhubungan dengan mas
kawin, perkosaan dalam perkawinan (Marital Rape), perusakan alat kelamin
perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan,
kekerasan diluar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan
eksploitasi".[2]
Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling berbahaya.
Hal ini banyak terjadi di masyarakat. Dalam hubungan keluarga, perempuan semua
umur menjadi sasaran segala bentuk kekerasan, termasuk pemukulan, perkosaan,
bentuk-bentuk lain dari penyerangan seksual, mental dan bentuk kekerasan lain
yang dikekalkan oleh sikap-sikap tradisional. Ketergantungan ekonomi, memaksa
perempuan untuk bertahan pada hubungan yang didasarkan atas kekerasan.
Bentuk-bentuk kekerasan ini menempatkan perempuan pada resiko kekerasan dan
paksaan.[3]
Pemuasan hasrat seksual merupakan
salah satu alasan utama perkawinan. Namun makna perkawinan sesungguhnya lebih
luas dari pada sekadar seks. Perkawinan juga mencakup aspek-aspek sosial dan
psikologis. Suami istri harus dekat dan akrab secara fisikal, psikologis dan
emosional. Saling bersimpati dan saling memperlakukan dengan baik dapat melanggengkan
cinta bahkan ketika masa-masa “penuh gairah” telah berlalu.[4]
Kata 'pemaksaan hubungan seksual'
didalam penjelasan UU No. 23 tahun 2004 pasal 8 huruf a hanya dijelaskan secara
global yaitu setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dan
pemaksaan hubungan sekual dengan cara tidak wajar dan / atau tidak disukai.
Akibatnya kata itu mengandung banyak pengertian. Kekerasan itu terjadi bila
suami menghendaki istri untuk memenuhi keinginan seksnya kapanpun ia mau tanpa mempedulikan
kondisi dan atau persetujuan atau kehendak istri. Kriteria pemaksaan hubungan
seksual tersebut terjadi bila istri dipaksa untuk melakukan hubungan seksual
secara tidak wajar yaitu seks anal dan seks oral dan istri dipaksa untuk
melakukan hubungan seksual yang tidak disukai yaitu ketika dalam keadaan haid,
nifas, sakit atau bahkan sedang hamil.
Kekerasanseksual dalam perkawinan (Marital Rape) dapat terjadi
bila suami menghendaki istri untuk memenuhi keinginan seksnya kapanpun ia mau
tanpa mempedulikan kondisi dan atau persetujuan /kehendak istri.
Berdasarkan konteks kejadian
tercatat ada empat kriteria kekerasan seksual dalam perkawinan (Marital
Rape) yaitu:
1. Hubungan seksual dengan paksaan dan atau
kekerasan
2. Hubungan seksual dengan ancaman
3. Hubungan seksual dengan memperturutkan selera
/kehendak sendiri tanpa persetujuan korban
4. Hubungan seksual dengan meggunakan obat-obat
terlarang dan minuman beralkohol (untuk meningkatkan kemampuan seks laki-laki, tanpa
mempedulikan kemampuan dan /kehendak perempuan)[5]
Pada beberapa skala, di saat
seorang perempuan jatuh dalam jebakan, baik itu berupa kekerasan maupun kekejaman,
ia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menangis dan meratapi nasibnya, ia
kebingungan dan terjerat dan tidak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa
keluar untuk membebaskan diri.[6] Menurut
penulis, hal itu pula yang banyak terjadi pada seorang istri yang mengalami
tindak kekerasan seksual dari suaminya. Ia takut melaporkan tindakan kekerasan
suaminya ke pihak berwenang karena ia punya ketergantungan ekonomi padanya. Ia
bagaikan makan buah simalakama, disatu sisi jika dia tidak melapor ia akan makin
tersiksa karena tindakan kekerasan yang dilakukan merupakan sesuatu siklus yang
berulang. Disisi lainnya, jika bersedia melaporkan kekerasan yang dilakukan
suaminya, hal yang paling pahit yang akan terjadi adalah perceraian padahal
kehidupan ekonomi rumah tangga bergantung pada suami. Maka yang terjadi adalah
sang istri memilih untuk tetap bertahan pada hubungan yang didasarkan atas kekerasan.
Sumber: Skripsi
Rotiyal Umroh IAIN Walisongo
[1] UU KDRT No. 23
tahun 2004, hlm. 7
[2] Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, Hak Azasi Perempuan:
Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004, hlm. 55
[3] Ibid, hlm.
55
[4] Hasan Hatout, Panduan
Seks Islami, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004, hlm. 31
[5] Elli Nur Hayati, Kekerasan Seksual, dalam Irwan Martua
Hidayana, et.al, Seksualitas: Teori dan Realitas, Jakarta: Program Gender
dan Seksualitas FISIP UI bekerjasama dengan The Ford Foundation, 2004, hlm.
143
[6] Qasim Amin, The New Women, Terj. Syariful Alam, ”Sejarah
Penindasan Perempuan: Menggugat Islam Laki-laki, Menggurat Islam Perempuan”,
Yogyakarta: IRciSOD, 2003, hlm. 91
0 komentar:
Post a Comment