Garis Besar Pemikiran Mahatma Gandhi
Artikel terkait lainnya:
Latar belakang munculnya konsep Ahimsa Mahatma Gandhi
Pemikiran Mahatma Gandhi banyak dipengaruhi oleh lingkungan masa kecilnya yakni orang tuanya, desanya dan masyarakat sekitar. Lebih-lebih suasana religius Hinduisme yang menjiwai setiap orang India. Selama perjuanganya di Afrika Selatan, Gandhi mengembangkan lebih dalam keyakinan spiritualnya.
Pemikiran Mahatma Gandhi Sebenarnya tidak begitu kompleks; justru sebaliknya, Gandhi dengan tegas memilih kesederhanaan, tidak hanya dalam menjelaskan ajarannya tetapi juga dalam praktek hidup. Hal itu nampak pada konsepnya tentang Tuhan, alam dan kehidupan dunia.[1]
Konsep pemikiran Gandhi bersumber pada tradisi pemikiran India pada umumnya dan Hindu pada khususnya. Tradisi pemikiran India antara lain mempunyai kecenderungan yang bersifat spiritual, menempatkan intuisi sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran; bersifat monistis; selalu mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tradisional dan bersedia menerima komentar-komentar dari para pemikir.[2] Pemikiran tersebut mengacu pada coraknya yang bersifat kerohaniahan dan kesediaannya mengadakan adaptasi terhadap aliran-aliran pemikiran yang lain.
Pemikiran Mahatma Gandhi bertumpu pada pemikiran India dan ditumbuh kembangkan oleh pemikiran yang lain yang ia ketahui sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Hinduisme. Adapun konsep-konsep pemikirannya secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut :
Tuhan, sebagaimana yang ia yakini adalah kebenaran dan kasih. Tuhan adalah etika dan moralitas. Tuhan merupakan wujud universal yang meliputi segala sesuatu, dan manusia merupakan bagian terkecil. Konsep mengenai Tuhan sebagai realitas tidak dapat dipisahkan dari pemahaman Gandhi mengenai kebenaran. Gandhi meyakini bahwa eksistensi kebenaran/Tuhan tidak bisa dibuktikan, tetapi hanya bisa dihayati. Ia mengungkapkan bahwa sifat dan wujud Tuhan bukan personal dan mempribadi, melainkan impersonal dan hanya bisa ditangkap melalui keyakinan dan melalui pemahaman. Dia menulis “Di sini ada kekuatan misterius yang tidak bisa didefinisikan, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Saya merasakannya, meskipun tidak melihatnya”. Bukti lahiriah tentang Tuhan tidaklah perlu, karena kita pasti gagal merasakannya melalui indera kita. “ Musik ilahi tanpa hentinya akan mengalun dalam diri kita, tetapi perasaan kita yang gaduh akan menelan bunyi musik yang halus itu, yang bunyinya tidak sama dan jauh lebih tinggi dari apa pun yang dapat kita rasakan atau dengar dengan indera kita”.[3] Tuhan/kebenaran tidak bisa dicerap oleh panca indera yang seringkali menipu kita tetapi hanya bisa dirasakan melalui jiwa yang merupakan perwujudan kesucian atau fitrah dalam diri.[4]
Kehadiran Tuhan dapat dirasakan atau dilihat dari adanya realitas di hadapan kita, realitas alam yang teratur, sebagai contoh, bukanlah semata-mata keteraturan yang buta, sebab keteraturan itu mempunyai arah, hukum seperti itu dipahaminya sebagai Tuhan. Jalan menemukan Tuhan yaitu dengan melihat dan bersatu dengan ciptaan-Nya. Inilah kebenaran yang dimaksud Gandhi, dan bersatu, berdamai, selaras dengan ciptaan itu disebut sebagai ahimsa.[5]
Ahimsa tidak sebatas hanya pada keyakinan atau sikap saja, tetapi lebih merupakan suatu keseluruhan hidup yang ahimsa, yang meliputi pikiran, tindakan, dan ucapan. Ahimsa mencakup seluruh ciptaan, itu artinya bahwa orang harus berlaku secara ahimsa kepada siapa pun. Ahimsa ditujukan kepada mereka yang mempunyai keteguhan jiwa, bukan kepada mereka yang lemah dan suka kompromi. Hanya mereka yang mampu mengalahkan ketakutanlah yang sungguh-sungguh dapat memiliki ahimsa, sehingga benar-benar ia menjadi orang yang seluruh hidupnya hanya mau berpegang pada kebenaran atau Satyagraha.[6]
Menjadi Satyagrahi atau orang yang cinta akan kebenaran seseorang diwajibkan untuk melakukan tindakan disiplin diri dan sikap pengabdian, karena penekanannya pada pencapaian ketinggian moral. Untuk itu perlu melatih dan terus menerus dalam disiplin, kesadaran diri dan kebersihan lahir dan batin (Brahmacharya).
Sementara mengenai kebenaran dunia atau alam, adalah suatu ciptaan Tuhan yang digunakan sebagai lahan bagi manusia untuk mewujudkan dirinya dengan bimbingn moral. Gandhi beranggapan bahwa manusia hidup dalam arti yang sebenar-benarnya apabila bersatu dengan alam, karena hakikat manusia akan selalu berhubungan dengan alam atau dunia. Menurut keyakinannya hidup di dunia merupakan jembatan bagi kehidupan yang abadi, sejauah hal itu dimengerti secara sadar.[7]
Mengenai manusia, Gandhi berpendapat bahwa pada hakikatnya manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Manusia juga mempunyai kasadaran, rasio, kehendak, emosi dan rasa keindahan. Dengan kesadaran manusia dapat mengambil jarak dengan lingkungannya. Sementara rasio menyebabkan manusia sanggup bertanya dan menjawab terhadap kesadarannya. Selanjutnya dengan kehendak dapat direalisasikan apa yang menjadi pemikirannya. Dengan emosinya manusia dapat mengetahui suasana hati dan mengetahui hubungan antar sesama. Ahirnya dengan keindahan manusia dapat menghargai produk budaya bangsa bagaimana corak dan bentuknya.[8]
Artikel terkait lainnya:
Latar belakang munculnya konsep Ahimsa Mahatma Gandhi
[1] R. Wahana Wegig, “Menyongsong Hari Depan Bersama……….…..., hlm. 42.
[2] Wagiyo, M.S, “Makna Individu dan Masyarakat Menurut …………..., hlm.35.
[3] Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara……………. ., hlm 66.
[4] Ved Mehta, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, Kesaksian ………….., hlm. 331.
[5] R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi………..., hlm. 17.
[7] Wagiyo, “Makna Individu dan Masyarakat Menurut …………….., hlm. 35.
[8] Ibid.
0 komentar:
Post a Comment