Blog Berisi Seputar Artikel Terbaru | Aplikasi | Tutorial Komputer | Blogging | Info Penting

Pengertian Umum Suluk sebagai Sastra Kitab

1.Pengertian Suluk

            Penyebaran Islam ke Nusantara termasuk di Jawa tidak dapat dipisahkan dari pengaruh ajaran tasawuf. Pada umumnya ajaran tasawuf tersebut diajarkan oleh para da’i yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang tarekat. Hal ini berdampak positif terhadap berkembangnya karya sastra di Jawa, yaitu karya Islam santri dan karya Islam kejawen. Khusus untuk karya sastra Islam kejawen muncul apa yang sering disebut primbon , suluk, dan wirid.

            Khusus untuk istilah suluk hampir sama dengan tarekat, keduanya berarti jalan atau cara mendekati Tuhan untuk memperoleh ma’rifah. Hal ini dilakukan dengan latihan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kaidah tertentu dalam ajaran tasawuf, sedangkan orang yang menjalankan suluk ini disebut salik.[1] Kemudian pada perkembangan selanjutnya di Jawa istilah suluk mempunyai dua macam pengertian, suluk yang berarti nyanyian (tembang) yang dilagukan oleh dalang ketika akan memulai satu adegan (babak) dalam pertunjukan wayang,[2]dan suluk  yang berarti satu jenis karya sastra Islam kejawen berbentuk  puisi, ditulis dengan mengunakan tembang macapat  yang berisi berbagai aspek ajaran Islam. Salah satu aspek ajaran Islam yang menonjol dalam karya sastra suluk adalah tasawuf.

            Ditinjau dari asal usul bahasanya, suluk berasal dari kata dalam bahasa Arab, yaitu sulukun yang merupakan isim masdar dari salaka artinya, melalui atau menempuh jalan. Kemungkinan suluk berasal dari perkataan sulukun,  merupakan isim jama’ dari silkun, berarti benang atau tali yang digunakan untuk merangkai intan atau permata.[3] 

            Pengertian di atas yang berkaitan dengan arti kata suluk, yaitu menempuh jalan, dapat dihubungkan dengan ajaran tasawuf, yaitu berarti jalan yang harus dilalui untuk menuju kesempurnaan batin.[4] Sedangkan arti suluk yang berarti benang atau tali, mempunyai makna atau pengertian bahwa suluk merupakan salah satu khasanah kasusasteraan Jawa. Menurut Faqir Abdul Haq, karya puisi yang berisi ajaran tasawuf ini digubah dengan maksud agar dipakai sebagai petunjuk yang menjadi tali pengikat atau penghubung antara makhluk dengan khaliknya atau bisa jadi merupakan petunjuk tentang jalan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk sampai pada makrifat Tuhan.[5] Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat An-Nahl: 69 /16:69 yang artinya :

“Tempuhlah jalan Tuhanmu yang dimudahkan bagimu…”.[6]

Beberapa ahli tasawuf memberi tafsiran lain terhadap ayat di atas. Di  antaranya ada yang memberi arti “maka bersuluklah kamu…”, dan menjadikannya sebagai salah satu dasar bagi ajaran tasawuf.[7]

            Kemudian hakikat suluk itu sendiri dalam ilmu tasawuf adalah mengosongkan diri dari sifat mazmumah (buruk) yaitu dari maksiat lahir dan batin, dan mengisinya dengan sifat-sifat yang mahmudah (terpuji). Dalam bersuluk disyari’atkan untuk melakukan sebuah perjalanan spiritual yang panjang dengan berbagai maqamnya, yang akhirnya akan memperoleh tujuan yang dikehendaki, yakni kesempurnaan Iman.[8]

            Mengenai sejak kapan istilah suluk dipakai untuk menamai karya sastra Jawa yang bercorak tasawuf, belum dapat diketahui dengan pasti. Namun, dalam khasanah sastra Melayu Klasik, istilah suluk ini sudah dipakai sebagai nama lain dari tasawuf. Sementara itu, para penganutnya disebut ahlus suluk. Untuk itu, dibawah ini akan dibicarakan mengenai suluk sebagai karya sastra yang berkembang di Jawa.

2.Suluk Sebagai Sastra Kitab

            Bentuk suluk yang muncul dalam kasusasteraan Jawa tidaklah sama dengan suluk yang muncul dalam tarekat. Suluk  telah terakulturasi dengan ide-ide mistik Hindu Jawa. Makna suluk tersebut telah bergeser dan tidak terkait lagi dengan dunia tarekat, namun telah berkembang menjadi sebuah bentuk kasusasteraan.[9]

Suluk sebagai karya sastra Jawa dimulai semenjak Majapahit berada diujung kehancuran yang ditandai dengan kekacauan politik. Hal inilah kemudian yang memudahkan unsur-unsur Islam masuk dengan mewarnai dan mempengaruhi tradisi masyarakat Jawa. Pada saat Majapahit berada dalam puncak kejayaan, sebenarnya sudah ada beberapa orang yang memeluk Islam di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Mereka ini yang kemudian di samping berdagang, juga menjalankan dakwah Islam di kalangan masyarakat. Dalam penyebaran Islam ini, pada awalnya belum dapat menembus wilayah kerajaan, Islam mulai tersebar dari lapisan bawah, yaitu di daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisiran yang kemudian melahirkan lingkungan budaya baru yang berpusat di pesantren.[10] Baru kira-kira abad ke-16 M, dakwah Islam mulai menembus benteng-benteng istana, yaitu melalui unsur-unsur Islam yang telah meresap dan mewarnai sastra budaya istana, didukung oleh masuk Islamnya kalangan priyayi. Dengan demikian, maka munculah kitab-kitab berbahasa Jawa yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan keislaman.[11]

            Para priyayi, para cendekiawan dan para sastrawan berusaha mempertahankan warisan budaya istana dan mengembangkannya dengan menyesuaikan unsur-unsur Islam. Dalam zaman Hindu, para priyayi, cendekiawan dan sastrawan berhasil mengembangkan kebudayaan istana dengan memanfaatkan unsur-unsur Hinduisme dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Cerita tersebut telah mengilhami berbagai macam lahirnya sejumlah karya sastra dan seni pewayangan yang mendukung serta memperluas wibawa raja dan kaum priyayi sebagai sendi dasar stabilitas kebesaran negara pada masa itu. [12]

Demikian juga ketika Islam mulai menyebar dengan berdirinya Kerajaan Demak, maka para priyayi, para cendekiawan dan para sastrawan berusaha menyadap unsur-unsur baru  dari kitab-kitab yang bersumber pada lingkungan pesantren. Hal ini sebagai sarana untuk memperkaya khazanah Budaya Jawa dan untuk mengembangkan karya-karyanya, sehingga lahirlah berbagai macam serat, suluk, wirid, primbon, dan gubahan kisah-kisah yang berasal dari tradisi pesantren baik yang berasal dari bahasa Arab maupun Melayu.[13]

            Mengenai sejak kapan sastra suluk mulai digunakan di kalangan sastra Islam Jawa belum diketahui secara pasti. Namun menurut sejumlah sumber kasusasteraan Jawa, penggunaan suluk dimulai  sejak awal abad enambelas. Hal ini dapat dilihat pada penemuan manuskrip yang disebut sebagai Het Boek Van Bonang atau  Een Javaanse Primbon Uit De Zestiende Eeuw (Kitab Sunan Bonang atau Primbon Abad Keenambelas). Di samping itu, terdapat serat Suluk Sukarasa dan Suluk Wujil, yang menurut Poerbotjaraka, suluk ini merupakan manuskrip tertua dalam literatur Jawa.[14]

             Perkembangan sastra suluk, serat-serat babad, primbon dan cerita-cerita keislaman  yang digubah dan disesuaikan dengan wayang Hindu Jawa makin subur pada zaman pemerintahan Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung telah berhasil menyelaraskan dan berusaha menutup jurang perbedaan yang menyebabkan konflik antara tradisi budaya pesantren dengan kejawen, yaitu dengan mengkompromikan unsur-unsur Islam ke dalam tradisi seni budaya kejawen di lingkungan istana.[15]

 Kebangkitan perkembangan kasusasteraan Jawa, khususnya suluk mengalami puncak kejayaan di bawah kekuasaan Surakarta. Saat itu, diangkat para pegawai khusus di kalangan istana yang disebut pujangga. Mereka merupakan pegawai yang diberi posisi terhormat dalam istana kerajaan dengan pangkat  Tumenggung. Mereka mengadakan pembaharuan kitab-kitab berbahasa Jawa kuno ke dalam bahasa Jawa baru. Mereka juga mengambil unsur-unsur Islam yang terdapat dalam literatur-literatur Arab yang berpusat di pesantren, untuk digubah kedalam bahasa dan tulisan Jawa serta dipadukan dengan alam pikiran Jawa. Perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan Jawa ini telah menumbuhkan karya baru dalam kasusasteraan Jawa. Contoh dari kitab-kitab baru, misalnya Kitab Centini, serat wirid Hidayat jati, Wulangreh, Wedhatama, dan suluk-suluk yang lain seperti Suluk Sujinah, Suluk Syeh Ngabdulsalam, Suluk Permusyawaratan wali dan sebagainya.[16]

            Lebih lanjut, berkembangnya kreasi seni budaya dan karya sastra Jawa adalah sebagai bentuk kompensasi dari hilangnya kedaulatan kerajaan oleh pemerintah kolonial Belanda. Apalagi setelah kerajan Mataram terpecah dan Belanda berkuasa penuh, tidak ada lagi aktivitas politik yang dapat diperhitungkan. Kemudian kerajaan mengarahkan perhatiannya pada penulisan sastra Jawa dalam upaya mengungkapkan budaya Jawa kuno. Drewes mengatakan bahwa masa itu merupakan masa paling produktif bahkan masa kebangkitan sastra yaitu periode antara 1757-1881.[17]

            Karya-karya suluk tersebut rata-rata tersusun dalam bentuk dialog atau tanya jawab antara dua orang pelaku atau lebih tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan keagamaan. Biasanya, bentuk dialognya adalah tanya jawab antara guru dengan murid, atau orang tua dengan anaknya, dengan cucunya, atau mungkin seperti dalam Suluk Sujinah ini, adanya dialog antara seorang suami dengan istrinya.

            Untuk penamaan atau pemilihan judul dari sebuah karya suluk biasanya diambil dari nama salah seorang pelaku dalam karya suluk yang bersangkutan, atau mengambil topik pembicaraan antara tokoh-tokohnya. Dalam hal ini, Suluk Sujinah, Suluk Wujil dan Suluk Sukarasa termasuk kedalam kelompok pertama, sementara Suluk Sangkanparan, Suluk Musyawaratan Para Wali dan banyak suluk yang lain tergolong dalam kelompok kedua. Namun tidak jarang dijumpai terdapat karya suluk yang sama sekali tidak mempunyai nama judul. Karena kebanyakan dari suluk-suluk jenis ini kerap kali terkumpul dalam suatu bendel suluk baik yang mempunyai nama atau tidak.

Pada waktu itu, banyak sastrawan dan pujangga menyalin sebuah karya sastra yang sudah ada dan kemudian disesuaikan dengan latar belakang kehidupan  penyalinnya, sehingga banyak dijumpai karya-karya sastra yang sama dalam pertumbuhan khazanah kasusasteraan Jawa.

[1] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat  ( Solo: CV. Ramadhani, 1985), hlm. 121.

[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia  (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 866.

[3] Louis Ma’luf,  Al-Munjid  (Beirut: Dar al-Masyriq, 1975), hlm. 347.

[4] Atjeh, Pengantar, hlm 121.

[5] Sindu Galba, Sri Mintosih, dkk., Suluk Sujinah (Jakarta: Dep. Dik. Bud. Dirjen.Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1992), hlm. 3.

[6] Departemen Agma R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1983), hlm. 412.

[7] Musthafa Zuhri, Kunci Memahami Tasawuf  (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979), hlm.160.

[8] Asywadie Syukur, Ilmu Tasawuf I  (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1982), hlm. 59.

[9] Masdar Hilmy, “Suluk dalam sastra Jawa”, Rindang (Semarang: Penerbit Yayasan Kesejahteraan Karyawan Kantor Wilayah Depag. Prop. Jawa Tengah, No. 8 TH. XXIII Maret 1998),  hlm. 47.

[10] Muzairi, dkk., “Aspek Kitab Kuning dalam Suluk Centini” (Yogyakarta: Proyek PTA. IAIN Sunan Kalijaga, 1995/1996), hlm.73.

[11] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa  (Bandung: Teraju, 2003),  hlm. 90.

[12] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogjakarta: Gadjah Mada University press,1998), hlm. 81.

[13] Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 1996), hlm.127.

[14] Hilmy, “Suluk ”, hlm. 48

[15] Simuh,  Islam, hlm. 94.

[16] Simuh, Sufisme, hlm. 151-152.

[17] M.Jandra, “Pergulatan Islam dengan Budaya Jawa yang tercermin dalam Naskah Serat Puji I” dalam Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta II  (Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia &IAIN Sunan Kalijaga, 2001), hlm 15.

Pengertian Umum Suluk sebagai Sastra Kitab Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Kang Hikam

1 komentar:

  1. Berarti gan, sastra suluk itu merupakan bagian dari sastra islam y ??

    ReplyDelete