Pada dasarnya suatu negara memiliki wewenang untuk menerapkan undang-undang pidana terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di wilayah teritorial, baik pelakunya sebagai warga negara tersebut maupun bukan. Hal ini dikarenakan setiap negara yang berdaulat wajib menjamin ketertiban hukum yang terjadi di wilayahnya. Selain itu setiap negara yang berdaulat mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan kedaulatan di wilayah negara lain.
Pembagian negara atau sistem pemerintahan kepada dar as-salam dan dar al-harb bukan berarti hanya ada dua sistem pemerintahan dalam Islam. Pembagian ini lebih dimaksudkan pada pembagian wilayah sebagai wilayah yang aman – dar as-salam - bagi umat Islam dan yang kedua sebagai wilayah permusuhan/perang – dar al-harb - bagi kaum muslimin. Selain itu, pembagian negara dimaksudkan untuk menentukan hukum yang berlaku di kedua bentuk negara tersebut.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kedaulatan Teritorial. Negara-negara Islam, meskipun berbeda dalam sistem pemerintahan dianggap sebagai satu negara (dar) dikarenakan negara-negara Islam, dalam masalah penerapan hukum mempunyai asas yang sama, yaitu berlandaskan syariat Islam. Dari segi ini, negara-negara Islam mempunyai satu kesatuan hukum dan oleh karenanya tiap dar as-salam dianggap sebagai wakil bagi dar as-salam yang lain dalam penerapan hukum pidana.
Pandangan ini tidak berbeda terhadap dar al-harb, seluruh negara yang tidak menerapkan ketentuan syariat Islam dianggap sebagai dar al-harb, meskipun negara-negara tersebut mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda. Berdasarkan hal ini pula dapat disimpulkan bahwa dalam masalah penerapan hukum dapat di tentukan oleh batas-batas wilayah negara – serta sistem hukum yang berlaku di dalamnya - dan juga berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kedaulatan Teritorial. Dalam hukum pidana Islam dikenal beberapa kaidah[1] mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masalah pidana. Kaidah-kaidah ini merupakan pedoman dalam pelaksanaan maupun pengguguran hukuman. Selain itu, kaidah-kaidah ini juga sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengetahui hak milik serta batasan-batasannya.
Kaidah-kaidah ini di antaranya adalah:
لا عقوبة ولا جريمة إلاّ بالنّصّ [2]
Ketentuan mengenai termasuk atau tidaknya suatu perbuatan dalam jarimah haruslah menurut nas (al-Qur’an dan Hadits). Berdasarkan hal ini, kejahatan-kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan pidana Islam telah diatur oleh nas yang merupakan rukun Syari’ dalam pidana Islam. Adapun ketentuan mengenai nas adalah bahwa nas tersebut harus berlaku – tidak dimansukh - ketika dilakukannya perbuatan. Yang kedua adalah bahwa nas tersebut harus berlaku – dapat menjangkau - di tempat terjadinya perbuatan. Ketentuan selanjutnya adalah bahwa nas harus berlaku bagi pelaku atau nas tersebut merupakan peraturan yang mengikat baginya.
Kaidah yang kedua adalah:
جميع المقيمين في دار الإسلام بلا استثناء متساوون أمام الشّريعة [3]
Dari kaidah ini dapat dijelasakan bahwa seluruh umat muslim di dar as-salam memiliki hak serta kewajiban yang sama meskipun mereka berasal dari wilayah yang berbeda. Persamaan dalam hukum, juga mencakup setiap orang non-muslim yang berada di dar as-salam dikarenakan mereka ketika berada di dar as-salam, juga memiliki hak serta kewajiban sebagaimana penduduk muslim.
Kaidah ketiga berbunyi:
ليس لأيّ كان حقّ العفو عن الجرائم الّتى تتعلّق بحقّ الله, والّتي تدعى جرائم الحدود [4]
Bahwa para pemimpin dan siapa saja di dar as-salam tidak mempunyai hak untuk memaafkan suatu kejahatan hudud. Tidak adanya hak untuk memaafkan atau menggugurkan hukuman juga berlaku terhadap korban dan orang yang menjadi wali korban.
Dalam penerapan teori para imam madzhab mengenai ruang lingkup berlakunya ketentuan pidana, perbedaan atau banyaknya negara Islam – dengan sistem pemerintahan yang berbeda – bukan merupakan satu hambatan. Bila teori Imam Abu Hanifah diterapkan oleh suatu negara (dar as-salam), maka setiap orang – muslim maupun zimmiy - yang berbuat jarimah di negara tersebut berhak mendapat hukuman atas pelanggaran yang dilakukan, baik sebagai penduduk tetap maupun penduduk dar as-salam lainnya.
Abu Hanifah berpendapat bahwa setiap anggota masyarakat dari negara Islam – dengan ke-Islaman maupun akad zimmah - merupakan warga dari negara tersebut. Oleh karenanya setiap penduduk muslim dari suatu negara Islam, tidak dianggap sebagai warga asing di negara Islam lainnya dan baginya berlaku ketentuan yang sama dalam masalah hukum. Terhadap mereka berlaku ketentuan pidana Islam di negara Islam di mana ia berada.
Dalam masalah penerapan hukum, selain berdasarkan kewarganegaraan[5] – dengan ke-Islaman maupun berdasarkan akad zimmah – Abu Hanifah mensyaratkan adanya kedaulatan terhadap tempat. Bila seorang harbiy masuk Islam di negaranya dan belum pindah atau berhijrah ke dar as-salam maka, hukum pidana Islam tidak dapat menjangkau[6] atau tidak berlaku bagi kejahatan yang ia lakukan di negaranya (dar al-harb).
Hal ini dikarenakan ketika ia melakukan kejahatan, ia berada di wilayah yang di dalamnya tidak ada kedaulatan negara Islam yang mengakibatkan tidak adanya kemampuan bagi penguasa dar as-salam untuk memberlakukkan serta memberi hukuman kepada pelaku sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Aspek tempat inilah yang kemudian menjadi titik tolak dalam penerapan hukum pidana Islam dalam
teori Abu Hanifah mengenai ruang lingkup berlakunya hukum pidana.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kedaulatan Teritorial. Berdasarkan hal ini pula jika seorang penduduk dar as-salam melakukan suatu kejahatan – dalam pandangan hukum Islam – di dar al-harb maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam melainkan dihukumi berdasarkan hukum pidana yang berlaku di dar al-harb. Negara tersebut (dar al-harb) dapat memberlakukan hukum pidana yang berlaku berdasarkan asas teritorial yang dianut oleh negara tersebut dan jika menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu kejahatan.
Keberadaannya penduduk dar as-salam di dar al-harb meniadakan kewajiban bagi penguasa untuk memberi hukuman terhadapnya. Begitu juga sekembalinya ia ke dar as-salam, kejahatan yang ia lakukan di dar al-harb tidak mengharuskan ia mendapat hukuman di karenakan ketika ia melakukan kejahatan tersebut ketentuan pidana Islam (nas) tidak menjangkau apa yang ia lakukan.
Berkaitan dengan penerapan teori Abu Hanifah terhadap seorang muslim yang menjadi penduduk dar al-harb, hijrahnya seorang harbiy yang telah masuk Islam dari dar al-harb ke dar as-salam dijadikan syarat keweganegaraan dar as-salam menurut Abu Hanifah. Selama ia belum pindah ke dar as-salam maka hukum pidana Islam belum berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran yang ia lakukan di dar al-harb.[7] Hukum pidana yang mengikat baginya adalah hukum pidana yang berlaku di negara tersebut.
Negara Islam, meskipun bukan negara nasionalis,[8] namun tetap membatasi kewarganegaraan hanya bagi mereka yang menetap di wilayah dar as-salam dan orang-orang yang telah berhijrah ke dalamnya. Firman Allah dalam al-Qur’an:
إنّ الّذين آمنوا وهاجروا وجاهدوا بأموالهم وأنفسهم في سبيل الله والّذين أووا وّنصروا أولئك بعضهم أولياء بعض والّذين أمنوا ولم يهاجروا ما لكم من وّلايتهم من شيء حتّى يهاجروا وإن استنصروكم في الدّين فعليكم النّصر إلاّ على قوم بينكم وبينهم ميثاق والله بما تعملون بصير[9]
Pada ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai kepala negara Islam, dibebaskan dari segala macam tanggung jawab terhadap orang-orang muslim yang bukan warga negara dari negara Islam.[10]
Ketentuan mengenai bolehnya setiap dar as-salam untuk menerapkan hukum Islam terhadap seorang penduduk dar as-salam di dar as-salam yang lain, berlaku selama pelanggaran yang dilakukan belum diadili oleh salah satu dar as-salam – yang menjadi asal pelaku, dar as-salam yang menjadi tempat dilakukannya perbuatan maupun dar as-salam yang menjadi tempat pelarian bagi pelaku. Begitu juga bila pelanggaran yang dilakukan telah dijatuhi bukan berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, pelanggaran tersebut harus kembali diadili dengan ketentuan syariat Islam di dar as-salam yang bermasud untuk mengadili.
Mengenai para musta’min, Abu Hanifah berpendapat bahwa ketentuan pidana Islam tidak berlaku kecuali terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan hak-hak individu selain hudud dan qisas. Oleh karenanya, seorang musta’min yang melakukan suatu kejahatan yang berkaitan dengan hak-hak jama’ah atau hak Allah di dar as-salam tidak dapat dikenai hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam. Hal ini dikarenakan keberadaan seorang musta’min di dar as-salam adalah dalam rangka bermu’amalah seperti berdagang atau lainnya.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kedaulatan Teritorial. Dalam hukum pidana positif, penerapan hukum pidana suatu negara terhadap kejahatan yang terjadi di dalam batas-batas wilayah negara didasarkan atas asas teritorial. Tidak ada ketentuan tentang kejahatan seperti apa yang tunduk pada asas teritorial suatu negara. Dalam KUHP Indonesia hanya disebut ketentuan umum bahwa undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia.[11]
Penerapan hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini berlaku umum, dalam artian bahwa setiap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial Indonesia tunduk pada perundang-undangan pidana nasional. Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan suatu kejahatan di wilayah yuridiksi Indonesia tanpa memandang kewarganegaraan pelaku.
Asas teritorial dilandasi oleh bermacam prinsip yang di antaranya adalah bahwa kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara harus diatasi oleh negara dimana kejahatan itu terjadi. Pertimbangan lainnya adalah bahwa negara yang menjadi tempat terjadinya kejahatan adalah negara yang – di anggap - memiliki kepentingan paling kuat, memiliki fasilitas paling baik serta memiliki perangkat paling kuat untuk menerapkan hukum pidananya terhadap kejahatan yang dilakukan baik oleh warga negaranya maupun oleh oleh orang-orang asing yang berada di wilayahnya.[12]
Selain memiliki hak serta kekuasaan terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial, suatu negara – dalam pandangan hukum internasional – juga memiliki hak-hak istimewa bagi duta-duta diplomatiknya di negara lain.[13] Hak istimewa ini dapat dinikmati berupa hak immunitas atau kekebalan hukum terhadap yuridiksi sebuah negara.
Hal ini mengakibatkan adanya pengecualian bagi mereka yang memiliki hak tersebut dalam penerapan hukum pidana suatu negara. Dengan kata lain, mereka yang mendapat hak immunitas, meskipun mereka melakukan suatu kejahatan di wilayah teritoir Indonesia, hukum pidana Indonesia tidak dapat di terapkan terhadap mereka.[14]
Dengan adanya pengecualian ini maka dapat disimpulkan bahwa meskipun setiap negara berdaulat memiliki hak untuk memberlakukan hukum pidana nasionalnya terhadap pelaku kejahatan di wilayahnya, dengan adanya pengecualian bagi mereka yang mendapat hak immunitas, penerapan hukum pidana berdasarkan asas teritorial tidak berlaku secara mutlak. Dalam penerapannya, asas ini dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut hukum internasional.
Wilayah yang termasuk teritorial, selain wilayah tanah adalah wilayah perairan dan udara. Ini merupakan perluasan bagi berlakunya hukum pidana dari segi tempat. Dengan adanya perluasan ini maka, kejahatan yang terjadi di dalam kendaran air dan juga pesawat Indonesia tunduk pada perundang-undangan pidana Indonesia.[15]
Dalam penerapannya, tidak semua kapal atau perahu dianggap sebgai perpanjangan dari wilayah teritorial. Hanya kapal yang berada di lautan terbuka yang di dalamnya dapat ditegakkan kedalatan teritorial. Berdasarkan hal ini, setiap kejahatan yang dilakukan di atas kapal berbendera Indonesia, tunduk pada ketentuan hukum pidana Indonesia.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kedaulatan Teritorial. Berdasarkan hal ini setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang penduduk dar as-salam di Indonesia atau di negara yang menerapkan hukum pidana positif serta mengakui adanya asas teritorial baik dilakukan di wilayah tanah, perairan maupun udara dan juga dalam perahu dan pesawat udara Indonesia maka terhadap kejahatan tersebut dapat diberlakukan hukum pidana yang berlaku di Indonesia atau negara yang menerapkan hukum pidana positif. Adapun ketentuan hukum pidana Islam dalam hal ini tidak dapat diberlakukan dikarenakan keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar as-salam. Berdasarkan hal ini pula negara tempat dilakukannya perbuatan – dar al-harb – dapat memberlakukan hukum yang berlaku berdasarkan asas teritorial. Hal ini apabila perbuatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam tersebut dianggap sebagai kejahatan dalam hukum pidana positif.
Persamaan antara teori Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum pidana positif adalah pada adanya penekanan terhadap tempat sebagai dasar bagi pemberlakuan ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan. Dalam pendapat Abu Hanifah, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya ketentuan jarimah terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik pelakunya seorang muslim maupun zimmiy. Ini merupakan suatu keharusan bagi tiap negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayahnya. Selama kejahatan tersebut terjadi di dalam batas-batas wilayah negara, maka hukum pidana yang berlaku dapat menjangkau serta berlaku terhadap pelaku. Oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku bagi kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar as-salam.
Selain itu, tidak diberlakukannya hukum pidana bagi kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb, melainkan diberikannya wewenang kepada penguasa dar al-harb untuk melaksanakan hukuman kepada pelaku berdasarkan asas teritorial yang berlaku merupakan ketentuan yang timbul akibat dari disyaratkannya kedaulatan/kekuasaan terhadap tempat dalam penerapan hukum pidana.
Mengenai para kepala negara dan para konsul yang berada atau sedang berkunjung di dar as-salam, seperti halnya seorang musta’min yang bebas dari ketentuan pidana terkecuali terhadap pelanggaran yang menyangkut hak individu. Pendapatnya ini seperti di berlakukannya hak immunitas bagi para kepala negara asing dan para konsul dalam teori hukum pidana positif, hanya saja dalam hukum positif ketentuan mengenai tidak berlakunya hukum pidana nasional terhadap mereka berlaku secara mutlak, dalam artian bahwa hukum pidana nasioanal tidak berlaku bagi mereka dalam keadaan bagaimanapun. Adapun hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku di negara mereka. Hak penuntutan serta pengadilan diserahkan kepada negara tersebut.
Mengenai para konsul negara asing di dar as-salam, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku bagi seorang musta’min. dengan demikian, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang menyangkut hak individu. Ini merupakan perbedaan antara pendapat Abu Hanifah dengan hukum pidana positif mengenai para konsul negara asing.
Berdasarkan teori Abu Hanifah, suatu negara Islam dapat memberlakukan hukum pidana Islam dalam kapal maupun perahu milik – berbendera – negara tersebut. Seperti halnya markas-markas tentara muslim di medan perang yang dianggap sebagai wilayah kedaulatan dar as-salam, begitu juga terhadap kapal/perahu milik suatu dar as-salam.. Berdasarkan pendapat Abu Hanifah yang menekankan adanya kekuasaan terhadap tempat maka kapal tersebut dapat dianggap sebagi perluasan bagi wilayah dar as-salam dan oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku terhadap kejahatan yang terjadi di dalamnya baik pelakunya sebagai warga dar as-salam maupun warga dari negara yang menerapkan hukum pidana positif seperti halnya Indonesia.
[1] Mengenai kaidah-kaidah ini lihat Sa’id Hawwa, Al-Islam (t. tp: t. p., 1979), hlm. 567-584.
[2] Ibid., hlm. 567.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Yusuf Qardhawi menulis bahwa nasionalisme tidak terletak pada batas wilayah geografis melainkan pada aqidah. Dari pendapatnya ini dapat difahami bahwa meskipun umat Islam berada di wilayah yang berbeda, akan tetapi mereka dianggap satu dalam masalah nasionalisme, yaitu nasionalisme yang berdasarkan akidah Islam, Menyatukan Pikiran Para Pejuang Islam, alih bahasa Ali Makhtum Assalamy (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), hlm. 97.
[6] Tidak dapat diterapkannya ketentuan pidana Islam terhadap seorang muslim yang melakukan suatu jarimah di dar al-harb, dikarenakan hukuman tidak dapat ditegakkan terghadap pelaku yang keberadaannya tidak terjangkau oleh penguasa dar as-salam. Dengan tidak terjangkaunya pelaku oleh penguasa maka, kejahatan yang dilakukan tidak dapat dihukumi berdasarkan ketentuan pidana Islam.
[7] Mengenai kewarganegaraan dalam Islam lihat misalnya Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqie, Hukum antar Golongan…., hlm. 43-45.
[8] Syaukat Hussain menyebutnya sebagai negara ideologis. Masyarakat dalam negara ini diklasifikasikan pada dua kelompok yaitu muslim (yang percaya pada ideologi negara) dan warga non-muslim (yang tidak percaya pada ideologi negara), Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 75.
[9]Al-Anfal (8): 72.
[10] Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam…., hlm. 21.
[11] Pasal 2 KUHP.
[12] J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 277.
[13] Hak-hak lainnya yang melekat bagi sebuah negara merdeka di antaranya adalah kekuasaan eksklusif untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan dalam negeri, kekuasaan untuk memberi izin masuk dan mengusir orang-orang asing dan juga sebuah negara dianggap memiliki yuridiksi tunggal terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi/dilakukan di wilayah teritorial negara tersebut. Lihat Ibid., hlm. 133.
[14] Pengecualian bagi berlakunya hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini tercantum dalam Pasal 9 KUHP.
[15] Pasal 3 KUHP sebagai perluasan bagi berlakunya perundang-undangan hukum pidana Indonesia sebagai mana tercantum dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1976.
0 komentar:
Post a Comment