Penerapan teori Imam Abu Yusuf mengenai ruang lingkup berlakunya ketentuan hukum pidana Islam, selain ketentuan-ketentuan di atas – pendapat Abu Hanifah[1] – maka, terhadap orang-orang asing – musta’min - yang berada di dar as-salam, harus dihukumi berdasarkan ketentuan pidana Islam jika mereka melakukan salah satu pelanggaran pidana di dar as-salam mana saja ia berada. Begitu juga bila ia telah dihukumi tidak berdasarkan ketentuan pidana Islam maka ia harus kembali diadili dengan ketentuan pidana Islam.
Hal ini berdasarkan pendapatnya mengenai para musta’min yang berkunjung ke dar as-salam, yaitu bahwa bagi mereka berlaku ketentuan pidana Islam seperti halnya seorang zimmiy. Menurut pendapatnya bahwa bagi seorang musta’min berlaku ketentuan hukum Islam dalam segala kejahatan, bukan hanya dalam masalah kejahatan yang menyangkut hak individu.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kewarganegaraan (Nasionalitas). Perbedaan pendapat antara keduanya hanya berkisar pada penerapan hukum riba yang dilakukan oleh seorang muslim dan maupun dengan penduduk dar al-harb yang tidak berhijrah ke dar as-salam. Meskipun akad riba tidak diharamkan di dar al-harb, akan tetapi bagi seorang muslim, akad tersebut merupakan akad yang diharamkan maka, perbuatan ini tidak boleh dilakukan meskipun di dar al-harb.
Perbedaan yang kedua adalah mengeni seorang muslim atau zimmiy yang melakukan pembunuhan terhadap seorang muslim yang berada di dar al-harb – belum hijrah ke dar as-salam. Abu Hanifah berpendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan tersebut tidak dapat diterapkan ketentuan qisas dan juga diyat, sedangkan Abu Yusuf berpendapat bahwa terhadap pelaku tetap dapat diterapkan hukuman berupa diyat.
Berdasarkan ketentuan ini maka terhadap kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar as-salam maka tunduk terhadap hukum pidana Islam. Hal ini disebabkan terhadap setiap kejahatan yang terjadi di wilayah dar as-salam berlaku hukum pidana Islam tanpa melihat kewarganegraan pelaku, baik ia sebagai warga dar as-salam maupun warga dar- al-harb. Dalam hal ini negara Indonesia memberikan wewenang kepada dar as-salam untuk mengadili serta menuntut pelaku meskipun ia merupakan warga Indonesia.
Penerapan hukum pidana, dalam konteks kedaulatan negara yang berkaitan dengan kewarganegaran pelaku, maka asas nasionalitas (kewarganegaraan) merupakan landasan hukum bagi suatu negara untuk menerapkan hukum pidana terhadap warganya terlepas di mana locus delicti itu berada.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kewarganegaraan (Nasionalitas). Berbeda dengan penerapan hukum pidana berdasarkan asas teritorial, penerapan hukum pidana berdasarkan asas kewarganegaraan dalam hukum pidana positif, tergantung pada kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa hukum. Penerapan hukum pidana terhadap individu dapat dibenarkan bila orang tersebut berada dalam kekuasaan negara (sebagai warga negara).[2] Berdasarkan ketentuan ini, kewarganegaraan pelakulah yang menjadi ukuran untuk dapat tidaknya hukum pidana suatu negara diberlakukan terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana di suatu negara selain wilayah teritorial negara kebangsaan. Kewarganegaraan merupakan satu-satunya hubungan antara individu dengan negara yang menjamin bahwa terhadapnya dapat diberikan hak dan kewajiban dalam hukum internasional.
Penerapan hukum pidana terhadap warga negara dalam praktek hukum internasional, pada dasarnya diterapkan berdasarkan asas kewarganegaran (nasionalitas) aktif dan asas kewarganegaraan (nasional pasif).
Berdasarkan asas kewarganegaran aktif, negara dapat menerapkan aturan perundang-undangan pidana terhadap warganegaranya. Dengan diakuinya asas ini sebagai salah satu pedoman dalam pelaksanaan/penerapan hukum pidana maka, setiap warganegara terikat oleh perturan pidana negaranya di manapun ia berada.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kewarganegaraan (Nasionalitas). Mengenai penerapannya, dalam KUHP Indonesia ditentukan mengenai berlakunya ketentuan pidana Indonesia terhadap warganegara Indonesia yang melakukan kejahatan-kejahatan tertentu di luar wilayah Republik Indonesia.[3] Kejahatan yang tunduk pada asas nasionalitas aktif adalah berupa pelanggaran terhadap negara,[4] pelanggaran tehadap martabat Presiden dan Wakil Presiden,[5] penghasutan,[6] menyebarluaskan tulisan dengan tujuan untuk menghasut,[7] dengan sengaja membuat diri maupun orang lain menjadi tidak cakap untuk memenuhi kewajiban militer[8] dan kejahatan perampokan (pembajakan) di laut.[9]
Kejahatan-kejahatan ini merupakan kejahatan yang tunduk terhadap ketentuan perundang-undangan pidana Indonesia meskipun pelaku – yang merupakan warga negara Indonesia - berada di luar wilayah kedaulatan Indonesia. Berdasarkan hal ini pula setiap kejahatan – tertentu – yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar as-salam maka hukum pidana Indonesia dapat diberlakukan kepada pelaku dengan meminta kepada penguasa dar as-salam untuk menyerahkan pelaku kepada penguasa Indonesia untuk dihukumi berdasarkan ketentuan hukum pidana Indonesia.
Untuk menghindari pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain – di mana pelaku berada – maka kejahatan-kejahatan tersebut juga harus dianggap sebagai kejahatan di negara yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan hingga dalam penyelesaian terhadap salah satu pelanggaran ini dapat ditempuh jalur ekstradisi.[10]
Hukum pidana merupakan sistem aturan yang mengatur semua tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh warga negara. Pelarangan tersebut dikarenakan perbuatan-perbuatan tertentu dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia, kepentingan masyarakat umum dan kepentingan pemerintahan dan negara.[11]
Adapun asas kewarganegaraan pasif, prinsip ini membenarkan sebuah negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik ia warga Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kewarganegaraan (Nasionalitas). Dasar yang merupakan pembenar asas nasional pasif adalah bahwa negara berhak melindungi warga negaranya yang berada di luar wilayah teritorial negara tersebut. Berdasarkan hal ini pula, jika negara teritorial yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan tidak melakukan atau tidak menerapkan hukum pidananya terhadap pelaku maka, negara yang merupakan negara kebangsaan korban, dianggap memiliki wewenang terhadap kejahatan tersebut untuk memberlakukan hukum pidananya.[12] Adanya asas ini juga sebagai upaya untuk melindungi negara dari ancaman yang datang/dilakukan di luar wilayah negara tersebut oleh orang-orang asing.[13]
Dalam prakteknya, asas nasional pasif ini diberlakukan terhadap kejahatan-kejahatan yang dapat mengancam keamanan negara yang berupa penyerangan dengan maksud menghilangkan nyawa Presiden atau Wakil Presiden,[14] makar atau perbuatan untuk merusak kedaulatan negara[15] dan dengan maksud meruntuhkan pemerintahan negara,[16] kejahatan mata uang,[17] kejahatan pemalsuan surat-surat utang atau sertifikat utang yang ditanggung pemerintah Indonesia, pemalsuan talon, surat utang sero atau menggunakan surat palsu,[18] kejahatan pelayaran[19], kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana /prasarana penerbangan.[20]
Kejahatan-kejahatan yang tersebut di atas merupakan kejahatan yang dapat menimbulkan ancaman terhadap integritas bangsa selain kerugian dalam bidang ekonomi. Oleh karenanya asas ini di sebut juga sebagai asas perlindungan.
Hal ini dapat diterima karena melihat besarnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan-kejahtan tersebut. Selain itu, apabila hukum pidana nasional tidak diterapkan terhadap pelaku, maka dia dapat meloloskan diri dari jeratan hukum dikarenakan di negara tempat kejahatan tersebut dilakukan, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan. Dengan demikian lembaga ekstradisi sebagai jembatan untuk menghadapkan para pelaku kejahatan lintas teritorial ke muka hukum tidak dapat dilaksanakan.
Persamaan antara asas nasionalitas dalam hukum pidana positif dengan teori Abu Yusuf adalah bahwa setiap orang yang bermukim (berkebangsaan) di suatu negara maka ia harus tunduk pada ketentuan hukum negara tersebut. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya hak serta kewajiban bagi warga suatu negara terhadap negaranya.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kewarganegaraan (Nasionalitas). Kejahatan yang tunduk terhadap hukum pidana berdasarkan asas kewarganegaraan, penerapannya dalam hukum pidana positif hanya jika pelaku – tanpa melihat kewarganegaraan - melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang dapat mengancam warga maupun negara di luar wilayah teritoir Indonesia, sedangkan dalam teori Abu Yusuf, penerapannya terhadap setiap orang yang bermukim di dar as-salam dan melakukan kejahatan di wilayah tersebut. Adapun kejahatan yang dilakukan di luar dar as-salam, hukum pidana Islam tidak berlaku meskipun pelaku berkebangsaan dar as-salam., dalam artian bahwa hukum pidana Islam tidak dapat diterapkan terhadap pelaku karena keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar as-salam.
Dengan demikian setiap warga Indonesia yang melakukan suatu kejahatan tertentu di dar as-salam dapat dipidana berdasarkan ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia dengan memohon agar pelaku dikembalikan ke Indonesia. Adapun terhadap warga dar as-salam yang melakukan suatu kejahatan di Indonesia, menurut teori Abu Yusuf maka upaya untuk mengadili serta menghukumi pelaku diserahkan kepada penguasa yang berwenang di Indonesia. Meskipun demikian dalam mengadili dan memberi hukuman para pelaku kejahatan yang berasal dari dar as-salam di dar as-salam meskipun kejahatan tersebut dilakukan di dar al-harb – Indonesia – dianggap lebih baik.
[1] Sisi persamaan antara pendapat Abu Hanifah dengan Abu Yusuf adalah mengenai tidak berlakunya Hukum pidana Islam terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik pelakunya muslim, zimmiy maupun musta’min.
[2] J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional…., hlm. 302-303.
[3] Pasal 5 KUHP
[4] Pasal 104-129 KUHP
[5] Pasal 131-139 KUHP
[6] Pasal 160 KUHP
[7] Pasal 161 KUHP
[8] Pasal 240 KUHP
[9] Pasal 450-451 KUHP
[10] Salah satu kewajiban negara berdaulat adalah untuk tidak melakukan tindakan pelaksanaan kedaulatan di wilayah negara lain, salah satu cara untuk mengatasi pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial suatu negara adalah dengan melalui lembaga ekstradisi karena hal ini sebelumnya telah disepakati oleh kedua negara.
[11] Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 40.
[12] J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional…., hlm. 303.
[13] Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1)-(3) dan Pasal 8 KUHP.
[14] Pasal 104 KUHP
[15] Pasal 106 KUHP
[16] Pasal 107-108, Pasal 110 dan Pasal 111 KUHP
[17] Pasal 4 ke-2. KUHP
[18] Pasal 4 ke-3. KUHP
[19] Pasal 438, 444 sampai Pasal 446 KUHP
[20] Pasal 479 KUHP huruf j, l, m, n dan o.
0 komentar:
Post a Comment