Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Asas Universalitas
Bila teori Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal akan diterapkan maka, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh seorang warga dar as-salam akan dikenai hukuman di manapun kejahatan itu dilakukan. Begitu juga terhadap kejahatan yang dilakukan di dar al-harb, baik pelanggran tersebut merupakan jarimah hudud, qisas-diyat maupun kejahatan yang dihukum dengan hukuman ta’zir.
Terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam oleh penduduk dar al-harb, harus di adili berdasarkan ketentuan pidana Islam di dar as-salam. Hal ini berdasarkan kewajiban negara Islam untuk menegakan hukum terhadap warganya yang melakukan kejahatan.
Upaya untuk menegakkan hukum dalam kasus seperti ini – kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb – dapat ditempuh dengan cara ekstradisi (taslim al-mujrimin). Yaitu permohonan kepada negara yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan untuk menyerahkan pelaku ke penguasa dar as-salam..
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Asas Universalitas. Dalam konteks kejahatan yang melibatkan dua negara – dar as-salam dan dar al-harb – atau lebih, jika seorang warga dar as-salam melakukan suatu kejahatan di Indonesia atau negara yang menerapkan sistem hukum pidana positif maka para penguasa dar as-salam dapat meminta pelaku kepada pemerintah Indonesia untuk mengembalikan warganya untuk diadili di dar as-salam berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam.
Dalam pandangan syariat, semua orang Islam mempunyai kedudukan yang sama meskipun berbeda dalam ras dan golongan. Mereka memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sama. Syariat Islam meletakan persamaan di luar batas-batas kemampuan akal manusia, oleh karenanya tidak ada yang dianggap istimewa antara pribadi dengan golongan, hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat sampai antara seorang muslim dengan orang non-muslim, mereka semua mempunyai kedudukan yang sama.[1]
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Asas Universalitas. Terhadap penduduk zimmiy, dalam masalah penerapan hukum pidana sama halnya seperti seorang muslim. Mereka terikat dalam masalah pidana secara utuh. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Nabi SAW telah melaksanakan hukuman rajam terhadap orang Yahudi yang berbuat zina.
Bila teori Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal akan diterapkan maka, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh seorang warga dar as-salam akan dikenai hukuman di manapun kejahatan itu dilakukan. Begitu juga terhadap kejahatan yang dilakukan di dar al-harb, baik pelanggran tersebut merupakan jarimah hudud, qisas-diyat maupun kejahatan yang dihukum dengan hukuman ta’zir.
Terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam oleh penduduk dar al-harb, harus di adili berdasarkan ketentuan pidana Islam di dar as-salam. Hal ini berdasarkan kewajiban negara Islam untuk menegakan hukum terhadap warganya yang melakukan kejahatan.
Upaya untuk menegakkan hukum dalam kasus seperti ini – kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb – dapat ditempuh dengan cara ekstradisi (taslim al-mujrimin). Yaitu permohonan kepada negara yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan untuk menyerahkan pelaku ke penguasa dar as-salam..
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Asas Universalitas. Dalam konteks kejahatan yang melibatkan dua negara – dar as-salam dan dar al-harb – atau lebih, jika seorang warga dar as-salam melakukan suatu kejahatan di Indonesia atau negara yang menerapkan sistem hukum pidana positif maka para penguasa dar as-salam dapat meminta pelaku kepada pemerintah Indonesia untuk mengembalikan warganya untuk diadili di dar as-salam berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam.
Dalam pandangan syariat, semua orang Islam mempunyai kedudukan yang sama meskipun berbeda dalam ras dan golongan. Mereka memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sama. Syariat Islam meletakan persamaan di luar batas-batas kemampuan akal manusia, oleh karenanya tidak ada yang dianggap istimewa antara pribadi dengan golongan, hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat sampai antara seorang muslim dengan orang non-muslim, mereka semua mempunyai kedudukan yang sama.[1]
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Asas Universalitas. Terhadap penduduk zimmiy, dalam masalah penerapan hukum pidana sama halnya seperti seorang muslim. Mereka terikat dalam masalah pidana secara utuh. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Nabi SAW telah melaksanakan hukuman rajam terhadap orang Yahudi yang berbuat zina.
عن ابن عمر أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم رجم فى الزّنا يهوديّين رجلا وإمرأة زنيا فأتت اليهود إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بهما [2]
Dalam masalah kejahatan terhadap nyawa, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi SAW memberi hukuman terhadap seorang Yahudi yang telah melakukan pembunuhan.
عن أنس رضي الله عنه أنّ يهوديّا قتل جارية على أوضاح لها فأقاده رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بها [3]
Hal ini yang membedakan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif. Dalam hukum pidana positif, terdapat atau ada pengecualian dalam penerapan perundang-undangn pidana, mereka adalah orang-orang yang mendapat hak immunitas sedangkan dalam Islam Islam hal itu tidak ada.
Terhadap kepala negara asing yang berada di dar as-salam yang melakukan suatu kejahatan tetap dapat diberlakukan ketentuan pidana Islam. Begitu juga terhadap perwakilan diplomatik Islam, terhadap mereka berlaku ketentuan syariat Islam mengenai kejahatan apabila mereka melakukannya.
Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Asas Universalitas. Kendala yang dihadapi dalam penerapan teori Imam Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal adalah dalam masalah penerapan hukum pidana ta’zir, karena setiap dar as-salam dapat bebeda dalam bentuk dan penerapannya. Hal ini dikarenakan pidana ta’zir tidak ditetapkan secara pasti dalam al-Qur’an maupun hadits, oleh karenanya, dalam masalah ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada penguasa yang berwenang untuk menentukan bentuk serta pelaksanaannya.
Mengenai jarimah ta’zir terdapat tiga kemungkinan untuk penerapannya:
1. Bila semua dar as-salam melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut dapat diadili di semua dar as-salam.
Bila dar as-salam di mana pelaku menjadi warganya tidak melarang perbuatan yang dilakukan sedangkan di dar as-salam yang menjadi tempat dilakukannya perbuatan, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran, maka pelaku tidak boleh diadili karena perbuatan tersebut baginya tidak dilarang.
Bila di dar as-salam di mana pelaku menjadi warganya suatu perbuatan dilarang sedangkan di dar as-salam berada karena melarikan diri umpamanya, hal tersebut tidak dilarang maka pelaku tidak boleh dihukum di dar as-salam di mana ia berada karena pebuatan yang dilakukan, tidak dilarang di negara tersebut.
Para pendatang di dar as-salam (musta’min) juga berlaku ketentuan hukum pidana Islam sebagaimana diberlakukannya ketentuan tersebut terhadap seorang muslim dan zimmiy. Mereka berhak atas hukuman bila melakukan suatu kejahatan di negara tersebut.
Ketentuan terhadap musta’min, hanya berlaku ketika mereka berada di dar as-salam. Bila kejahatan tersebut dilakukan di dar al-harb setelah keluar dari dar as-salam maka, terhadap kejahatan tersebut tidak dapat diterapkan ketentuan pidana Islam. Dengan keluarnya ia dari dar as-salam, statusnya sebagai musta’min menjadi hilang.
Di samping permohonan ekstradisi untuk mengembalikan seorang pelaku kejahatan di dar al-harb untuk diadili dan di hukumi sesuai dengan ketentuan syariat, akan tetapi para pejabat berwenang di Indonesia dapat memberlakukan hukum pidana nasional berdasarkan asas teritorial terhadap pelaku. Hal ini disebabkan kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara tunduk terhadap ketentuan hukum lokal karena negara tersebut yang memiliki kepentingan serta dianggap sebagai negara yang paling mampu untuk melaksanakan penuntutan serta memberi hukuman kepada pelaku.
Dalam hukum pidana positif, penerapan asas universal dapat diberlakukan terhadap kejahatan yang dianggap sebagai musuh umat manusia. Dengan diakuinya asas ini sebagai dasar bagi pemberlakuan ketentuan pidana maka, dalam hukum pidana terdapat beberapa kejahatan yang terhadap pelakunya dapat di berlakukan hukum pidana negara di mana pelaku berada.
Berdasarkan asas ini pula setiap negara yang di dalamnya ada pelaku kejahatan yang dapat merugikan kepentingan seluruh negara di dunia maka, negara tersebut dapat memberlakukan hukum pidana nasionalnya tanpa memandang kewarganegaraan pelaku.
Hal ini tentu saja jika negara tersebut menggagap bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah merupakan kejahatan dan pada umumnya setiap negara mengaggap bahwa kejahatan yang tunduk terhadap yuridiksi universal adalah sebuah kejahatan. Berdasarkan hal ini, jelas bahwa tujuan dari adanya asas universal sebagai landasan bagi pemberlakuan hukum pidana adalah untuk menjamin bahwa tidak ada negara yang tidak menghukum kejahatan tersebut (tidak ada yang menganggap bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan).
Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa kejahatan yang tunduk terhadap yuridiksi universal merupakan kejahatan yang tidak mengenal batas-batas negara maupun kewarganegaraan pelaku.
Meskipun asas universal dinggap memiliki peranan yang sangat strategis dalam menanggulangi kejahatan lintas teritorial, akan tetapi dalam penerapannya masih banyak negara yang meragukan. Dalam penerapan asas ini oleh suatu negara dikhawatirkan akan melanggar kedaulatan negara lain.[4]
Hal ini dapat dibenarkan karena setiap negara memiliki kepentingan terhadap kejahatan yang memiliki dimensi internasional. Bagi negara yang merupakan asal pelaku, dapat menuntut pelaku berdasarkan asas kewarganegaraan, bagi negara tempat pelaku berada dapat mendasarkan tuntutan dengan asas teritorial di samping pihak atau negara-negara lain yang memiliki kepentingan. Oleh karenanya menjadi penting untuk mempertimbangkan penerapan asas teritorial suatu negara terhadap kejahatan lintas teritorial yang terjadi di wilayahnya dan mengesampingkan asas universal.
Dalam hukum pidana Islam hal ini dapat teratasi dengan adanya pandangan bahwa setiap negara Islam dianggap sebagai wakil bagi negara Islam lainnya untuk menghukum pelaku kejahatan berdasarkan ketentuan pidana Islam. Berdasarkan pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan hukum Islam, dalam masalah kejahatan-kejahatan yang telah ditetapkan secara jelas – bentuk dan hukumannya (hudud, qisas) – dalam al-Qur’an maupun Hadits, keberadaan pelaku di luar wilayah negara – Islam – asal pelaku tidak menjadi persoalan dalam penyelesaian hukum. Di samping itu, hal ini tidak akan menimbulkan pertentangan atau kompetensi antar dar as-salam untuk memberi hukuman kepada pelaku. Selama pelaku dihukumi berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, hal tersebut telah dianggap cukup dalam mengatasi kejahatan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam masalah kejahatan pidana Islam, disyaratkan adanya nas yang melarang serta menghukum suatu perbuatan jika hal tersebut dilakukan. Dalam penerapannya, nas tersebut haruslah berlaku atau dapat menjangkau tempat di mana perbuatan/kejahatan dilakukan. Selain berlaku terhadap tempat, nas tersebut haruslah berlaku bagi pelaku.
Hal ini terkait dengan pandangan bahwa syariat Islam berlaku secara universal, meskipun demikian dalam penerapannya syariat Islam hanya berlaku di negara-negara yang berada di bawah kekuasaan orang-orang muslim tidak di negara selain negara Islam (iqlimiyyah). Mengenai batasan umum dalam penerapan pidana, bahwa ketentuan pidana Islam berlaku bagi setiap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, tanpa memandang kewarganegaran pelaku dan juga terhadap kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb.[5]
Ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi kejahatan dalam Islam. Upaya ini, meskipun tidak atau belum dapat mewujudkan penerapan ketentuan syariat secara menyeluruh – di setiap negeri, Islam maupun bukan – akan tetapi dengan diberlakukannya hukum pidana Islam bagi para pelaku kejahatan dari dar as-salam di dar al-harb, sedikitnya akan dapat menanggulangi kejahatan dalam dunia Islam yang akibat-akibatnya akan dirasakan juga oleh penduduk negeri-negeri asing (dar al-harb).
Penerapan teori Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal oleh negara Islam akan memberi dampak yang baik bagi kelangsungan umat Islam sendiri di dunia internasional. Dengan dihukumnya para pelaku kejahatan yang berkebangsaan dar as-salam karena melakukan kejahatan di dar al-harb akan memberi citra yang positif bagi umat Islam dalam masalah penegakkan hukum. Selain itu, dengan penerapan yang seperti ini pula hukum Islam akan tetap utuh dalam kehidupan masyarakat.
Berbeda dengan hukum pidana positif, suatu kejahatan yang melibatkan dua negara atau lebih hanya akan dapat dihukum apabila kejahatan tersebut telah disepakati oleh negara-negara yang bersangkutan sebagai suatu kejahatan oleh hukum pidana nasional negara-negara tersebut.
Begitu juga dalam penerapan asas universal sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, hal tersebut bukan merupakan hal yang mudah dikarenakan setiap negara merasa berhak terhadap kejahatan tersebut yang pada akhirnya harus ada kedaulatan negara terabaikan atau terjadinya intervensi terhadap kedaulatan teritorial suatu negara. Berdasarkan hal ini pula menjadi penting untuk memberlakukan asas teritorial bagi negara yang di dalamnya terdapat pelaku kejahatan yang memiliki dimensi internasional. Dalam artian bahwa penerapan asas teritorial dapat lebih diutamakan serta mengesampingkan asas universal. Berdasarkan hal ini pula setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga dar as-salam dapt ditundukkan pada hukum yang berlaku di Indonesia meskipun antara dar as-slam dan Indonesia dar al-harb memiliki sistem hukum yang berbeda.
[1] Sa’id Hawwa, al-Islam…., hlm. 573.
[2] Abi Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairiy an-Naisaburiy, Al-Jami’ as-Sahih, juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 122.
[3] Jalaluddin as-Suyuti, Syarh Sunan an-Nasa’i, Juz VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1930), hlm. 22.
[4] Romli Atmassasita, Pengaruh Konvesi Internasional…., hlm. 7.
[5] Sa’id Hawwa, al-Islam…., hlm. 584.
0 komentar:
Post a Comment