Asas-Asas Yang Membatasi Berlakunya Ketentuan Hukum Menurut Tempat Dalam Hukum Pidana Islam (3)
C. Pendapat Imam Madzhab Mengenai Batas-batas Berlakunya Hukum Pidana Islam
Telah diketahui bahwa pada dasarnya syariat Islam bersifat universal (‘alamiyyah), sedangkan dari segi pengamalan lebih bersifat regional (iqlimiyyah) tergantung kewilayahan. Kemudian yang menjadi permasalahan adalah apakah syariat Islam berlaku bagi seluruh penduduk dar as-salam atau hanya berlaku bagi sebagian penduduknya saja. Kemudian apabila syariat Islam berlaku bagi tindak pidana atau jarimah yang terjadi di wilayah kekuasaan Islam, apakah syariat Islam juga berlaku bagi tindak pidana yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb.
Pendapat Imam Madzhab Mengenai Batas-batas Berlakunya Hukum Pidana Islam. Para fuqoha sepakat bahwa pada dasarnya syariat Islam berlaku bagi semua orang yang tinggal di dar as-salam. Meskipun tidak tunduk pada satu pemerintahan serta memiliki aturan hukum yang berbeda pula. Tidak ada perbedaan apakah negara tersebut tunduk pada satu kekuasaan sebagaimaa yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Bani Umawiyyah, atau hanya tunduk pada hukum yang berlaku pada masing-masing negara seperti yang terjadi saat ini.[1]
Syariat Islam juga berlaku bagi tiap penduduk dar as-salam yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam tanpa membedakan agama. Bagi orang yang menetap (berkebangsaan) di dar as-salam mempunyai keharusan melaksanakan syariat di wilayah dar as-salam saja melainkan di luar wilayah kekuasan Islam juga.
Pendapat Imam Madzhab Mengenai Batas-batas Berlakunya Hukum Pidana Islam. Dengan sifatnya yang ‘alamiyyah, aturan pidana Islam berlaku di setiap pelosok negeri. Bila tidak memungkinkan untuk menegakkan syariat di luar dar as-salam, maka cukup untuk menerapkannya bagi tindak pidana yang terjadi di wilayah dar as-salam. Karena aturan syariat berlaku bagi siapa saja (muslim maupun zimmiy) yang melakukan tindak pidana di wilayah kekuasaan Islam. Begitu juga bagi jarimah yang di lakukan penduduk dar as-salam di dar al-harb. Karena merupakan suatu kemungkinan untuk menetapkan hukum terhadap jarimah yang di lakukan oleh seseorang yang berkebangsaan dar as-salam, meskipun tidak memungkinkan untuk menegakkan syariat (memberi hukuman bagi pelaku) di dar al-harb.
1. Abu Hanifah
Mengenai batas wilayah yang dapat diberlakukan pidana Islam di dalamnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa syariat Islam berlaku hanya bagi tindak Pidana (jarimah) yang terjadi dalam wilayah kekuasaan dar as-salam. Ketentuan ini berlaku bagi seluruh penduduk dar as-salam, muslim maupun zimmiy.[2]
Adapun terhadap seorang musta’min, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum Islam yang menyangkut masalah pidana tidak berlaku baginya apabila kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan yang masuk dalam haq Allah[3] atau yang menjadi hak jama’ah. Meskipun demikian ia tetap dihukum apabila tindak kejahatanya merupakan kejahatan terhadap individu atau haq al-‘abd.[4]
Hal ini dikarenakan seorang musta’min masuk ke dar as-salam bukan untuk menetap selamanya, melainkan karena adanya suatu kepentingan, seperti berdagang dan lain sebagainya. Permohonan perlindungan yang diminta tidak menjadikan ia terikat oleh hukum Islam dalam masalah jarimah. Meskipun demikian ia tetap terikat oleh apa yang telah ia sepakati dan menjadi tujuannya memasuki dar as-salam, yaitu segala aturan yang mengharuskan ia berbuat adil dalam bermu’amalah.[5]
Asas dari semua ini adalah wilayah atau kekuasaan, yaitu adanya kekuasaan atau kedaulatan terhadap tempat, dalam hal ini tidak ada kekuasaan terhadap seorang musta’min karena keberadaannya dalam dar as-salam dapat diketahui sampai batas tertentu (sementara waktu).[6]
Abu Hanifah membagi tauliyyah (wewenang atau kekuasaan) pada dua bagian yaitu, tauliyyah ‘ammah (kekuasaan yang bersifat umum) dan tauliyyah khasah (kekuasaan yang bersifat khusus).
Kekuasaan Umum atau menyeluruh adalah kekuasaan seseorang -sultan, raja maupun orang yang dipercaya untuk memegang tampuk kepemimpinan - terhadap suatu wilayah yang luas atau suatu negara. Kekuasaan ini mempunyai wewenang untuk menegakkan hadd meskipun dalam hal yang tidak ditetapkan dalam nas al-Qur’an maupun al-Hadits. Ketika kekuasaan ini diberikan bagi seseorang, maka menjadi keharusan baginya untuk menjaga kemaslahatan umat Islam yang salah satu caranya dengan menegakkan hadd.
Adapun kekuasaan khos adalah kekuasaan yang berwenang terhadap masalah-masalah yang khusus seperti menarik pajak bagi pemilik tanah kharijiyyah. Kekuasaan ini tidak mempunyai wewenang untuk menegakkan hadd, kecuali pada hal-hal yang telah ditetapkan.[7]
Terhadap jarimah yang dilakukan oleh seorang muslim atau zimmiy di luar wilayah dar as-salam, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum Islam tidak dapat diterapkan karena permasalahannya bukan pada terikatnya seorang muslim maupun zimmiy oleh hukum Islam, melainkan pada kemampuan penguasa untuk menegakkan hadd.[8] Bukan merupakan suatu keharusan bagi penguasa untuk menegakkan hukum kecuali berdasarkan kemungkinan atau kemampuan untuk menegakkannya.[9]
Bila yang menjadi dasar bagi penerapan hukum adalah adanya suatu kekuasaan terhadap satu wilayah maka jelas bagi penguasa dar as-salam tidak memungkinkan untuk menerapkan segala peraturan yang telah ditetapkan oleh syara’ dalam masalah pidana di wilayah yang berada di bawah kedaulatan dar al-harb. Hal ini dikarenakan dar al-harb bukan merupakan daerah atau wilayah yang berada dalam kekuasaan Islam.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengadilan dalam menghukumi suatu perkara harus mempunyai wewenang atau kekuasaan terhadap tempat terjadinya suatu tindak jarimah. Dalam hal ini pengadilan Islam tidak punya wewenang terhadap wilayah kekuasaan dar al-harb apabila di tempat tersebut terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh seorang berkebangsaan dar as-salam, muslim maupun zimmiy.
Tidak ada hukuman bagi seorang muslim maupun zimmiy yang melakukan suatu jarimah yang mengharuskan diberlakukannya hadd, sebagaimana tidak adanya qisas,[10] apabila yang menjadi tempat terjadinya jarimah adalah dar al-harb.
Ini berlainan dengan jarimah yang mengharuskan adanya diyat bila yang menjadi korban adalah seorang yang dilindungi jiwa, raga dan hartanya. Ketentuan ini didasarkan pada dua hal. Pertama ditetapkannya wewenang pengadilan Islam terhadap pelaku. Kedua adalah karena dilindunginya darah seorang muslim dan zimmiy.
Bila seorang muslim atau zimmiy membunuh seorang muslim lainnya di dar al-harb, maka tidak mungkin untuk melakukan qisas pada saat terjadinya perbuatan. Hal ini dikarenakan keberadaan pelaku di dar al-harb tidak memungkinkan untuk melaksanakan qisas, maka yang kemudian dapat ditetapkan adalah diyat atau denda. Hal ini mungkin untuk dilakukan karena yang diambil dalam diyat adalah harta pelaku yang saat itu berada di dar as-salam.[11]
Ketentuan lainnya adalah mengenai seorang muslim yang melakukan suatu jarimah di wilayah kedaulatan dar as-salam kemudian melarikan diri ke dar al-harb. Mengenai hal ini Abu Hanifah berpandangan bahwa ketentuan-ketentuan syariat Islam tetap berlaku bagi pelaku. Ketentuan ini tidak berbeda dengan peraturan yang ditetapkan bagi seorang musta’min yang berbuat jarimah di dar as-salam kemudian melarikan diri atau kembali ke dar al-harb. Kembalinya ia ke dar al-harb tidak menjadikan hukuman yang harus diterimanya menjadi gugur.[12]
Mengenai tindak kejahatan yang di lakukan oleh tentara-tentara Islam yang berada dalam markas meskipun letaknya berada dalam daerah kekuasaan dar al-harb tetap dikenai ketentuan-ketentuan hukum Islam. Hal ini dikarenakan daerah yang diduduki tentara Islam termasuk wilayah kekuasaan Islam.[13] Oleh karenanya setiap tindak pidana yang terjadi di tempat tersebut dihukumi seperti dalam dar as-salam.
Seorang imam atau pemimpin dianggap mampu untuk menegakkan hukum di markas-markas tentara Islam karena adanya kekuatan, senjata serta berkumpulnya mereka dalam satu tempat. Oleh karenanya markas-markas tentara Islam, ketika dalam keadaan perang dihukumi seperti dar as-salam meskipun letaknya berjauhan dengan wilayah yang menjadi kedaulatan dar as-salam.[14]
Abu Hanifah berpendapat bahwa aturan-aturan hadd tidak berlaku bagi seorang zimmiy kecuali dalam masalah qazaf[15]. Pelanggaran mereka dalam bentuk perbuatan zina, meminum khamr serta mencuri tidak dikenakan aturan yang mewajibkan ditegakkannya hadd. Ketentuan ini seperti yang ditetapkan oleh Malik. Kecuali asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa seorang zimmiy tetap dihukum karena pelanggaran yang ia lakukan dalam bentuk apapun.[16] Menurut asy-Syafi’i, ketentuan diyat juga berlaku bagi pelaku pembunuhan terhadap ahl az-zimmah, seperti halnya yang berlaku terhadap pelaku pembunuhan terhadap seorang muslim.[17]
Para tentara Islam yang melakukan jarimah sewaktu dalam keadaan perang atau melakukan pelanggaran di medan perang tidak terkena ketentuan ‘uqubah. Hukuman akan ditetapkan sekembalinya ia dari medan perang.
Abu Hanifah membedakan kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di medan perang dalam dua keadaan. Pertama, apabila yang terbunuh adalah penduduk dar al-harb yang telah masuk Islam serta belum pindah ke dar as-salam dan pelaku pembunuhannya adalah seorang penduduk dar as-salam, muslim atau zimmiy maka untuk kasus ini tidak ada qisas maupun diyat bagi pelaku. Kedua, bila yang terbunuh adalah seorang muslim atau zimmiy sebagai penduduk dar as-salam dan pembunuhnya adalah seorang musta’min yang masuk ke dar al-harb, maka tidak ada qisas karena tidak adanya wewenang
Teori Abu Hanifah tentang lingkungan berlakunya syariat Islam terutama mengenai orang-orang musta’min mempunyai pengaruh yang buruk bagi negeri-negeri Islam, karena pendapat tersebut dijadikan dasar untuk pemberian hak istimewa kepada orang-orang asing (musta’min).
Akibat tersebut masih terasa sampai sekarang. Pemberian hak istimewa tersebut cukup mendorong mereka untuk memasuki negara-negara Islam dengan mendapat jaminan keselamatan. Setelah kaum muslimin lemah banyak hak-hak mereka yang dilanggar. Keadaan seperti ini menyiapkan jalan kemenangan bagi orang-orang asing.[18]
Selain itu, tidak dituntutnya orang-orang muslim yang berbuat pidana di dar al-harb, akan mempersubur jarimah, terutama jarimah yang bertalian dengan akhlak, bahkan juga jarimah yang ditujukan kepada keamanan, kedudukan serta kewibawaan dar as-salam.[19]
2. Abu Yusuf
Abu Yusuf merupakan seorang pemuka dari madzhab Hanafi, ia berpendapat bahwa syariat Islam berlaku bagi tiap orang yang bermukim di dar as-salam, baik sebagai seorang muslim maupun zimmiy. Tinggal dalam waktu yang lama maupun untuk sementara waktu.[20]
Seorang muslim terikat oleh hukum Islam karena ke-Islamannya dan seorang zimmiy terikat dengan aturan hukum Islam karena akad zimmah yang memberinya hak perlindungan dari pihak penguasa Islam terhadap jiwa, raga dan hartanya.
Adapun seorang musta’min, ia terikat oleh hukum Islam karena akad atau karena perizinan yang ia peroleh untuk mamasuki dar as-salam untuk sementara waktu. Dengan permohonan untuk memasuki dar as-salam yang ia minta, seorang musta’min mempunyai kewajiban yang sama seperti seorang zimmiy.[21] Oleh karenanya ia mendapat hukuman bila melakukan suatu pelanggaran yang ia lakukan sewaktu tinggal di dar as-salam.
Semua pelanggaran yang dilakukan oleh seorang musta’min dapat dikenai hukuman. Ia akan terkena sanksi hukum bila melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak yang menjadi hak Allah yang berhubungan dengan hak serta kemaslahatan umum serta pelangggaran terhadap kemaslahatan individu.
Pebedaan pendapat antara Abu Hanifah dengan Abu Yusuf terletak pada permasalahan berlakunya syariat Islam bagi seorang musta’min dalam tiap keadaan.
Menurut Abu Yusuf, seorang musta’min berhak di hukum atas tiap pelanggaran yang dilakukan sedangkan Abu Hanifah hanya membatasi pada kejahatan yang menyangkut hak-hak perorangan yang dianggap sebagai kejahatan yang dapat diberi hukuman. [22]
Abu Hanifah dan Abu Yusuf sependapat mengenai tidak dapat diterapkannya syariat Islam terhadap kejahatan yang dilakukan di dar al-harb, meskipun perbuatan tersebut dilakukan oleh penduduk dar as-salam.[23]
Abu Yusuf berselisih dalam dua hal dengan Abu Hanifah, yaitu dalam masalah:
a. Mengenai lepasnya ketentuan pidana bagi seorang muslim maupun zimmiy bila yang menjadi tempat terjadinya pelanggaran jarimah adalah dar al-harb.
Berbeda dengan Abu Hanifah yang tidak mengharamkan, Abu Yusuf berpendapat bahwa seorang muslim maupun zimmiy tetap tidak boleh melakukan akad riba ketika berada di dar al-harb dengan seorang harbiy maupun seorang muslim yang tinggal di dar al-harb sebagai seorang musta’min, meskipun akad riba diperbolehkan di dar al-harb. Riba merupakan hal yang dilarang secara pasti dalam Islam dan ketentuan ini berlaku bagi seorang muslim maupun zimmiy di manapun mereka berada. [24]
b. Mengenai tahanan muslim yang dibunuh oleh seorang Islam atau zimmiy di dar al-harb.
Menurut Abu Hanifah pembunuhan terhadap seorang muslim di dar al-harb yang dilakukan oleh seorang muslim maupun zimmiy tidak terlepas dari tiga keadaan. Pertama adalah bahwa orang tersebut berada di dar al-harb sebagai seorang musta’min. Kedua adalah bahwa ia telah berada di dar al-harb dikarenakan orang-orang kafir telah menjadikan ia sebagai tahanan. Yang terakhir, dia telah masuk Islam akan tetapi belum pindah ke dar as-salam.
Tiap keadaan mengakibatkan hukum yang berbeda pula. Dalam keadaan pertama Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus tersebut tidak mengharuskan adanya qisas. Meskipun demikian, diyat yang diambil dari harta pembunuh tetap berlaku. [25]
Terhadap keadaan yang kedua Abu Hanifah memandang tidak adanya qisas maupun diyat bagi pelaku dalam kasus pembunuhan tersebut. Karena menurutnya seorang tahanan tidak memiliki hak perlindungan terhadap jiwa dan harta.
Adapun keadaan ketiga, yaitu bahwa orang yang terbunuh telah masuk Islam akan tetapi belum pindah ke dar as-salam. Abu Hanifah berpendapat bahwa untuk kasus pembunuhan terhadap seorang muslim sebagai penduduk dar al-harb tetapi belum pindah ke dar as-salam, tidak ada hukuman bagi pelaku pembunuhan tersebut, qisas maupun diyat.[26]
Abu Yusuf berpendapat bahwa diyat tetap berlaku bagi pelaku pembunuhan tersebut meskipun untuk melaksanakan qisas tidak mungkin. Bagi Abu Yusuf, tertahannya seseorang tidak menjadikan ia kehilangan hak ‘ismah.[27]
Ditetapkanya diyat sebagai hukuman bagi pelaku merupakan hukuman pengganti bagi hukuman qisas yang tidak mungkin untuk dilaksanakan di dar al-harb.
3. Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal.
Menurut pendapat ini, syariat Islam berlaku bagi tiap jarimah yang terjadi di wilayah kedaulatan Islam. Asy-Syafi’i, Malik dan Imam Ahmad tidak membedakan pelakunya baik ia seorang muslim, zimmiy maupun musta’min.[28]
Alasan yang mereka kemukakan bahwa seorang muslim terikat oleh ketentuan hukum Islam karena ke-Islamannya. Bagi seorang zimmiy terikat oleh hukum Islam karena akad zimmah yang ia sepakati dengan penguasa Islam sebagai imbangan terhadap jaminan terhadap keselamatan jiwa, raga dan harta yang ia peroleh.[29]
Adapun bagi seorang musta’min karena perjanjian damai (akad yang membolehkan ia tinggal di dar as-salam selama waktu tertentu) yang berisiskan jaminan keamanan terhadap jiwa, raga dan hartanya selama ia tinggal di dar as-salam. Perjanjian ini mengharuskan ia mengikuti atau terikat dengan ketentan-ketentuan hukum Islam sebagaimana seorang zimmiy.[30]
Menurut asy-Syafi’i, bila seorang musta’min melakukan suatu pelanggaran yang menjadi hak Allah di dar as-salam, maka ia boleh dimaafkan atau tidak diberi hukuman dan bila yang dilakukan adalah pelanggaran yang menyangkut masalah individu atah hak adamiy, maka ia berhak dihukum (ditegakkan hadd atas pelanggaran yang dilakukan).[31]
Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad juga berpendapat bahwa syariat Islam berlaku bagi pelanggaran pidana oleh seorang muslim maupun zimmiy di dar al-harb. Lain halnya dengan seorang musta’min, ia tidak mendapat hukuman untuk kasus seperti ini, karena keterikatannya dengan hukum Islam hanya selama ia berada di dar as-salam.[32]
Penerapan hukum Islam bagi seorang muslim dan zimmiy di luar wilayah kedaulatan dar as-salam dikarenakan hukum Islam berada di pundak mereka di manapun mereka berada. Tidak ada perbedaan antara jarimah yang dilakukan di dar as-salam maupun di dar al-harb, selama Islam melarang perbuatan tersebut, tidak ada tempat yang membolehkan seorang muslim maupun zimmiy untuk melakukan hal tersebut.[33] Tidak ada perbedaan antara dar as-salam dan dar al-harb dalam masalah yang telah ditetapkan oleh Allah dalam masalah hudud.[34] Allah berfirman:
والسّارق والسّارقة فاقطعوا أيديهما [35]
Dalam jarimah Zina Allah berfirman:
الزّانية والزّانى فاجلدوا كلّ واحد منهما مائة جلدة [36]
Hal ini berlaku juga untuk perbuatan yang menurut hukum yang berlaku di dar al-harb dianggap bukan suatu pelanggaran, sedangkan dalam hukum Islam merupakan tindak pelanggaran hukum. [37]
Seorang zimmiy yang melakukan kejahatan yang di dalam agamanya diharamkan seperti membunuh, zina, mencuri dan juga qazaf, maka ia berhak untuk dihukum sebagaimana seorang muslim yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Berbeda halnya jika perbuatan tersebut tidak dilarang dalam agamanya seperti meminum khamr, maka hal tersebut boleh dilakukan.[38] Hal ini berdasarkan hadits riwayat ibn Umar
عن ابن عمر أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم رجم فى الزّنا يهوديّين رجلا وإمرأة زنيا فأتت اليهود إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بهما [39]
Dalam hadits lain disebutkan:
عن أنس رضي الله عنه أنّ يهوديّا قتل جارية على أوضاح لها فأقاده رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بها [40]
Bagi seorang zimmiy, bila melakukan suatu kejahatan setelah ia keluar dari dar as-salam dengan tidak ada maksud untuk kembali ke negara tersebut maka hukum Islam tidak berlaku terhadap pelanggaran yang ia lakukan. Kepindahan seorang zimmiy dari dar as-salam ke dar al-harb merubah status kependudukannya dari seorang zimmiy menjadi kafir harbiy. Bila ia kembali ke dar as-salam maka statusnya kembali menjadi seorang musta’min.[41]
Markas-markas tentara Islam di medan perang di anggap sebagai wilayah kekuasaan Islam. Oleh karenanya tiap pelanggaran yang terjadi di tempat tersebut berhak untuk mendapat hukuman. Bagi asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad tidak menjadi persoalan tempat di mana suatu tindak pidana terjadi. Selama perbuatan itu di anggap suatu tindak kejahatan maka hukum Islam berlaku atas perbuatan tersebut.[42]
4. Berlakunya Ketentuan Syariat terhadap Korps Diplomatik Asing
Dalam penerapan ketentuan-ketentuan pidana, syariat tidak membedakan antara pribadi, jama’ah, ras, antara hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat. Tidak ada yang diistimewakan dalam pemberlakuan hukum.
Ketentuan syariat berlaku bagi para pemimpin negara (dar as-salam) yang melakukan pelanggaran hukum. Begitu juga terhadap para pemimpin negara luar (ajnabiyyah) yang sedang berada di dar as-salam. Ketentuan ini berlaku bagi para anggota perwakilan asing yang bertugas di dar as-salam, pejabat negara dan sanak saudara serta orang-orang yang menyertai mereka.
Mengenai para pemimpin dar al-harb yang berada di dar as-salam, Abu Hanifah berpendapat bahwa terhadap mereka tidak memungkinkan untuk menerapkan syariat jika yang dilakukan adalah jarimah yang menyangkut hak jama’ah. Hal ini dikarenakan mereka dianggap sebagai musta’min dan tidak ada hukuman bagi mereka kecuali terhadap jarimah yang menyangkut hak individu. Selain itu, seorang kepala negara dianggap sebagai pelaksana hukuman oleh karenanya, tidak memungkinkan untuk melaksanakan hukuman atas dirinya sendiri.[43]
Abu Yusuf seperti jumhur berpendapat bahwa terhadap mereka tetap dapat diberlakukan ketentuan syara’.[44] Menurut pendapat ini mereka tetap dapat dijatuhi hukuman seperti halnya seorang musta’min yang melakukan suatu pelanggaran.[45]
Mengadili kepala negara serta para anggota perwakilan negara asing yang melakukan suatu kejahatan tidak dianggap sebagai hal yang dapat menyudutkan posisi syariat, selama hal ini dilakukan secara adil.[46]
Pendapat Imam Madzhab Mengenai Batas-batas Berlakunya Hukum Pidana Islam
[1] ‘Abd al-Qadir al’Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy…., hlm. 279.
[2] Ibid., hlm. 280.
[3] Apa yang telah disyariatkan oleh Allah tidak terlepas dari kemaslahatan individu (seorang mukallaf), maupun kemaslahatan orang banyak (jama’ah). Kemaslahatan individu merupakan kemaslahatan jama’ah, begitu juga kemaslahatan jama’ah tidak terlepas dari kemaslahatan individu. Tuntutan syariat yang membawa kemaslahatan serta manfaat dari ditetapkannya kepada kepentingan individu merupakan hak individu dan kewajiban yang menyebabkan kemaslahatan jama’ah adalah hak jama’ah. Dalam kajian ushul fiqh para ulama membagi hukum taklifiy menjadi empat bagian, yang murni menjadi hak Allah, yang terbagi lagi menjadi tiga bagian, masalah ‘ubudiyyah, masalah zakat serta pajak bagi tanah, dan masalah ‘uqubah selain hadd dan qisas. Kedua adalah hukum taklifiy yang mencakup hak Allah (jama’ah) serta hak individu akan tetapi hak Allah (jama’ah) lebih kuat dibanding hak individu. Ketiga, hukum taklifiy yang mencakup hak Allah dan hak Individu, akan tetapi hak individu lebih kuat dibanding hak Allah atau hak jama’ah dan yang keempat adalah hukum taklifiy yang pelaksanaan serta kemaslahatannya murni menjadi hak individu yang terkait dengan masalah harta seperti halnya penentuan harga dalam jual beli, hak syuf‘ah dan sebagainya. Lihat misalnya ‘Ali Hasballah, Usul at-Tasyri’ al-Islamiy (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964), hlm. 293-297.
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddiqy, Hukum Antar Golongan…., hlm. 8.
[5] ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy…., hlm.280.
[6] Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah…., hlm 344.
[7] ‘Alau al-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’i as-Sana’i fi Tartib asy-Syara’i, juz VII (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 86.
[8] Hadd merupakan hukuman yang telah ditetapkan (al-Muqaddarah) dalam nas yang menjadi hak Allah. Maksudnya ditetapkan (muqaddarah) adalah bahwa hukuman hadd telah dibatasi, maka tidak ada hukuman hadd yang lebih berat atau tinggi dan juga tidak ada hukuman hadd yang lebih ringan dari batas yang tekah di tetapkan oleh Syari’. Adapun yang dimaksud dengan yang menjadi hak Allah adalah tidak adanya hak untuk menggugurkan hukuman bagi seseorang maupun bagi jama’ah. Lihat misalnya ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al- Janai al- Islamiy…., hlm. 78
[9] Ibid., hlm. 281.
[10] Tindak pidana yang mengharuskan adanya qisas (balasan) sebagai ‘uqubah atau hukuman bagi pelanggar maupun pelaku jarimah. Qisas merupakan hukuman yang bentuknya diserahkan kepada masing-masing individu untuk melaksanakannya (haq li al-afrad). Dalam artian bahwa korban dapat saja menggagalkan hukuman - yang menjadi haknya untuk melaksanakan ataupun menggagalkan - bila ia memaafkan ataupun mengampuni pelaku jarimah tersebut. Lihat ibid.,hlm. 78-80.
[11] Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah…., hlm. 350.
[12] ‘Abd al- Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy…., hlm. 282.
[13] L. Amin Widodo, Fiqh siyasah…., hlm. 19.
[14] ‘Alau al-Din Abi Bakr ibn Mas’ud al-Kasaniy al-Hanafiy, Bada’i as-Sana’i…., hlm. 195.
[15] Yaitu menuduh seeorang telah berbuat zina dengan disertai adanya empat orang saksi yang menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri perbuatan tersebut dan dilakukan terhadap orang yang tidak halal baginya. Qazaf merupakan salah satu perbuatan jarimah yang hukumannya telah ditetapkan oleh Syari’ yang tidak ada peluang untuk mengurangi, menambah, ataupun mengganti hukuman tersebut. Lihat misalnya Mahmud Fuad Jad Allah, Ahkam al-Hudud fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah (Mesir: Matabi’ al-Misriyyah al-‘Ammah, 1983), hlm. 51-52.
[16] Abi Muhammad ‘Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, al-Muhalla, jilid VIII (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 158.
[17] Muhyi ad-Din Syarif Abi Zakariyya an-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, juz XVII, (Mesir: Matba’ah al-Imam, t.th.), hlm. 329
[18] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 114.
[19] Ibid., hlm. 114-115.
[20] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum Antar Golongan…., hlm. 14-15.
[21] ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al- Islamiy…,hlm.285.
[22] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddiqy, Hukum Antar Golongan…., hlm. 15.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 16
[25] Muhammad Rifat Usman, al-Huquq wa al-Wajibat wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam (Kairo: Matba’ah as-Sa’adah, 1973), hlm. 103-104.
[26] Ibid., hlm. 104.
[27] ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy…., hlm. 286.
[28] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum Antar Golongan…., hlm. 16.
[29] L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah…., hlm. 25.
[30] Ibid., hlm. 25-26
[31] Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘i, al-Umm, juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 378.
[32] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…., hlm. 177.
[33] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum Antar Golongan…., hlm. 17.
[34] Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘i, al-Umm…., hlm. 374.
[35] Al-Maidah (5): 38.
[36] An-Nur (24): 2.
[37] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…., ibid., hlm. 177.
[38] Abu Muhammad Muwaffiq ad-Din ‘Abdullah ibn Quddamah al-Maqdisy, al-Kafi fi Fiqh al-Imam al-Mujabbal Ahmad bin Hanbal, juz IV (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1988), hlm. 360.
[39] Abi Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairiy al-Naisaburiy, Al-Jami’ as-Sahih, juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 122.
[40] Jalaluddin as-Suyuti, Syarh Sunan al-Nasa’i, Juz VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1930), hlm. 22.
[41] L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 27.
[42] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…., hlm. 118.
[43] L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 48.
[44] ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy…., hlm. 323-324.
[45] L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 48.
[46] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum Antar golongan…., hlm. 58.
0 komentar:
Post a Comment