B. Masalah Ekstradisi dalam Hukum Islam
a. Penyerahan pelaku kejahatan antar dar as-salam
Dalam teori fiqh siyasah Islam, setiap negara dar as-salam dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi dar as-salam lainnya untuk menegakan hukum Islam. Negeri-negeri Islam dapat saling menyerahkan para pelanggar hukum (pelaku jarimah) yang kemudian lari ke dar as-salam lainnya. Ketentuan ini berlaku bagi seorang muslim, zimmiy maupun musta’min dan berlaku selama pelaku belum diadili di pengadilan Islam di negara ia berasal.[1]
Bila kasus yang ia perbuat sudah diadili di pengadilan negara di mana pelaku berada, maka tidak boleh menyerahkannya untuk diadili kembali. Hal ini dikarenakan satu tindak kejahatan tidak boleh diadili dua kali.[2]
Penyerahan pelaku juga tidak dianggap perlu bila negara-peminta akan mengadili pelaku tidak dengan ketentuan syariat Islam, sedangkan negara yang diminta tempat pelaku berdomosili akan mengadilinya berdasarkan ketentuan syariat.
Ketentuan ini dapat berlaku bagi pelaku jarimah hudud dan qisas- diyat. Bila perbuatan pelaku merupakan jarimah at-ta’zir maka negara termohon atau negara yang diminta untuk menyerahkan pelaku dianggap lebih baik jika negara tersebut tidak keberatan untuk melakukan penyerahan pelaku ke negara-peminta. Hal ini dikarenakan hukuman ta’zir dapat berbeda dari satu negara dengan negara yang lainnya.[3]
Menghadapkan seorang pelaku kejahatan ke muka pengadilan di mana perbuatan itu terjadi dipandang lebih baik daripada menyerahkannya ke pengadilan di negara lain yang bukan merupakan tempat terjadinya perbuatan. Pemeriksaan terhadap pelaku di tempat terjadinya perbuatan dipandang lebih baik serta lebih dapat menjamin keadilan dikarenakan di tempat terjadinya perbuatan akan lebih mudah untuk mengemukakan bukti serta saksi-saksi. Dengan adanya dua hal ini (bukti dan saksi) akan mempermudah pengadilan dalam mencari keterangan-keterangan yang diperlukan. [4]
Selain itu, pelaksanaan hukuman di tempat terjadinya pebuatan akan lebih terasa pengaruhnya bagi masyarakat. Hal ini berhubungan dengan fungsi dijatuhkannya hukuman. Hukuman dijatuhkan selain sebagai pembalasan bagi para pelaku jarimah, juga merupakan tindakan preventif agar masyarakat tidak berbuat yang sama seperti yang diperbuat pelaku kejahatan.[5]
Berbeda halnya jika penjatuhan hukuman dilakukan di negara yang bukan tempat terjadinya kejahatan. Meskipun ada kemungkinan untuk memberi pelajaran bagi pelaku, akan tetapi akibat yang muncul dari pemberian hukuman tidak akan dirasakan oleh masyarakat di mana pelaku berasal.[6]
Berdasarkan hal ini, penyelesaian hukuman bagi pelaku oleh pengadilan di mana perbuatan itu terjadi dianggap lebih baik dari pada mengadilinya di tempat yang bukan merupakan tempat terjadinya kejahatan. Hal ini dianggap lebih baik meskipun sebenarnya tidak ada halangan bagi negara yang menjadi pelarian untuk menegakkan hukum bagi pelaku karena tidak adanya perbedaan aturan maupun undang-undang antara negara-peminta dengan negara yang diminta.[7]
Penyerahan pelaku kejahatan oleh negara yang menjadi tempat pelaku berdomisili kepada negara pelarian pelaku di anggap sebagai hal yang menyulitkan bagi pelaku. Ia tidak dapat membela diri karena keberadaannya di lingkungan asing yang berbeda kebangsaan dan bahasa.[8]
Hal ini berlaku juga untuk pelaku kejahatan yang berkebangsaan dar as-salam jika melarikan diri ke dar al-harb. Abu Zahrah berpendapat bahwa jika antara dar as-salam dengan dar al-harb telah ada perjanjian sebelumnya maka permohonan ekstradisi harus dilakukan, jika tidak maka hal ini tidak dapat dilakukan kecuali bila ada hukum kebiasaan yang berlaku.[9]
b. Penyerahan pelaku kejahatan ke dar al-harb
Islam tidak membenarkan bagi penguasa dar as-salam untuk menyerahkan warga negaranya, baik ia muslim maupun zimmiy untuk diadili di dar al-harb karena telah melakukan tindak kejahatan di negara tersebut (dar al-harb).[10]
Selain itu Islam tidak membolehkan penguasa dar as-salam untuk menyerahkan seorang muslim yang berstatus sebagai warga negara dar al-harb sekalipun penguasa negara tersebut memintanya karena suatu tindak kejahatan yang telah ia lakukan. Penyerahan tidak boleh terjadi selama tidak ada perjanjian antara penguasa dar as-salam dengan penguasa dar al-harb yang sesuai dengan ketentuan hukum Internasional mengenai penyerahan warga negara masing-masing. Jika perjanjian telah terjadi antara kedua negara tersebut maka penyerahan harus dilakukan terkecuali adanya syarat-syarat yang dianggap batal dan menyalahi perjanjian.[11]
Islam tidak membenarkan penyerahan wanita-wanita muslimah yang berhijrah ke dar as-salam. Wanita muslim dalam keadan bagaimanapun tidak boleh diserahkan ke dar al-harb meskipun ia berstatus sebagai warga negara tersebut. Ketetapan ini berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi:
يأيّهاالّذين أمنوا إذا جاء كم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهنّ الله أعلم بإيمانهنّ فإن علمتموهنّ مؤمنات فلا ترجعوهنّ إلى الكفّار لاهنّ حلّ لهم ولا هم يحلّون لهنّ وأتوهم مّاأنفقوا ولا جناح عليكم أن تنكحوهنّ اذا أتيتموهنّ أجورهنّ ولا تمسكوا بعصم الكوافر واسألوا ما أنفقتم وليسألوا ما أنفقوا ذالكم حكم الله يحكم بينكم والله عليم حكيم[12]
Para ulama berbeda pendapat mengenai penyerahan laki-laki muslim setelah adanya perjanjian. Imam Ahmad dan beberapa Fuqoha madzhab Maliki berpendapat bahwa penyerahan tersebut harus dipenuhi. Abu Hanifah berpendapat bahwa penyerahan tersebut tidak boleh terjadi, sebab seorang muslim tidak boleh dikuasai oleh orang-orang non-muslim.[13]
Para fuqoha madzhab Syafi’i memisahkan antara mereka yang mempunyai keluarga di dar al-harb yang dapat melindunginya dengan orang yang tidak mempunyai pelindung di negara tersebut. Bila orang yang diminta mempunyai keluarga, maka ia boleh diserahkan, bila tidak, maka ia tidak boleh diserahkan ke tangan penguasa dar al-harb.
Masuknya orang-orang Islam yang berstatus sebagai penduduk negara dar al-harb ke dar as-salam tidak dipandang sebagai penyimpangan terhadap kaidah umum penerapan hukum Islam. Orang tersebut dianggap sebagai penduduk dan warga negara dar as-salam yang ia datangi. Oleh karena itu, ketika penguasa dar as-salam tidak menyerahkan kepada penguasa dar al-harb, sebenarnya ia tidak menyerahkan orang yang menjadi warga negaranya sendiri.
Tindakan ini merupakan tuntutan syariat yang tidak membolehkan penguasa dar as-salam untuk menyerahkan warga negaranya ke dar al-harb. Bila yang memohon adalah dar as-salam yang lain maka tidak ada halangan untuk menyerahkan orang tersebut.[14]
Mengenai penyerahan seorang musta’min ke dar al-harb di karenakan tindak kejahatan yang di lakukannya, boleh dilakukan bila antara penguasa dar as-salam dengan dar al-harb telah ada perjanjian sebelumnya.[15]
Meskipun demikian, tidak diperbolehkan untuk menyerahkan orang tersebut (musta’min) ke dar al-harb lainnya (yang bukan negara asal pelaku) yang bisa jadi merasa dirugikan oleh tindakan orang tersebut. Hal ini berlawanan dengan perjanjian keamanan yang telah diberikan kepadanya.
Kaidah hukum Islam yang menghendaki agar penguasa dar as-salam tidak menyerahkan warga negaranya ke negara lain untuk menyelesaikan masalah kejahatan, sesuai dengan ketentuan hukum internasional sekarang.[16]
[1] L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 31.
[2] Ibid., hlm. 33.
[3] Lihat misalnya Muhammad Salim al-Awwa, fi Usul an-Nizam al-Jinai al-Islamiy (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1983), hlm. 267
[4] ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Jana’i al-Islamiy….,hlm. 297.
[5] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…., hlm. 124-125.
[6] ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy….,hlm. 298.
[7] L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 32.
[8] ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy…., hlm. 298.
[9] Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah…., hlm. 379.
[10] ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Jana’i aI-Islamiy…., hlm. 299.
[11] L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 34.
[12] Al-Mumtahanah (60): 10.
[13] L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 34.
[14] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…., hlm. 127.
[15] L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah…., hlm. 35.
[16] Ibid.
0 komentar:
Post a Comment