1. Suluk Sujinah Secara Umum
Suluk Sujinah merupakan jenis suluk yang pernah digemari oleh masyarakat. Hal itu, terbukti dengan jumlah naskah yang relatif cukup besar jika dibanding dengan naskah lain yang sejenis. Suluk ini cukup populer di kalangan masyarakat sebagai bukti S. Bambang Purnomo telah mendapatkan 13 buah naskah yang didapatkan di berbagai perpustakaan di Yogyakarta dan Jakarta.[1] Di antaranya adalah: di Museum Sono Budoyo dapat dijumpai 4 buah naskah, di perpustkaan Fakultas Sastra UGM dan perpustakan pribadi Zoetmulder masing-masing terdapat sebuah naskah sama, yaitu naskah yang telah diterbitkan oleh Penerbit Bratakesawa, Yogyakarta. Sedangkan di Surakarta, di museum Radya Pustaka maupun museum Mangkunegaran tidak dijumpai naskah ini. Sementara di Jakarta masih bisa dijumpai delapan buah naskah, masing-masing sebuah di perpustakaan Fakultas Sastra UI dan selebihnya tersimpan di perpustakaan Nasional.
Dalam penelitian ini peneliti, memfokuskan pada naskah yang berada di Museum Sono Budoyo, karena secara teknis lebih mudah bagi peneliti untuk menjangkaunya. Dalam hal ini peneliti memilih naskah dengan nomor SB 149, yang merupakan salah satu naskah yang jelas dan lengkap tulisannya, serta relatif lebih mudah dibaca dibandingkan dengan naskah lain yang penulis temukan.
Di antara sejumlah naskah yang tersimpan di Perpustakan Sono Budoyo adalah naskah dengan nomor SB 149 berjudul Soeloek Soedjinah berjumlah 74 halaman. Naskah Soeloek Soedjinah yang akan digunakan dalam penelitian ini, akan diuraikan dalam sub bab tersendiri. Selanjutnya naskah ini disebut naskah A. Kedua bernomor P.B.C 90 terdiri atas 50 halaman yang ditulis dengan huruf Jawa dengan ukuran kecil, rapih dan terbaca. Namun, pada beberapa bagian terlihat agak rusak, yang selanjutnya disebut naskah B. Ketiga, naskah dengan nomor PBC 165 terdiri atas 32 halaman ditulis dengan huruf Jawa berukuran sedang, berwarna hitam, tidak rapih dan terdapat beberapa bagian yang sulit terbaca. Naskah ini disebut naskah C. Keempat, naskah dengan nomor PBA. 98 terdiri atas 321 halaman, ditulis dengan huruf Jawa berukuran sedang berwarna hitam, cukup jelas terbaca namun kurang begitu rapih, disebut naskah D.
Setelah membaca dari hasil penelitian sebelumya dan mengamati sendiri naskah-naskah yang tersebut di atas, maka tidak ada yang menunjukkan siapa pencipta asli dan kapan atau dimana penulisan mula-mula dilakukan, yang ada hanyalah penyalin dan waktu penyalinan. Selanjutnya, di bawah ini lebih lengkap diuraikan gambaran singkat yang berkaitan dengan nama penyalin dan waktu penyalinan.
Di antaranya adalah naskah dengan nomor SB 149 berjudul Soeloek Soedjinah berjumlah 74 halaman. Naskah Suluk ini yang akan digunakan sebagai objek dalam penelitian ini, dan akan diuraikan dalam sub tersendiri. Kedua, naskah yang bernomor P.B.C 90, apabila dilihat dari tulisan dan kertasnya diperkirakan penyalinannya dilakukan pada sekitar tahun 1930-an. Ketiga, naskah dengan nomor PBC 165, disalin pada tanggal 11 September 1908, oleh Somasukarsa, Jayasuryan, Surakarta. Keempat, naskah dengan nomor PBA. 98 merupakan kumpulan beberapa teks suluk, antara lain: Suluk Sujinah,Suluk Syeh Malaya, dan Suluk Gatholoco. Nama penyalinnya adalah Ki Wangsaseja, pada 29 November 1903.
2. Suluk Sujinah Berdasarkan Naskah Nomor SB 149
a.Asal Usul Naskah
Judul naskah Suluk ini adalah Soeloek Soedjinah yang tertulis dengan huruf Latin pada halaman pertama, dan pada halaman berikutnya tertulis juga “Punika Serat Sujinah”. Naskah Suluk Sujinah ini, yang diperoleh dari daftar buku koleksi naskah di Museum Sono Budaya Yogyakarta dengan nomor SB 149 yang terdiri dari 74 halaman.
Nama penyalin naskah ini adalah Nyai Haji Mushthafa asal Melangi, Sleman. Hal ini sebagaimana tertera di dalam naskah ini, yang menyebutkan bahwa naskah ini ditulis sendiri oleh Nyai Haji Mushthafa. Naskah Suluk Sujinah ini ditulis pada hari Sabtu Pon tanggal 23 Dzulqa’idah tahun 1328 Hijriyah atau 1906 M.[2]
Mengenai nama Sujinah dalam naskah ini diambil dari salah seorang yang berperan sebagai isteri. Dalam naskah ini, Sujinah merupakan sosok isteri yang patuh kepada Allah, taat kepada suami, dan juga hormat kepada kedua orang tua. Di samping itu, Sujinah juga merupakan seorang wanita yang gigih dalam mencari ilmu. Dengan memperhatikan isi cerita ini, diharapakan para pembaca dapat mengambil pelajaran, sehingga dapat memberikan contoh, tuntunan dan bimbingan kepada anak cucunya dan generasi mendatang. Hal ini seperti diuraikan oleh penyalin naskah ini bahwa “Punika Serat Sujinah lamun bisa ngerasa caritane punika mangka tetep dadi wong tuwa”
b.Fisik Naskah
Kertas yang dipakai untuk naskah ini adalah kertas duplikator tebal, sedang dari warna kertas yang sudah kuning menandakan bahwa naskah sudah cukup lama namun belum termasuk golongan naskah yang sudah tua sekali. Naskah dijilid dengan baik dan dibungkus kertas tebal warna hitam,berukuran 22 x 18 cm. Sedangkan teks berukuran 14 x 12,5 cm.
Halaman judul terdapat pada halaman pertama. Di sini terdapat tulisan Latin yang berbunyi : Soeloek Soedjinah. Kemudian di bawah tulisan ini terdapat lingkaran dan di dalamnya berisi tahun penulisan, yang berbunyi : “penget ingkang gadhah Serat Sujinah punika Nyahi Haji Mushthafa dalem dhusun Melangi 1328 Hijriyah”. Halaman kedua terdapat tulisan dalam lingkaran (berbentuk oval) yang berbunyi :”punika Serat Sujinah lamun bisa ngerasa caritane mongka tetep dadi wong tuwa”.
Naskah ini secara keseluruhan terdiri dari 11 baris dalam tiap halamannya, kecuali pada halaman terakhir hanya terdiri dari dua baris. Namun dalam setiap penulisan tembang tidak adanya halaman baru, penulisannya dilakukan secara terus menerus dan disambung di bawahnya. Sedangkan berkenaan dengan tanda baca yang digunakan adalah: tanda koma dilambangkan dengan tanda petik dibawah (,,), sebagai tanda berakhirnya gatra (baris), dan tanda titik dilambangkan dengan huruf ‘ain bersayap ( ), tanda ini sebagai lambang berakhirnya padha (bait), sedangkan tanda yang dipakai untuk mengakhiri pupuh adalah dua huruf ‘ain bersayap ( ), tanda ini dipakai juga dalam menulis judul tembang baru.
Naskah ini ditulis dengan menggunakan pena atau kalam (baca: pegesan Jw.), berwarna hitam. Naskah ini tidak diberi nomor urut oleh penyalinnya, namun penomoran dilakukan sendiri oleh M. Jandra dalam translitrasinya. Sedangkan penjilidannya menggunakan benang dan cukup bagus.
c.Tulisan Naskah
Naskah ini ditulis mengunakan tulisan Arab Pegon[3] yang ditranslitrasi oleh M. Jandra ke dalam huruf Latin. Disamping itu tulisan ditambah adanya kutipan dan serapan dari kata-kata Arab dan istilah-istilah dari ajaran Islam,meskipun ada tulisan yang tidak tepat.
e. Bentuk Naskah
Naskah Suluk Sujinah ini, berbentuk puisi Jawa dan ditulis dengan mengunakan tembang macapat[4] yang terdiri dari :
1.Pupuh I Asmaradana berjumlah 35 bait.
2. Pupuh II Sinom berjumlah 34 bait.
3. Pupuh III Dhandhanggula berjumlah 28 bait.
4. Pupuh IV Kinanthi berjumlah 41 bait
5. Pupuh V Mijil berjumlah 49 bait
6. Pupuh VI Asmaradana berjumlah 37 bait
7. Pupuh VII Sinom berjumlah 20 bait
[1] S.Bambang Purnomo, Suluk Sujinah, Sebuah Karya Tasawuf di Jawa Wawasan Filologi Terbatas (Yogyakarta:Skripsi UGM, 1984), hlm. 64.
[2] M.Jandra, “Suluk Sujinah Sebuah Tinjauan dari Aspek Akidah Islamiyah” (Yogyakarta: Proyek PTA. IAIN Sunan Kalijaga,1987), hlm.16.
[3] Khususnya di Jawa, huruf Arab Pegon adalah huruf Arab yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Jawa: Oemar Amin Hoesein, Kultur Islam (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1975), hlm. 519. Huruf Arab Pegon biasanya digunakan di lingkungan masyarakat Islam yang mempunyai kesadaran beragama yang cukup tinggi: M.Darori Amin, “Aspek Ketuhanan dalam Sastra Suluk (Studi Analisa Terhadap Suluk Sujinah)” (Semarang: P3M IAIN Walisongo, 1998), hlm. 33.
[4] Kata macapat berasal dari perpaduan kata maca (baca: membaca) dengan kata pat (baca: empat), yang artinya cara membaca atau melagukan syair atau puisi Jawa dengan dipenggal atau diputus empat-empat, tidak selalu pemenggalan lagu itu empat-empat, namun ada yang dua-tiga, tiga-dua, tiga-tiga dan sebagainya: Siti Zawimah, Abu Seri Dimyati, M. Damami, “Macapatan: Sebagai Alternatif Alat Dakwah” (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1985), hlm. 7.
Suluk Sujinah merupakan jenis suluk yang pernah digemari oleh masyarakat. Hal itu, terbukti dengan jumlah naskah yang relatif cukup besar jika dibanding dengan naskah lain yang sejenis. Suluk ini cukup populer di kalangan masyarakat sebagai bukti S. Bambang Purnomo telah mendapatkan 13 buah naskah yang didapatkan di berbagai perpustakaan di Yogyakarta dan Jakarta.[1] Di antaranya adalah: di Museum Sono Budoyo dapat dijumpai 4 buah naskah, di perpustkaan Fakultas Sastra UGM dan perpustakan pribadi Zoetmulder masing-masing terdapat sebuah naskah sama, yaitu naskah yang telah diterbitkan oleh Penerbit Bratakesawa, Yogyakarta. Sedangkan di Surakarta, di museum Radya Pustaka maupun museum Mangkunegaran tidak dijumpai naskah ini. Sementara di Jakarta masih bisa dijumpai delapan buah naskah, masing-masing sebuah di perpustakaan Fakultas Sastra UI dan selebihnya tersimpan di perpustakaan Nasional.
Dalam penelitian ini peneliti, memfokuskan pada naskah yang berada di Museum Sono Budoyo, karena secara teknis lebih mudah bagi peneliti untuk menjangkaunya. Dalam hal ini peneliti memilih naskah dengan nomor SB 149, yang merupakan salah satu naskah yang jelas dan lengkap tulisannya, serta relatif lebih mudah dibaca dibandingkan dengan naskah lain yang penulis temukan.
Di antara sejumlah naskah yang tersimpan di Perpustakan Sono Budoyo adalah naskah dengan nomor SB 149 berjudul Soeloek Soedjinah berjumlah 74 halaman. Naskah Soeloek Soedjinah yang akan digunakan dalam penelitian ini, akan diuraikan dalam sub bab tersendiri. Selanjutnya naskah ini disebut naskah A. Kedua bernomor P.B.C 90 terdiri atas 50 halaman yang ditulis dengan huruf Jawa dengan ukuran kecil, rapih dan terbaca. Namun, pada beberapa bagian terlihat agak rusak, yang selanjutnya disebut naskah B. Ketiga, naskah dengan nomor PBC 165 terdiri atas 32 halaman ditulis dengan huruf Jawa berukuran sedang, berwarna hitam, tidak rapih dan terdapat beberapa bagian yang sulit terbaca. Naskah ini disebut naskah C. Keempat, naskah dengan nomor PBA. 98 terdiri atas 321 halaman, ditulis dengan huruf Jawa berukuran sedang berwarna hitam, cukup jelas terbaca namun kurang begitu rapih, disebut naskah D.
Setelah membaca dari hasil penelitian sebelumya dan mengamati sendiri naskah-naskah yang tersebut di atas, maka tidak ada yang menunjukkan siapa pencipta asli dan kapan atau dimana penulisan mula-mula dilakukan, yang ada hanyalah penyalin dan waktu penyalinan. Selanjutnya, di bawah ini lebih lengkap diuraikan gambaran singkat yang berkaitan dengan nama penyalin dan waktu penyalinan.
Di antaranya adalah naskah dengan nomor SB 149 berjudul Soeloek Soedjinah berjumlah 74 halaman. Naskah Suluk ini yang akan digunakan sebagai objek dalam penelitian ini, dan akan diuraikan dalam sub tersendiri. Kedua, naskah yang bernomor P.B.C 90, apabila dilihat dari tulisan dan kertasnya diperkirakan penyalinannya dilakukan pada sekitar tahun 1930-an. Ketiga, naskah dengan nomor PBC 165, disalin pada tanggal 11 September 1908, oleh Somasukarsa, Jayasuryan, Surakarta. Keempat, naskah dengan nomor PBA. 98 merupakan kumpulan beberapa teks suluk, antara lain: Suluk Sujinah,Suluk Syeh Malaya, dan Suluk Gatholoco. Nama penyalinnya adalah Ki Wangsaseja, pada 29 November 1903.
2. Suluk Sujinah Berdasarkan Naskah Nomor SB 149
a.Asal Usul Naskah
Judul naskah Suluk ini adalah Soeloek Soedjinah yang tertulis dengan huruf Latin pada halaman pertama, dan pada halaman berikutnya tertulis juga “Punika Serat Sujinah”. Naskah Suluk Sujinah ini, yang diperoleh dari daftar buku koleksi naskah di Museum Sono Budaya Yogyakarta dengan nomor SB 149 yang terdiri dari 74 halaman.
Nama penyalin naskah ini adalah Nyai Haji Mushthafa asal Melangi, Sleman. Hal ini sebagaimana tertera di dalam naskah ini, yang menyebutkan bahwa naskah ini ditulis sendiri oleh Nyai Haji Mushthafa. Naskah Suluk Sujinah ini ditulis pada hari Sabtu Pon tanggal 23 Dzulqa’idah tahun 1328 Hijriyah atau 1906 M.[2]
Mengenai nama Sujinah dalam naskah ini diambil dari salah seorang yang berperan sebagai isteri. Dalam naskah ini, Sujinah merupakan sosok isteri yang patuh kepada Allah, taat kepada suami, dan juga hormat kepada kedua orang tua. Di samping itu, Sujinah juga merupakan seorang wanita yang gigih dalam mencari ilmu. Dengan memperhatikan isi cerita ini, diharapakan para pembaca dapat mengambil pelajaran, sehingga dapat memberikan contoh, tuntunan dan bimbingan kepada anak cucunya dan generasi mendatang. Hal ini seperti diuraikan oleh penyalin naskah ini bahwa “Punika Serat Sujinah lamun bisa ngerasa caritane punika mangka tetep dadi wong tuwa”
b.Fisik Naskah
Kertas yang dipakai untuk naskah ini adalah kertas duplikator tebal, sedang dari warna kertas yang sudah kuning menandakan bahwa naskah sudah cukup lama namun belum termasuk golongan naskah yang sudah tua sekali. Naskah dijilid dengan baik dan dibungkus kertas tebal warna hitam,berukuran 22 x 18 cm. Sedangkan teks berukuran 14 x 12,5 cm.
Halaman judul terdapat pada halaman pertama. Di sini terdapat tulisan Latin yang berbunyi : Soeloek Soedjinah. Kemudian di bawah tulisan ini terdapat lingkaran dan di dalamnya berisi tahun penulisan, yang berbunyi : “penget ingkang gadhah Serat Sujinah punika Nyahi Haji Mushthafa dalem dhusun Melangi 1328 Hijriyah”. Halaman kedua terdapat tulisan dalam lingkaran (berbentuk oval) yang berbunyi :”punika Serat Sujinah lamun bisa ngerasa caritane mongka tetep dadi wong tuwa”.
Naskah ini secara keseluruhan terdiri dari 11 baris dalam tiap halamannya, kecuali pada halaman terakhir hanya terdiri dari dua baris. Namun dalam setiap penulisan tembang tidak adanya halaman baru, penulisannya dilakukan secara terus menerus dan disambung di bawahnya. Sedangkan berkenaan dengan tanda baca yang digunakan adalah: tanda koma dilambangkan dengan tanda petik dibawah (,,), sebagai tanda berakhirnya gatra (baris), dan tanda titik dilambangkan dengan huruf ‘ain bersayap ( ), tanda ini sebagai lambang berakhirnya padha (bait), sedangkan tanda yang dipakai untuk mengakhiri pupuh adalah dua huruf ‘ain bersayap ( ), tanda ini dipakai juga dalam menulis judul tembang baru.
Naskah ini ditulis dengan menggunakan pena atau kalam (baca: pegesan Jw.), berwarna hitam. Naskah ini tidak diberi nomor urut oleh penyalinnya, namun penomoran dilakukan sendiri oleh M. Jandra dalam translitrasinya. Sedangkan penjilidannya menggunakan benang dan cukup bagus.
c.Tulisan Naskah
Naskah ini ditulis mengunakan tulisan Arab Pegon[3] yang ditranslitrasi oleh M. Jandra ke dalam huruf Latin. Disamping itu tulisan ditambah adanya kutipan dan serapan dari kata-kata Arab dan istilah-istilah dari ajaran Islam,meskipun ada tulisan yang tidak tepat.
e. Bentuk Naskah
Naskah Suluk Sujinah ini, berbentuk puisi Jawa dan ditulis dengan mengunakan tembang macapat[4] yang terdiri dari :
1.Pupuh I Asmaradana berjumlah 35 bait.
2. Pupuh II Sinom berjumlah 34 bait.
3. Pupuh III Dhandhanggula berjumlah 28 bait.
4. Pupuh IV Kinanthi berjumlah 41 bait
5. Pupuh V Mijil berjumlah 49 bait
6. Pupuh VI Asmaradana berjumlah 37 bait
7. Pupuh VII Sinom berjumlah 20 bait
[1] S.Bambang Purnomo, Suluk Sujinah, Sebuah Karya Tasawuf di Jawa Wawasan Filologi Terbatas (Yogyakarta:Skripsi UGM, 1984), hlm. 64.
[2] M.Jandra, “Suluk Sujinah Sebuah Tinjauan dari Aspek Akidah Islamiyah” (Yogyakarta: Proyek PTA. IAIN Sunan Kalijaga,1987), hlm.16.
[3] Khususnya di Jawa, huruf Arab Pegon adalah huruf Arab yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Jawa: Oemar Amin Hoesein, Kultur Islam (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1975), hlm. 519. Huruf Arab Pegon biasanya digunakan di lingkungan masyarakat Islam yang mempunyai kesadaran beragama yang cukup tinggi: M.Darori Amin, “Aspek Ketuhanan dalam Sastra Suluk (Studi Analisa Terhadap Suluk Sujinah)” (Semarang: P3M IAIN Walisongo, 1998), hlm. 33.
[4] Kata macapat berasal dari perpaduan kata maca (baca: membaca) dengan kata pat (baca: empat), yang artinya cara membaca atau melagukan syair atau puisi Jawa dengan dipenggal atau diputus empat-empat, tidak selalu pemenggalan lagu itu empat-empat, namun ada yang dua-tiga, tiga-dua, tiga-tiga dan sebagainya: Siti Zawimah, Abu Seri Dimyati, M. Damami, “Macapatan: Sebagai Alternatif Alat Dakwah” (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1985), hlm. 7.
0 komentar:
Post a Comment