Ibnu Abidin, nama lengkapnya adalah Muhammad Amin bin Umar ibn
Abdul Aziz Abidin Dimasiqy. Beliau dilahirkan di Damaskus Syiria pada tahun
1198 H dan wafat pada tahun 1252 H. Ia merupakan ahli Fiqih di Syam, pemuka
golongan Hanafiyah di Masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh Fiqih masa
keenam (658 H akhir abad ke 13 H) yaitu masa pemerintahan Abdul Hamid I
(Dinasti Usmaniyah).1
Muhammad Amin yang terkenal dengan nama Ibnu Abidin dalam
menulis kitab Radd al Mukhtar Syarah Tanwir al Absar dalam keadaan
pergolakan politik yang tidak menentu, baik dalam negeri maupun di luar negeri
yang pada waktu itu terjadi peperangan antara Dinasti Usmaniyah dan Bangsa
Tartar.
Sejak kecil beliau sudah mengenal pendidikan agama secara langsung dari
ayahnya yang selanjutnya gurunya, yaitu Umar ibn Abdul Aziz. Beliau menghafal
al-Qur’an pada usia yang masih sangat muda. Ayahnya adalah seorang pedagang.
Sehingga Ibnu Abidin diajak ayahnya untuk berdagang sekaligus dilatih
berdagang oleh ayahnya.
1 B. Lewis, The Ensiklopedia of Islam III, Jakarta: Ichtiar Baru Van House, 1996, hlm 695.
Pada suatu hari, ketika beliau sedang membaca al-Qur’an di tempat
ayahnya berdagang, tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki dari kalangan yang saleh
dan ia (orang saleh itu) mengomentari bacaan al-Qur’an Ibnu Abidin berdosa
karena membuat mereka berdosa tidak mendengarkan Ibnu Abidin menjadi ulama
terkenal. Dua komentar tersebut adalah:
1. Dia (Ibnu Abidin) tidak tartil dalam membaca al-Qur’an dan tidak
menggunakan tajwid sesuai dengan hukum-hukumnya.
2. Kebanyakan manusia tidak sempat untuk mendengarkan bacaan al-Qur’an
karena kesibukanya dalam berdagang. Jika tidak mendengarkan bacaan al-
Qur’an tersebut maka mereka berdosa. Begitu juga dengan Ibnu Abidin
berdosa karena membuat mereka berdosa tidak mendengarkan bacaan al-
Qur’an.2
Maka bangkitlah Ibnu Abidin seketika dan langsung bertanya kepada
orang saleh tadi tentang ahli Qira’ah saat itu. Yaitu Syaikh al-Hanawi, maka
pergilah Ibnu Abidin kepadanya dan meminta agar diajari ilmu tajwid dan
hukum-hukum Qira’ati.
Sejak saat itu Ibnu Abidin tidak pernah meluangkan waktunya kecuali
untuk belajar. Maka Imam al-Hamawi memerintahkan untuk menghafal
al-Jauziyah dan Syapifibiyah kemudian ia belajar Nahwu dan Sharaf dan tak
ketinggalan Fiqih. Saat itu ia pertama kali belajar Fiqih adalah Fiqih yang
2 Op. cit., hlm. 54.
bermadzhab Syafi’i.3 Bermula dari seorang guru al-Hamawi itulah beliau menjadi
ulama yang sangat terkenal. Setelah ia menguasai dengan matang Ilmu tajwid dan
hukum Qira’ati serta ilmu Fiqih terutama Fiqih dari madzhab Syafi’i pada Imam
al-Hamawi, seorang ahli Qira’ati pada saat itu Ibnu Abidin tidak berhenti sampai
di situ saja, akan tetapi ia melanjutkan menuntut ilmu dengan belajar Hadits, tafsir
dan Manteq (logika) kepada seorang guru yaitu Syaikh Muhammad al-Salimi al-
Mirri al-Aqd. al-Alimi adalah seorang penghafal Hadits, dia menyarankan kepada
Ibnu Abidin belajar Fiqih Abu Hanifah. Ibnu Abidin mengikuti nasihat itu dan
mempelajari kitab-kitab Fiqih dan Ushul Fiqih Madzhab Hanafi, ia terus
menggali berbagai ilmu sampai menjadi tokoh aliran sampai saat itu. Tidak hanya
sampai di situ kemudian ia pergi ke Mesir dan belajar pada Syaikh al-Amir
al-Mughni sebagaimana ia belajar pada Syaikh ahli Hadits dari Syam, yaitu
Syaikh Muhammad al-Kasbari, ia tak henti-hentinya meraih keluasan dalam
mengembangkan ilmu dengan mengkaji dan mengarang dan sampai suatu ketika
ia ditunjukkan kepada suatu daerah yaitu Bannan. Di daerah Bannan ini ia
mendapatkan pelajaran dari para tokoh ulama seperti Syaikh Abdul Mughni
al-Madani, Ahmad Affandi al-Istambuli dan lain-lain.4
Dasar yang melatar belakangi kemasyhuran Ibnu Abidin adalah
pendidikan yang keras dan disiplin dari orang tuanya apalagi didukung oleh sikap
dan kemauannya yang sangat keras dalam menuntut ilmu. Ulama pada masa itu
3 Ibid.
4 Ibid, hlm. 54.
dilewatinya untuk belajar ilmu agama pada mereka dan diskusi-diskusi dia
lakukan dengan para ulama terkenal pada saat itu. Hal itulah adalah yang
menjadikannya seorang tokoh ulama yang sangat terkenal di masanya.
Beliau juga terkenal sebagai seorang yang kokoh agamanya, Iffah
(Wira’i), Alim, dan Taqwa dalam beribadah karena kedalaman ilmunya terutama
dalam ilmu Fiqih. Dan di dalam bidang ilmu Fiqih ini, ternyata ia lebih cocok
dengan Fiqih Madzhab Hanafi sehingga ia menjadi ulama Hanafiyah yang sangat
disegani.5
Karena ketiggian ilmunya beliau banyak membuahkan karya-karya ilmiah.
Karangan-karangannya mempunyai keistimewaan dalam pembahasannya secara
mendalam. Keilmuan yang mendalam dan menampakkan kefasihan bahasanya.
Diantara karya-karya yang sampai kepada kita antara lain:
1. Kitab Fiqih
a. Radd al-Mukhtar Syarah Addur al-Mukhtar
kitab tersebut adalah kitab yang terkenal, kitab membahas
masalah-masalah Fiqih, yang selanjutnya terkenal dengan nama Hasyiyah
Ibnu Abidin.6 Kitab ini merupakan kitab Fiqih popular yang disusun
dengan madzhab Hanafi oleh ulama Hanafiah generasi Mutaakhirin.
Beliau ini banyak sekali menguraikan permasalahan yang muncul di
zamannya dengan menggunakan metode yang berlaku pada madzhab
5 Ibid.
6 Ibid.
Hanafi. Kitab ini merupakan syarah dari kitab al-Dur al-Mukhtar oleh al-
Haskafi yang merupakan syarah dari Tanwir al-Absar adalah kitab karya
Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Katib al-Tamartasyi, kitab ini
sangat ringkas disusun dengan sistematika Fiqih.7
b. Raul Andar, dari karangan yang ditulis dari al-Halbi atas syarah ad-Dur
al-Mukhtar.
c. al-Uqhud syarah Tanfiah al-Fatawa al-Hamidiyah al-Duriyah.
d. Nadmad al-Azhar syarah al-Manar.
e. ar-Rahiq al-Mahtum.
2. Kitab Tafsir
Kitab Hamasyi ala al-Baidawi, yang dalam hal ini terdapat hal-hal
yang tidak dijelaskan oleh para penafsir.
3. Kitab Hadits
Dalam karya ilmiahnya tentang hadist beliau menulis kitab Uqud
al-Awali yang berisi sanad-sanad hadist yang bernilai tinggi.8
Setelah kehidupannya yang membawa berbagai aktivitas yang luhur,
pengabdian yang mulia dan perjuangan yang sangat berarti bagi umat Islam
pada umumnya dan khususnya bagi Madzhab Hanafi beliau wafat di
7 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van House, 1996,
hlm. 347.
8 Ibnu Abidin, loc.,cit. hlm. 54.
Damaskus 1252 H dengan meninggalkan warisan yang sangat berharga.
Beliau dimakamkan di pekuburan “Bab al-Saqir” damaskus.9
Abdul Aziz Abidin Dimasiqy. Beliau dilahirkan di Damaskus Syiria pada tahun
1198 H dan wafat pada tahun 1252 H. Ia merupakan ahli Fiqih di Syam, pemuka
golongan Hanafiyah di Masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh Fiqih masa
keenam (658 H akhir abad ke 13 H) yaitu masa pemerintahan Abdul Hamid I
(Dinasti Usmaniyah).1
Muhammad Amin yang terkenal dengan nama Ibnu Abidin dalam
menulis kitab Radd al Mukhtar Syarah Tanwir al Absar dalam keadaan
pergolakan politik yang tidak menentu, baik dalam negeri maupun di luar negeri
yang pada waktu itu terjadi peperangan antara Dinasti Usmaniyah dan Bangsa
Tartar.
Sejak kecil beliau sudah mengenal pendidikan agama secara langsung dari
ayahnya yang selanjutnya gurunya, yaitu Umar ibn Abdul Aziz. Beliau menghafal
al-Qur’an pada usia yang masih sangat muda. Ayahnya adalah seorang pedagang.
Sehingga Ibnu Abidin diajak ayahnya untuk berdagang sekaligus dilatih
berdagang oleh ayahnya.
1 B. Lewis, The Ensiklopedia of Islam III, Jakarta: Ichtiar Baru Van House, 1996, hlm 695.
Pada suatu hari, ketika beliau sedang membaca al-Qur’an di tempat
ayahnya berdagang, tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki dari kalangan yang saleh
dan ia (orang saleh itu) mengomentari bacaan al-Qur’an Ibnu Abidin berdosa
karena membuat mereka berdosa tidak mendengarkan Ibnu Abidin menjadi ulama
terkenal. Dua komentar tersebut adalah:
1. Dia (Ibnu Abidin) tidak tartil dalam membaca al-Qur’an dan tidak
menggunakan tajwid sesuai dengan hukum-hukumnya.
2. Kebanyakan manusia tidak sempat untuk mendengarkan bacaan al-Qur’an
karena kesibukanya dalam berdagang. Jika tidak mendengarkan bacaan al-
Qur’an tersebut maka mereka berdosa. Begitu juga dengan Ibnu Abidin
berdosa karena membuat mereka berdosa tidak mendengarkan bacaan al-
Qur’an.2
Maka bangkitlah Ibnu Abidin seketika dan langsung bertanya kepada
orang saleh tadi tentang ahli Qira’ah saat itu. Yaitu Syaikh al-Hanawi, maka
pergilah Ibnu Abidin kepadanya dan meminta agar diajari ilmu tajwid dan
hukum-hukum Qira’ati.
Sejak saat itu Ibnu Abidin tidak pernah meluangkan waktunya kecuali
untuk belajar. Maka Imam al-Hamawi memerintahkan untuk menghafal
al-Jauziyah dan Syapifibiyah kemudian ia belajar Nahwu dan Sharaf dan tak
ketinggalan Fiqih. Saat itu ia pertama kali belajar Fiqih adalah Fiqih yang
2 Op. cit., hlm. 54.
bermadzhab Syafi’i.3 Bermula dari seorang guru al-Hamawi itulah beliau menjadi
ulama yang sangat terkenal. Setelah ia menguasai dengan matang Ilmu tajwid dan
hukum Qira’ati serta ilmu Fiqih terutama Fiqih dari madzhab Syafi’i pada Imam
al-Hamawi, seorang ahli Qira’ati pada saat itu Ibnu Abidin tidak berhenti sampai
di situ saja, akan tetapi ia melanjutkan menuntut ilmu dengan belajar Hadits, tafsir
dan Manteq (logika) kepada seorang guru yaitu Syaikh Muhammad al-Salimi al-
Mirri al-Aqd. al-Alimi adalah seorang penghafal Hadits, dia menyarankan kepada
Ibnu Abidin belajar Fiqih Abu Hanifah. Ibnu Abidin mengikuti nasihat itu dan
mempelajari kitab-kitab Fiqih dan Ushul Fiqih Madzhab Hanafi, ia terus
menggali berbagai ilmu sampai menjadi tokoh aliran sampai saat itu. Tidak hanya
sampai di situ kemudian ia pergi ke Mesir dan belajar pada Syaikh al-Amir
al-Mughni sebagaimana ia belajar pada Syaikh ahli Hadits dari Syam, yaitu
Syaikh Muhammad al-Kasbari, ia tak henti-hentinya meraih keluasan dalam
mengembangkan ilmu dengan mengkaji dan mengarang dan sampai suatu ketika
ia ditunjukkan kepada suatu daerah yaitu Bannan. Di daerah Bannan ini ia
mendapatkan pelajaran dari para tokoh ulama seperti Syaikh Abdul Mughni
al-Madani, Ahmad Affandi al-Istambuli dan lain-lain.4
Dasar yang melatar belakangi kemasyhuran Ibnu Abidin adalah
pendidikan yang keras dan disiplin dari orang tuanya apalagi didukung oleh sikap
dan kemauannya yang sangat keras dalam menuntut ilmu. Ulama pada masa itu
3 Ibid.
4 Ibid, hlm. 54.
dilewatinya untuk belajar ilmu agama pada mereka dan diskusi-diskusi dia
lakukan dengan para ulama terkenal pada saat itu. Hal itulah adalah yang
menjadikannya seorang tokoh ulama yang sangat terkenal di masanya.
Beliau juga terkenal sebagai seorang yang kokoh agamanya, Iffah
(Wira’i), Alim, dan Taqwa dalam beribadah karena kedalaman ilmunya terutama
dalam ilmu Fiqih. Dan di dalam bidang ilmu Fiqih ini, ternyata ia lebih cocok
dengan Fiqih Madzhab Hanafi sehingga ia menjadi ulama Hanafiyah yang sangat
disegani.5
Karena ketiggian ilmunya beliau banyak membuahkan karya-karya ilmiah.
Karangan-karangannya mempunyai keistimewaan dalam pembahasannya secara
mendalam. Keilmuan yang mendalam dan menampakkan kefasihan bahasanya.
Diantara karya-karya yang sampai kepada kita antara lain:
1. Kitab Fiqih
a. Radd al-Mukhtar Syarah Addur al-Mukhtar
kitab tersebut adalah kitab yang terkenal, kitab membahas
masalah-masalah Fiqih, yang selanjutnya terkenal dengan nama Hasyiyah
Ibnu Abidin.6 Kitab ini merupakan kitab Fiqih popular yang disusun
dengan madzhab Hanafi oleh ulama Hanafiah generasi Mutaakhirin.
Beliau ini banyak sekali menguraikan permasalahan yang muncul di
zamannya dengan menggunakan metode yang berlaku pada madzhab
5 Ibid.
6 Ibid.
Hanafi. Kitab ini merupakan syarah dari kitab al-Dur al-Mukhtar oleh al-
Haskafi yang merupakan syarah dari Tanwir al-Absar adalah kitab karya
Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Katib al-Tamartasyi, kitab ini
sangat ringkas disusun dengan sistematika Fiqih.7
b. Raul Andar, dari karangan yang ditulis dari al-Halbi atas syarah ad-Dur
al-Mukhtar.
c. al-Uqhud syarah Tanfiah al-Fatawa al-Hamidiyah al-Duriyah.
d. Nadmad al-Azhar syarah al-Manar.
e. ar-Rahiq al-Mahtum.
2. Kitab Tafsir
Kitab Hamasyi ala al-Baidawi, yang dalam hal ini terdapat hal-hal
yang tidak dijelaskan oleh para penafsir.
3. Kitab Hadits
Dalam karya ilmiahnya tentang hadist beliau menulis kitab Uqud
al-Awali yang berisi sanad-sanad hadist yang bernilai tinggi.8
Setelah kehidupannya yang membawa berbagai aktivitas yang luhur,
pengabdian yang mulia dan perjuangan yang sangat berarti bagi umat Islam
pada umumnya dan khususnya bagi Madzhab Hanafi beliau wafat di
7 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van House, 1996,
hlm. 347.
8 Ibnu Abidin, loc.,cit. hlm. 54.
Damaskus 1252 H dengan meninggalkan warisan yang sangat berharga.
Beliau dimakamkan di pekuburan “Bab al-Saqir” damaskus.9
0 komentar:
Post a Comment