BIDADARI : Alur Penafsiran M. Ali Al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir
Mengenai alur penafsiran al-Sabuni tentang bidadari dalam tulisan ini ditempuh melalui dua cara, yakni, alur penafsiran sesuai dengan urutan ayat serta surat dalam al-Qur`ān mengenai bidadari, dan kemudian baru alur sistematisasi pemikiran al-S{ābūnī mengenai bidadari, sesuai dengan hasil penafsirannya.
Sesuai dengan pernyataan al-Qur`ān bahwa keberadaan bidadari di surga berkaitan dengan pemberian kabar gembira kepada orang yang beriman serta berbuat kebajikan di dunia, bahwa mereka akan diberikan pahala surga.[1] Surga dalam ayat ini digambarkan memiliki sifat; mengalir di bawahnya sungai-sungai; bagi setiap orang dari penghuninya diberikan rezki buah-buahan; dan bagi setiap dari mereka tersedia “azwāj” yang suci; serta mereka kekal di dalamnya.
Umumnya, kata “azwāj” dalam ayat ini diterjemahkan sebagai “isteri-isteri” yang mengacu kepada perempuan sebagai pasangan seks laki-laki.[2]
BIDADARI : Alur Penafsiran M. Ali Al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir. Al-Sabuni memulai pemikiran bidadarinya dengan mengurai definisi awal dari perspektif lugawi kata azwāj ini. Menurut al-S{ābūnī, kata azwāj yang merupakan jamak dari zauj adalah kata yang dipakai baik untuk laki-laki maupun perempuan. Perempuan adalah zauj (pasangan) laki-laki, dan laki-laki adalah pasangan perempuan.[3] Maka dengan demikian berarti, bagi laki-laki di surga mendapatkan pasangan bidadari, dan bagi perempuan mendapatkan pasangan –mudahnya sebut saja- bidadara. Dalam arti janji akan pasangan lawan jenis sebagai balasan amal s}ālih bagi orang beriman di surga berlaku umum.
Maka ketika menafsirkan kata mut}ahharah yang mengikuti kata azwāj, al- Sābūnī tidak seperti penafsir lain yang mengartikannya sebagai suci dari haid atau kotoran keperempuanan lain,[4] akan tetapi al-Sābūnī menyatakan bahwa maksud mut}ahharah adalah pasangan-pasangan penghuni surga yang dibersihkan dari kotoran-kotoran hissiyah maupun maknawiyyah.[5]
Hanya saja kemudian al-Sābūnī melengkapi penafsirannya dengan pendapat ‘ulamā’ lain yang mengartikannya secara fisik kotoran perempuan. Bahkan al-S{ābūnī juga mengakomodasi pendapat sebagian ‘ulamā’ yang menyatakan bahwa wanita-wanita mukmin dunia pada hari kiamat akan dijadikan lebih cantik dibanding bidadari. Hal ini –menurut para mufassir klasik- sesuai dengan makna yang dimaksud oleh firman Allāh pada Qs. al-Wāqi’ah:35-37.[6]
Mengenai alur penafsiran al-Sabuni tentang bidadari dalam tulisan ini ditempuh melalui dua cara, yakni, alur penafsiran sesuai dengan urutan ayat serta surat dalam al-Qur`ān mengenai bidadari, dan kemudian baru alur sistematisasi pemikiran al-S{ābūnī mengenai bidadari, sesuai dengan hasil penafsirannya.
Sesuai dengan pernyataan al-Qur`ān bahwa keberadaan bidadari di surga berkaitan dengan pemberian kabar gembira kepada orang yang beriman serta berbuat kebajikan di dunia, bahwa mereka akan diberikan pahala surga.[1] Surga dalam ayat ini digambarkan memiliki sifat; mengalir di bawahnya sungai-sungai; bagi setiap orang dari penghuninya diberikan rezki buah-buahan; dan bagi setiap dari mereka tersedia “azwāj” yang suci; serta mereka kekal di dalamnya.
Umumnya, kata “azwāj” dalam ayat ini diterjemahkan sebagai “isteri-isteri” yang mengacu kepada perempuan sebagai pasangan seks laki-laki.[2]
BIDADARI : Alur Penafsiran M. Ali Al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir. Al-Sabuni memulai pemikiran bidadarinya dengan mengurai definisi awal dari perspektif lugawi kata azwāj ini. Menurut al-S{ābūnī, kata azwāj yang merupakan jamak dari zauj adalah kata yang dipakai baik untuk laki-laki maupun perempuan. Perempuan adalah zauj (pasangan) laki-laki, dan laki-laki adalah pasangan perempuan.[3] Maka dengan demikian berarti, bagi laki-laki di surga mendapatkan pasangan bidadari, dan bagi perempuan mendapatkan pasangan –mudahnya sebut saja- bidadara. Dalam arti janji akan pasangan lawan jenis sebagai balasan amal s}ālih bagi orang beriman di surga berlaku umum.
Maka ketika menafsirkan kata mut}ahharah yang mengikuti kata azwāj, al- Sābūnī tidak seperti penafsir lain yang mengartikannya sebagai suci dari haid atau kotoran keperempuanan lain,[4] akan tetapi al-Sābūnī menyatakan bahwa maksud mut}ahharah adalah pasangan-pasangan penghuni surga yang dibersihkan dari kotoran-kotoran hissiyah maupun maknawiyyah.[5]
Hanya saja kemudian al-Sābūnī melengkapi penafsirannya dengan pendapat ‘ulamā’ lain yang mengartikannya secara fisik kotoran perempuan. Bahkan al-S{ābūnī juga mengakomodasi pendapat sebagian ‘ulamā’ yang menyatakan bahwa wanita-wanita mukmin dunia pada hari kiamat akan dijadikan lebih cantik dibanding bidadari. Hal ini –menurut para mufassir klasik- sesuai dengan makna yang dimaksud oleh firman Allāh pada Qs. al-Wāqi’ah:35-37.[6]
BIDADARI : Alur Penafsiran M. Ali Al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir. Nampak bahwa al-S{ābūnī belum bisa benar-benar tegas menentukan corak tafsīrnya sendiri dan mengambil garis tegas mengenai pemikirannya. Hanya saja akomodasi penafsiran yang mengarah pada kata zauj sebagai perempuan pasangan laki-laki ini bisa saja diterima dengan menilik penafsiran atas Qs. Al-Baqarah:35, di mana kalimat “yā Ādamu uskun anta wazaujuka al-jannat” dalam ayat itu bermakna “berdiamlah kamu di surga dengan abadi beserta pasangan/isterimu Hawa.”[7]
Al-Sābūnī menyebutkan bahwa bidadari sebagai pasangan orang beriman di surga adalah bidadari yang hanya membatasi pandangan hanya untuk pasangan-pasangannya karena rasa cinta dan bersihnya qāsirāt al- sarf.[8] Ketika manafsirkan Qs. S{ād:52[9] al-S{ābūnī menjelaskan bahwa ketertujuan pandangan mata pada suaminya itu disertai dengan ketidakmauannya melihat pada yang lain.[10] Dengan mengutip al-T{abarī, al- S{ābūnī menyebutkan sosok bidadari, bahwa lebar dan bulatnya mata serta rupanya yang elok ditentukan dengan bentuk mata yang paling bagus.[11]
Penafsiran al-Sābūnī mengenai zauj tersebut mempengaruhi penafsiran berikutnya terhadap konsep bidadari. Bahwa penggunaan kata hūrin ‘īn dalam ayat-ayat Qs. Al-Dukhān:51-55[12] bukan berarti bermuatan makna bidadari saja. Ketika menafsirkan kalimat “kadzalika wazawwajnāhun bi hūrin ‘īn” (Qs. Ad-Dukhān:54), al-S{ābūnī menyebutkan “każālika akramnāhum bi anwā’i al-ikrām, wa zawwajnāhum aid}an bi al-h}ūr al-h}isān fī al-Jinan” (demikianlah telah kami muliakan mereka dengan berbagai macam kemulian, dan kami pasangkan pula kepada mereka teman bersanding yang mempesona di surga)”.[13]
Jadi diberikannya pasangan yang menyenangkan kepada orang beriman di surga adalah terkait erat dengan pemuliaan Allāh atas amal-amalnya, sehingga kemudian diberi balasan yang serba mulia, yang salah satunya adalah pasangan bidadari tersebut.
BIDADARI : Alur Penafsiran M. Ali Al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir. Dalam memberikan tafsīr ini, al-Sābūnī menyandarkan kepada pendapat al- Bait}awī yang menafsirkan zauj sebagai qarīn (teman). Menurut al-S{ābūnī penggambaran bidadari ini terkait dengan penggambaran sifat surga yang lain. Bahwa penggambaran mengenai surga berupa taman dengan sungai-sungai adalah sesuatu yang sangat indah serta memiliki fungsi menjadikan kegundahan berubah menjadi fresh kembali. Maka penyebutan bidadari itu, mempertegas kesegaran yang dimunculkan oleh fenomena surga.
Bersama pasangan di surga, seseorang akan meraih puncak kebahagiaan, sebagaimana pepatah yang mengatakan bahwa; “ada tiga hal yang bisa menghilangkan kesusahan atau beban hati, yaitu air, hijau-hijauan (warna hijau daun), dan wajah yang menawan.”[14] Jadi al-Sābūnī menafsirkan hūr di sini sebagai wajah yang menawan, yang bersifat netral kelamin.
Sehingga ketika menafsirkan kalimat wazawwajnāhum bihūrin ‘īn (Qs. Al-T{ūr:20 al-Sābūnī memberikan tafsīr sebagai berikut: “dan Aku jadikan untuk mereka teman-teman yang s}ālihah dan pasangan-pasangan yang elok dari bidadari. Mereka adalah wanita-wanita yang matanya terlihat putih warna putihnya lagi anggun.” Al-S{ābūnī mengatakan bahwa simbol putihnya warna mata serta lebar dan bulatnya mata adalah puncak kecantikan dan kejelitaan.[15]
Berdasarkan Qs. Al-Rahmān :72, Al-S{ābūnī mendeskripsikan bahwa para bidadari di surga di pingit di dalam rumah kediaman, dan mereka tidak pernah keluar rumah karena keagungan dan kemuliannya. Para bidadari itu hanya diam di perkemahan mutiara.[16] Ciri ini disandangkan kepada para bidadari sebagai corak khasnya yang s}ālihah dengan pakaian akhlak mulia.[17]
BIDADARI : Alur Penafsiran M. Ali Al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir. Dengan mengutip Abu Hayan, al-Sābūnī membawa tafsīr bidadari “tersimpan” ini ke konteks wanita dunia, bahwa para wanita dipuji dengan pujian yang agung dan mulia seperti di atas, karena keberdiam-dirian mereka di rumah itu menunjukkan bahwa mereka bernar-benar terjaga.[18] Nampaknya al-S{ābūnī menginginkan agar konteks dasar persifatan bidadari yang serba mulia dan terpuji ini dibawa membumi sebagai sifat dasar wanita mukminah.
Upaya pembumian penafsiran itu makin nyata ketika al-S{ābūnī memberikan tafsīrnya atas Qs. Al-Rah}mān : 56-58 dalam bentuk perumpamaan. Bahwa di dalam taman surga terdapat wanita yang hanya mengkhususkan pandangannya kepada suami-suaminya, bukan kepada yang lain seperti halnya wanita-wanita lembut yang berada dalam sebuah pingitan.[19]
Penafsiran ini tentu memiliki maksud tertentu. Pertama, bahwa wanita-wanita mukminah dunia, kelak di akhirat tetap akan menjadi pendamping bagi suaminya, yang tidak beralih kepada orang mukmin lain. Kedua, wanita yang di dunia selalu berupaya menempatkan diri dalam “sebuah pingitan” keagamaan, maka sebagaimana halnya di dunia, kelak di akhirat juga tetap terjaga kesuciannya hingga hanya tetap dalam memandang suaminya saja. Inilah nampaknya tafsīr membumi dari kata qāsirāt al-tarfi menurut al- Sābūnī.
Keberadaan bidadari di surga itu betul-betul bersifat perawan, yang belum pernah tersentuh sama sekali atau bersenggama oleh siapapun baik jin maupun manusia. Bidadari dengan kecantikan yang bagaikan mutiara jernihnya itu belum pernah terjamah oleh apa dan siapapun.[20] Keperawanannya adalah sejati. Sifat keperawanan bidadari al-Sābūnī ini diacu dari pendirian al-Alūsi yang mengatakan bahwa makna al-ţamŝ adalah keluarnya darah, sehingga orang yang haidh disebut ţamaŝu. Istilah ini lalu dipakai juga untuk menyenggamai perawan, di mana dalam peristiwa ini darah akan terkeluarkan. Kemudian juga bisa dipakai untuk segala macam jima’ walaupun tidak ada darah yang keluar.[21]
Keperawanann yang disandang oleh bidadari surga, menurut al-S{ābūnī, sepadan dengan usianya yang rata-rata remaja, dengan sikap yang selalu mengitari penghuni surga guna memberikan pelayanan kepada mereka sesuai tugasnya. Dan bidadari tersebut tidak pernah mati, serta dalam keadaan selalu muda.[22] Namun usia yang selalu muda itu, bukan sekedar kemudaan sebagaimana layaknya manusia, tetapi usia muda yang sudah berada dalam kematangan dan kedewasaan sikap dalam memberikan pelayanan, yang ditandai dengan bentuk fisik tubuhnya, dengan ciri payudara yang padat berisi, dan menyembul keluar.[23] Sebuah gambaran yang sangat menyenangkan.
Menurut al-S{ābūnī, sifat keperawanan sejati dalam keremajaan usia itu, seiring dengan proses penciptaan bidadari yang bersifat “baru” (dalam arti belum pernah terjadi penciptaannya, dan belum pernah ada bentuk makhluk sebelumnya), baik yang merupakan makhluk surgawi, maupun yang semula berasal dari makhluk dunia, yang kemudian menjadi pasangan penghuni surga, baik untuk pasangannya ketika di dunia, atau dengan pasangannya yang sama sekali baru.[24] Pasangan dari dunia adalah suami/isterinya yang sama-sama masuk surga karena amal s}ālihnya, sedang maksud pasangan yang baru adalah pasangan bagi yang tidak bersama pasangannya dari dunia, atau yang sudah beserta pasangan dari dunia yang berfungsi sebagai permaisuri/raja, kemudian mendapatkan nikmat tambahan pasangan bidadari di surga.
Maka wajar jika kemudian digambarkan bahwa nikmat mendapatkan bidadari dijadikan sebagai nikmat puncak di surga. Al-S{ābūnī ketika menafsirkan Qs. Al-S{āffāt:41-60 menyebutkan pemaparan Abu Haijan, bahwa ada enam macam gambaran nikmat surgawi:
a. rizki yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jisim (fisik)
b. kemuliaan yang berupa kenikmatan yang bisa dirasakan oleh jiwa (psikis)
c. tempat yang berupa taman-taman yang sangat nyaman
d. kepuasan bercengkrama dengan saudara-saudara mukmin
e. minuman yang mengelilingi mereka yang tanpa bersusah payah mendapatkannya, dan
f. kepuasan lahir batin yang sangat luar biasa yaitu yang berupa bercengkrama dengan wanita.[25]
Al-S{ābūnī menekankan bahwa dalam surat al-S{āffāt itu terdapat penjelasan Allāh atas ayat yang masih global yang dalam disiplin ilmu al-Qur`ān disebut tabyīn al-mujmāl, yaitu:
1. Globlalitas konsep rizqun ma’lūm yang dijelaskan oleh Allāh dalam ayat selanjutnya, yaitu fawāqihu, bahwa yang dimaksud rizki di sini adalah buah-buahan.
2. Globlalitas al-na‘īm yang dijelaskan oleh ayat-ayat selanjutnya yang diantaranya adalah bidadari yang senantiasa menemani.[26]
Semua jenis perincian yang menyangkut bentuk kesenangan dan kenikmatan surga merupakan simbol balasan terperinci bagi jenis-jenis amal manusia ketika di dunia. Jadi di samping penafsiran tekstual di mana al- S{ābūnī menafsirkannya sebagaimana ahli tafsīr yang lain, namun jika dicermati, didapatkan kenyataan bahwa al-S{ābūnī ternyata melakukan penafsiran kontekstual, dengan menjelaskan maksud lain yang nyata dari simbolitas bidadari, sebagai simbol atas balasan Allāh di akhirat atas amal baik manusia di dunia. Dan ini berlaku dengan simbol-simbol lain seperti taman yang indah dan sejuk, aneka ragam minuman dan buah-buahan, sungai-sungai nan indah, dan sebagainya.
Dari penafsirannya atas ayat-ayat tentang bidadari tersebut, nampak bahwa al- S{ābūnī berada dalam dua posisi sekaligus; pertama posisi sebagai penafsir mandiri, yang berbeda orientasi dengan mufassir lain. Ini nampak dari upaya penafsirannya yang tidak hanya sekedar simbolis dan harfiyah, namun berupaya membumikan konsepsi eskatologis menjadi konsep praktis teologi terapan di dunia, maka wajar jika walaupun al-S{ābūnī dalam pemikirannya juga kerap mengisyaratkan bahwa konsep bidadari di surga bukan merupakan hal yang harus difahami secara fisikal begitu saja, sebab hanya sebagai salah satu simbol pembalasan amal, namun terkadang juga menandaskan penafsiran yang bersifat fisikal atas ayat-ayat tentang bidadari.
Hal ini bisa terjadi, kemungkinan karena al-S{ābūnī belum bisa menghilangkan bias penafsiran ayat-ayat tentang bidadari dari kerancuan berfikir mufasir sebelumnya, yang masih didominasi dengan penafsiran yang diadopsi dari filsafat dan mitos peradaban dan agama lain.
Kedua, sebagai seorang ‘ulamā’ yang tawad}u’ dengan para pendahulunya, terkadang pandangannya nampak tetap mengikuti mereka, sehingga terkesan kurang tegas bagaimana pendiriannya mengenai konsep bidadari; apakah hanya sekedar simbolitas bagi balasan amal, atau memang bidadari itu betul-betul merupakan sosok fisik wanita elok sebagai ganjaran bagi orang beriman? Namun hal ini telah dijawab juga dengan ungkapannya bahwa konsep h}ūrun ‘īn sebenarnya bersifat netral kelamin, berlaku bagi pria dan wanita beriman. Perkara terdapat ayat-ayat yang jelas-jelas mengacunya sebagai sosok fisik wanita, tidaklah harus membatalkan pengertian umum dari h}ūrun ‘īn dalam al-Qur`ān.
Namun yang jelas, dalam menafsirkan konsep h}ūrun ‘īn nampak bahwa al-S{ābūnī sudah tidak semata terpaku dengan penafsiran lahiriyah. al-S{ābūnī sudah melangkah ke arah penafsiran metaforis, dengan mengungkapkan makna dibalik simbol yang diberikan oleh al-Qur`ān. Hal ini tentu sangat tepat dilakukan dalam memaknai h}ūrun ‘īn sebagai bagian dari konsep surga, sebab di surga itu, sebagaimana sabda Nabi beserta balasan-balasan di dalamnya tidak bisa dirasakan baik dengan mata, telinga, maupun insting keduniaan.[27]
[1] Qs. Al-Baqarah/2:25.
[2] Lihat misalnya Lembaga Penjelenggara Penerdjemah Kitab Sutji Al-Quraan. Al-Quraan dan Terdjemahnja, (Jakarta: percetakan Jamunu, 1965), h.12.
[3] M. Ali al-Sabuni, Safwah al-Tafāsīr , jl. I, hlm. 34.
[4] Lihat misalnya Jalaluddin al-Suyut}i dan Jaluluddin al-Mah}alli, Op. Cit., hlm. 5.
[5] M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 36.
[6] Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-Wāqi’ah: 35-37).
[7] M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. I, hlm. 42.
[8] Ibid., jl. III, hlm. 30 berdasarkan penafsiran atas Qs. Al-S{āffāt:48.
[9] Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya. (Qs.S{ād: 52).
[10] M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 56.
[11] Ibid., hlm. 30.
[12] Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya. (yaitu) di dalam taman-taman dan mata-air-mata-air; mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran). (Qs. Al-Dukhān:51-55).
[13] M. Ali al-S{abuni, Op.Cit, jl. III, hlm. 165.
[14] Ibid, jl. III, hlm. 165
[15] Ibid., hlm. 246.
[16] Ibid., hlm. 283.
[17] Ibid., hlm. 282 berdasarkan Qs. Al-Rah}mān : 70.
[18] Ibid., hlm. 283.
[19] Ibid., hlm. 282.
[20] Ibid., hlm. 290 pada tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah: 22-23.
[21] Ibid., hlm. 282.
[22] Ibid., hlm. 289, tafsīr atas Qs. Al-Wāqi’ah:17.
[23] Ibid., hlm. 485 tafsīr atas Qs. An-Naba’:33.
[24] Ibid., hlm. 291. Untuk pembahasan proses penciptaan bidadari menurut al-S{ābūnī lihat pada pembahasan lebih lanjut di bawah pada bab ini.
[25] Ibid, jl. I, hlm. 30.
[26] Ibid., jl. III, hlm. 29.
[27] Abu Zakariya Yahya al-Nawawī. Riyadh al-s}ālihin, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 703.
0 komentar:
Post a Comment